Selasa, 12 Agustus 2008

Mengkritisi Pertumbuhan Ekonomi Paska-Krisis

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 10 Maret 2003

Perkembangan beberapa indikator ekonomi makro belakangan ini menunjukkan suatu perbaikan yang sangat berarti. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) stabil disekitar 13 persen, lebih rendah dari suku bunga tahun 2001 dan 2002 yang berkisar 15-16 persen. Inflasi, meskipun masih tinggi, dapat dikendalikan di 10 persen. Nilai tukar menguat dari sekitar Rp 11.000 per dollar pada akhir tahun 2001 menjadi sekitar Rp 8.800 pada saat ini. Defisit anggaran pemerintah diharapkan akan terus menurun, khususnya karena pemerintah terus mengurangi subsidi. Pemerintah juga menyatakan bahwa rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan menjadi 72 persen di akhir tahun 2002, dibandingkan 95 persen pada tahun 1999.

Semua perkembangan bagus diatas akhirnya disempurnakan oleh pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Februari bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2002 adalah 3,66 persen. Angka ini jauh diatas angka perkiraan banyak pengamat, yaitu sekitar 3 persen atau kurang.

Namun, semua optimisme yang ada sebaiknya jangan sampai membuat kita lalai. Ada beberapa alasan mengapa kita masih harus khawatir dengan perkembangan ekonomi yang terjadi.

Pertama, pertumbuhan ekonomi paska-krisis yang berkisar 3-4 persen masih jauh dibawah pertumbuhan pra-krisis yang mencapai 7 persen. Pertumbuhan yang rendah ini tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran dan tenaga kerja baru yang ada.

Kedua, pertumbuhan sekitar 3-4 persen juga tidak cukup untuk mengimbangi beban cicilan utang pemerintah yang sangat besar. Paling tidak, ekonomi harus tumbuh diatas 5 persen untuk menjamin pengurangan utang dalam jangka panjang.

Ketiga, sumber pertumbuhan utama paska-krisis adalah pengeluaran konsumsi. Karena pengeluaran konsumsi tidak akan meningkatkan akumulasi barang modal, sehingga tidak meningkatkan kapasitas produksi, maka pertumbuhan yang tercipta tidak akan bertahan dalam jangka panjang.

Bahkan pertumbuhan pra-krisis di era 1990-an yang terutama dihela oleh akumulasi barang bodal, terefleksi di pengeluaran investasi yang sangat besar, terbukti tidak bertahan dalam jangka panjang. Tapi kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang lebih parah: investasi rendah dan konsumsi tinggi. Sejalan dengan menurunnya pengeluaran investasi dan depresiasi barang modal, kapasitas produksi akan menurun. Anehnya, konsumsi terus meningkat. Hal ini hanya mungkin terjadi bila masyarakat menggunakan tabungan untuk membiayai pengeluarannya.

Banyak pengamat yang berpendapat bahwa tingginya permintaan barang tahan lama (durable goods) mencerminkan kenaikan daya beli masyarakat. Namun penulis berpendapat bahwa tingginya permintaan terhadap barang tahan lama, seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, dan furnitur, di tahun 2001-2002 hanya lah sebagai pengganti barang yang telah rusak atau usang.

Dari sisi konsumsi pemerintah, perkembangannya juga tidak dapat diharapkan. Pengeluaran pemerintah dibebani pembayaran utang dan proporsi pengeluaran pemerintah dalam PDB kecil, sekitar 8 persen. Ini menjelaskan mengapa stimulus pengeluaran pemerintah sangat terbatas menfaatnya bagi peningkatan kegiatan ekonomi nasional.

Keempat, tidak bergairahnya komponen perdagangan internasional dari ekonomi nasional. Pertumbuhan ekspor paska-krisis jauh dibawah pertumbuhan ekspor pra-krisis yang rata-rata diatas 10 persen. Selain faktor lesunya pasar internasional, sepertinya Indonesia gagal memanfaatkan depresiasi nilai tukar rupiah untuk mendorong pertumbuhan ekspor non-migas. Buktinya, pertumbuhan ekspor non-migas paska-krisis hanya terjadi secara luar biasa pada tahun 2000, mencapai 23 persen. Ditahun 1999 dan 2001 pertumbuhan ekspor non-migas negatif, sedangkan tahun 2002 hanya tumbuh kurang dari 3 persen.

Rendahnya pertumbuhan ekspor berdampak negatif pada kemampuan Indonesia memenuhi kewajiban utang luar negri. Rasio cicilan utang luar negri terhadap ekspor (debt service ratio, DSR) dalam periode 1999-2002 terus meningkat, dari sekitar 40 persen menjadi 45 persen. DSR yang tinggi ini jauh diatas standar aman dari Bank Dunia, yaitu 25 persen.

Pertumbuhan impor juga mengalami perlambatan, hanya 1 persen pada tahun 2002. Jika impor menurun pada masa ekonomi tumbuh dengan cepat, bisa disimpulkan bahwa barang produksi lokal telah berhasil menggantikan barang impor. Tetapi, bila impor melambat pada saat pertumbuhan ekonomi rendah dan banyak investor keluar dari Indonesia, ini indikasi menurunnya permintaan akibat menurunnya kegiatan ekonomi. Hubungan antara rendahnya impor dengan menurunnya aktifitas ekonomi diperlihatkan oleh penurunan impor barang modal yang besar (sekitar –7,6 persen) dan lemahnya permintaan impor bahan baku (naik hanya 1,5 persen).

Penurunan impor barang modal dan rendahnya permintaan bahan baku berhubungan erat dengan proses de-industrialisasi dalam periode 2000-2002 seperti yang dijelaskan oleh Ari Kuncoro, peneliti senior dari LPEM-FEUI. Proses de-industrialisasi di perkirakan terus berlanjut di tahun 2003, sejalan dengan menurunnya persetujuan investasi baru dan minimnya realisasi investasi.

Lebih parah lagi, satu-satunya komponen impor yang tumbuh sangat tinggi adalah impor barang konsumsi, mecapai 13 persen ditahun 2002. Tingginya pertumbuhan impor ini mengindikasikan proses substitusi konsumsi dari produk lokal dengan produk impor.

Semua kondisi yang tidak menyenangkan dibalik pertumbuhan ekonomi yang ada hanya melihat aspek kuantitatif. Bila kita melihat lebih luas aspek pertumbuhan ekonomi, yaitu kualitas-nya, maka kita menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah itu juga disertai eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan, kerusakan alam, dan penurunan kualitas lingkungan hidup (khususnya bagi kelompok penduduk miskin).

Semua aspek negatif pertumbuhan ekonomi paska-krisis ini bukan saja menyebabkan pertumbuhan yang rendah, tapi juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat bertahan dalam jangka panjang.

Solusi utama untuk masalah diatas sangat lah klise: pemerintah harus dengan serius membasmi korupsi.

Berbagai studi empiris yang dilakukan Shang Jin Wei, ekonom dari Harvard University, menunjukkan hubungan negatif antara korupsi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi (misalnya lihat “The Cost of Crony Capitalism”).

Sebagai gambaran betapa besarnya potensi investasi yang hilang akibat korupsi diantaranya “if the Philippines, for example, could reduce its corruption level to those of Singapore, it would increase its total investment to GDP ratio by almost 7 percentage points”. Terkait dengan investasi langsung luar negri (foreign direct investment, FDI), Wei menyatakan “if India could reduce its corruption level to that of Singapore, the net effect on attracting FDI would be the same as reducing its tax rate by 22 percentage points”.

Dampak negatif korupsi pada investasi akhirnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari yang seharusnya, sebagaimana digambarkan oleh Wei “if Bangladesh were able to reduce its corruption to Singapore level, its average annual per capita GDP growth rate over 1960-1985 would have been higher by 1,8 percentage points”.

Jadi, bila Indonesia serius memerangi korupsi, maka Indonesia dapat menghapuskan insentif ‘tax holiday’ bagi investor dan menaikkan upah buruh tanpa perlu khawatir akan menurunkan daya saing ekonomi nasional. Perang terhadap korupsi juga meningkatkan pengadaan infrastruktur dan barang publik kepada masyarakat dengan subsidi yang minimal. Tegasnya, tanpa korupsi, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih berkualitas.

Selain memberantas korupsi, pemerintah juga harus mengalokasi lebih banyak dana untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Selain untuk pendidikan formal, dana dialokasikan untuk melatih tenaga kerja dan pengangguran. Pemerintah secara langsung atau bekerjasama dengan perusahaan swasta menyediakan balai latihan kerja bagi masyarakat.

Selama ini pemerintah terlalu mengandalkan upah buruh yang sangat murah untuk menarik investor. Tapi sekarang kita menghadapi persaingan yang sangat ketat dari negara-negara Vietnam, Cina, dan India, yang dapat menyediakan tenaga kerja murah dan lebih terampil. Ini menjelaskan mengapa sebagian investor pindah dari Indonesia ke tiga negara tersebut.

Namun masih ada pertanyaan mengapa investor pindah ke negara yang upah buruhnya lebih mahal seperti Malaysia dan Thailand? Jawabannya: meskipun upah tenaga kerja Malaysia dan Thailand lebih tinggi, namun ketrampilan dan produktivitas mereka juga lebih baik.

Jadi untuk mencegah larinya investor dari Indonesia, selain membasmi korupsi yang menyebabkan iklim usaha tidak kondusif, pemerintah harus punya program yang jelas untuk memperbaiki SDM bangsa ini. Khususnya SDM buruh yang selama ini menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional.

Utang Indonesia: Sebuah Analisa Perbandingan

oleh Siswa Rizali
versi singkat tulisan ini dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 3 Maret 2003

Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono menyatakan bahwa pemerintah dalam tempo satu setengah tahun telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio, selanjutnya DGR) dari mendekati 100 persen pada pertengahan dan akhir tahun 2001 menjadi 71,79 persen menjelang akhir tahun 2002. Menkeu juga menyatakan “....Indonesia memang bukan negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi” dan “Jepang, Jordania, Israel, Singapura, bahkan Malaysia, memiliki debt to GDP ratio yang lebih tinggi.” (Kompas, 17 Desember 2002)

Sejauh mana informasi ini akurat? Apakah kondisi utang Indonesia secara riil membaik ? Bagaimana Singapura (yang anggaran pemerintahnya selalu surplus dan pendapatan per kapitanya sangat tinggi) bisa memiliki DGR yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia?

Klasifikasi Negara Pengutang

Tabel 1 memperlihatkan klasifikasi beberapa negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur berdasarkan tingkat pendapatannya dan beban total utang luar negeri (baik utang pemerintah maupun utang swasta).

Klasifikasi tingkat pendapatan berdasarkan pendapatan per kapita dalam US dolar per tahun. Klasifikasi utang luar negeri berdasarkan dua indikator, yaitu: (1) rasio nilai masa sekarang (present value) total beban utang luar negeri terhadap pendapatan nasional bruto (PNB) (selanjutnya disingkat DPNB), dan (2) rasio dari nilai masa sekarang total beban utang luar negeri terhadap ekspor (selanjutnya disingkat DEX). Pemilihan kedua rasio ini untuk mengukur pemenuhan kewajiban utang jangka panjang terkait dengan prospek perkembangan perekonomian.

Tabel 1. Klasifikasi Negara Berdasarkan Pendapatan
dan Utang Luar Negeri, 2002
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002.

Negara berpendapatan tinggi, seperti Brunei, Hong Kong, Jepang, dan Singapura, ternyata diklasifikasikan sebagai negara yang tidak mempunyai masalah utang, meskipun negara tersebut mungkin saja memiliki utang yang sangat besar (akan dijelaskan lebih lanjut dibawah).

Sedangkan Indonesia berada pada posisi yang sangat kritis dimana utangnya tinggi sedangkan pendapatannya rendah, sama seperti Laos dan Myanmar. Memang Indonesia pernah lebih baik daripada Laos dan Myanmar, yaitu sebelum krisis 1998. Pada saat itu Indonesia berada pada posisi yang sama seperti Filipina dan Thailand. Namun sekarang posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Filipina dan Thailand.

Pada masa puncak krisis 1998-1999, Filipina, Thailand, dan Korea Selatan termasuk negara yang mempunyai masalah berat dengan utangnya, sama seperti Indonesia. Sejalan dengan membaiknya perekonomian mereka dan upaya restrukturisasi utang, kondisi utang ketiganya mengalami perbaikan. Sementara Indonesia, kondisi utangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, sehingga masih diklasifikasikan sebagai negara yang mempunyai masalah berat dengan utang.

Untuk lebih jelasnya, indikator utang Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang mengalami krisis pada tahun 1997-1998, yaitu Filipina, Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan (Tabel 2). Perbandingan ini tidak hanya berdasarkan dua rasio diatas, tapi juga digunakan rasio total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap total ekspor barang dan jasa (debt service ratio, DSR) dan rasio utang pemerintah (dalam dan luar negeri) terhadap PDB (DGR).

Tabel 2 Indikator Tingkat Kondisi Utang, 1998 – 2000 (dalam persen)
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002. Diolah dari berbagai sumber: www. Apec.org, Jepang, Singtat, Korea, ARIC.
Catatan: # Data DGR adalah perkiraan untuk tahun 2002. Beberapa data dari tahun 2001. @ Data PNB Singapura diganti dengan PDB.

Kecuali indikator DPNB Singapura dan indikator DGR Jepang, indikator utang Indonesia jauh diatas negara-negara lain. Meskipun menguatnya nilai tukar Rupiah belakangan ini menyebabkan indikator DPNB dan DGR Indonesia jauh membaik, tetapi nilainya tetap tinggi dibandingkan dengan konsensus batas aman dari World Bank, yaitu sekitar 50%.

Indikator DEX dan DSR negara-negara lain lebih rendah dari Indonesia. Rendahnya indikator DEX dan DSR negara lain mencerminkan tingginya ekspor dan keberhasilan melakukan restrukturisasi utang paska krisis 1998. Sebaliknya Indonesia tidak begitu berhasil melakukan restrukturisasi utang dan pertumbuhan ekspor, meskipun sempat naik, belakangan mengalami perlambatan.

Perbaikan indikator DPNB dan DGR Indonesia ternyata tidak diikuti perbaikan indikator DEX dan DSR. Indikator DEX dan DSR diperkirakan akan naik sejalan dengan menurunnya ekspor di tahun 2001 yang mencapai 9%. Karena penurunan ekspor mungkin terus berlanjut di tahun 2002, diperkirakan DSR Indonesia bisa mencapai 50%, bila tidak dilakukan restrukturisasi utang besar-besaran.

Tidak seperti DPNB dan DGR, indikator DEX dan DSR tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar karena kedua besaran dalam indikator, utang luar negeri dan ekspor, diukur dalam US dolar. Meningkatnya nilai kedua indikator ini mengindikasikan bahwa kondisi utang Indonesia tidak seoptimis yang Menkeu gambarkan.

Dalam analisa dinamis, pertumbuhan ekonomi penting untuk meningkatkan kapasitas pembayaran utang, baik dalam dan luar negeri. Setelah tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri didominasi oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ini tidak akan bertahan dalam jangka panjang karena pertumbuhan yang berasal dari pertumbuhan konsumsi tidak disertai peningkatan kapasitas produksi riil ekonomi seperti pertumbuhan dari investasi.

Ada juga yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak perlu tergantung pada ekspor, karena pasar domestik Indonesia sangat besar. Harus diingat bahwa utang banyak dalam US dolar, disinilah pentingnya pertumbuhan ekspor. Lebih-lebih sebagian investasi penghasil ekspor berasal dari utang luar negeri.

Karena itu, perlambatan (apalagi penurunan) pertumbuhan ekonomi, investasi, dan ekspor akan berdampak negatif bagi proses pembayaran utang, baik utang pemerintah dan swasta, utang luar maupun dalam negeri.

Dengan membaiknya nilai tukar rupiah, pendapatan per kapita di tahun 2002 diperkirakan menjadi lebih dari US$ 800. Tapi indikator DPNB, DEX, dan DSR tetap relatif tinggi, sehingga Indonesia di tahun 2002 ini masih merupakan negara berpendapatan menengah (bawah) yang mempunyai masalah berat dengan utang (severely indebted middle (lower) income country).

Singapura dan Jepang; Perbadingan yang Salah Kaprah

Membandingkan utang Indonesia dengan utang negara berpendapatan tinggi, seperti Jepang dan Singapura, harus hati-hati. Pertama, pemerintah Singapura dan Jepang, tidak mempunyai utang luar negeri, sedangkan utang pemerintah Indonesia sebagiannya adalah utang luar negeri.
Kedua, pemerintah Singapura dan Jepang, selain berutang, juga memberikan pinjaman atau mempunyai investasi kepada/di negara lain. Karena pinjaman dan investasi pemerintah Singapura dan Jepang ke negara lain jauh lebih besar dari utangnya, maka secara total pemerintah Singapura dan Jepang adalah pemberi pinjaman bersih (net creditor) kepada luar negeri. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya punya utang kepada luar negeri, tapi tidak memberikan pinjaman atau pengutang bersih (net debtor).

DGR pemerintah Singapura (dan Malaysia) ternyata jauh dibawah DGR Indonesia. Apakah Menkeu memperoleh data yang salah dari stafnya?

Ketiga, pemerintah Jepang memang mempunyai utang yang besar kepada rakyatnya, tapi sektor swasta Jepang mempunyai investasi dan pinjaman yang sangat besar kepada pihak non-Jepang. Bahkan investasi Jepang sangat penting bagi negara maju seperti Eropa dan Amerika.

Di Indonesia, selain pemerintahnya berutang, swastanya juga mempunyai utang ke luar negeri sebesar milyar US$ 70 milyar. Pihak swasta Indonesia, meskipun banyak yang mempunyai deposito haram dari hasil menjarah BLBI di luar negeri, tetap saja mereka pengutang.

Pemerintah Jepang dalam kondisi berutang masih dapat menyediakan berbagai sarana publik, subsidi, dan jaminan kesejahteraan untuk rakyatnya. Pemerintah Indonesia, sejalan dengan meningkatnya beban utang, berbagai subsidi untuk rakyat dan investasi infrastruktur dikurangi. Rakyat kemudian dibebani dengan berbagai pajak.

Keempat, utang swasta Singapura, yang sejak pertengahan 1990-an mencapai lebih 250% PDB, mencerminkan tingginya aktivitas transaksi utang di Singapura. Memang Singapura menjadi pusat intermediasi bagi pemberi utang dari Eropa dan Amerika dan penerima utang utama dari Asia Tenggara (seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia). Utang Singapura termasuk deposito pelarian modal (capital flight) dari negara-negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, yang nantinya akan dipinjamkan ke negara di sekitar Asia Tenggara juga. Dengan banyaknya investasi asing di Singapura, utang yang terjadi merupakan utang anak perusahaan asing bersangkutan ke negara asalnya. Sebagai pusat perdagangan internasional, Singapura mempunyai utang kredit perdagangan (trade credit) yang besar. (lihat: Singapore Department of Statistics, “Singapore’s External Debt: Definition and 1998 Assessment”, 2000).

Tingkat transaksi utang yang besar tersebut menunjukkan bahwa pasar finansial di Singapura sehat dan efisiensi. Dari transaksi utang-utang tersebut, Singapura memperoleh biaya jasa (service fee) yang sangat besar. Semakin tinggi transaksi utang, semakin besar nilai jasa yang diperoleh Singapura, dan semakin makmur negaranya. Kondisi yang sama juga terdapat di pusat finansial internasional Asia lain: Hong Kong. Sebaliknya, Indonesia berutang karena terpaksa dan harus membayar berbagai cicilan pokok dan bunga utang, bukan menerima pemasukan dari biaya jasa transaksi utang.

Dengan berbagai perbedaan karakter utang Singapura dan Jepang diatas, bagaimana Menkeu bisa membandingkan baik buruknya indikator utang Indonesia dengan kedua negara tersebut? Sebagai seorang doktor di bidang ekonomi, tentunya Menkeu faham betul tentang perbedaan tersebut. Tapi mengapa Menkeu memberikan contoh perbandingan yang tidak masuk akal dan salah kaprah?

Kebohongan Publik

Dari uraian di atas, sepertinya kondisi utang Indonesia tidak membaik secara luar biasa seperti yang digambarkan Menkeu. Memang ada indikator utang membaik, tapi indikator utang yang lain memburuk. Perkembangan komponen sumber pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, juga menunjukkan arah yang negatif meskipun terjadi perbaikan di indikator nilai tukar dan suku bunga.

Jadi perbaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB bisa saja merupakan suatu faktor keberuntungan, yaitu melemahnya nilai tukar US $ terhadap mata uang dunia, bukan perbaikan riil posisi utang Indonesia.

Bagi penulis, pernyataan optimisme dari Menkeu tidak berdasarkan fakta dan merupakan suatu kebohongan kepada publik. Tindakan memanipulasi informasi ini tentunya tidak akan membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan utang negara Indonesia. Kebohongan itu juga tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah Indonesia belum juga belajar dari pengalaman buruk krisis selama ini. Pemerintah Indonesia juga tidak belajar dari keberhasilan Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan dalam upaya mereka mempercepat proses pemulihan ekonominya. Satu-satunya yang berhasil pemerintah pelajari selama krisis ekonomi adalah bagaimana menjadikan IMF sebagai kambing hitam atas kegagalan program pemulihan ekonomi.

Rabu, 06 Agustus 2008

Menyoal Indikator Utang Indonesia

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 24 Desember 2002

Menteri Keuangan Boediono menyatakan dalam tempo satu setengah tahun pemerintah berhasil menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto dari sekitar 100% pada akhir 2001 menjadi 72% pada akhir tahun ini.

Bahkan pemerintah diperkirakan akan sanggup menurunkan rasio utang itu kurang dari 50% dalam lima tahun ke depan. (Bisnis Indonesia, 17 Desember 2002).

Penurunan rasio utang yang sangat besar itu oleh Menkeu dijadikan indikator keberhasilan pemerintah yang sangat luar biasa dalam mengelola utang dan kebijakan ekonomi makro.

Benarkah demikian? Sejauh mana akurasi indikator rasio utang yang disampaikan? Apakah metode penghitungannya sudah sesuai dengan konsep indikator utang yang digunakan Bank Dunia, IMF, dan Bank for International Settlement (BIS)? Mungkinkah rasio utang diturunkan dibawah 50% dalam lima tahun?

Indikator Kurs

Utang pemerintah terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Data pertengahan tahun 2002 menunjukkan utang dalam negeri Rp 651,8 triliun dan utang luar negeri sekitar US $ 73 miliar.

Berhubung sebagian utang pemerintah dalam mata uang asing (US$), maka nilai utang dalam rupiah sangat tergantung dengan fluktuasi nilai tukar. Katakanlah nilai tukar rupiah saat ini sekitar Rp8.800/US$, maka utang luar negeri US$73 miliar ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih dari Rp640 triliun.

Sedangkan Menkeu melaporkan pada Juni 2002 utang luar negeri pemerintah Rp 558,2 triliun, sehingga terdapat selisih lebih dari Rp80 triliun.

Hitungan utang sekitar Rp640 triliun itu pun diperoleh dengan menggunakan konversi nilai tukar saat ini yang sedang membaik. Mengingat Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang bebas, maka konversi utang ke rupiah tidak akurat bila menggunakan nilai tukar rupiah pada satu waktu tertentu.

Sesuai konsensus lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan BIS, konversi nilai utang ke rupiah harus menggunakan nilai tukar rata-rata (average exchange rate) dalam periode bersangkutan.

Sepanjang periode 1 Januari-10 Desember 2002, nilai tukar rata-rata adalah Rp9.300/US$. Menggunakan nilai tukar rata-rata tersebut, konversi utag ke rupiah menjadi mendekati Rp680 triliun.

Dengan PDB Indonesia 2002 diperkirakan mencapai Rp1.685 triliun, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai sekitar 79%, bukan 72% seperti diklaim Menkeu Boediono.

Jadi rasio utang terhadap PDB yang disampaikan Menkeu terlalu optimistis dan tidak akurat. Kalaupun ada perbaikan indikator rasio utang terhadap PDB, perbaikan itu sebagian besar disebabkan oleh perbaikan nilai tukar, bukan semata-mata hasil kerja pemerintah.

Indikator Lain

Dalam memberikan gambaran optimistis mengenai utang, Menkeu hanya menggunakan satu indikator yaitu rasio utang terhadap PDB.

Padahal banyak indikator utang lain yang harus dipertimbangkan sebelum dapat ditegaskan apakah kondisi utang suatu negara semakin membaik atau memburuk. Misalnya, terkait dengan kemampuan membayar utang luar negeri, harus diperhatikan rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap total ekspor atau rasio pembayaran utang (debt service ratio).

Pada 1999, 2000, dan 2001, DSR Indonesia yang mencakup semua utang pemerintah dan swasta adalah 41%, 40%, dan 44%. DSR ini jauh di atas patokan Bank Dunia yang sekitar 20% sampai 25%.

Perhatikan juga bahwa peningkatan DSR pada 2001 terutama terjadi karena penurunan ekspor yang mencapai 9%. Pada 2002, ekspor diperkirakan kembali menurun sekitar 1%.

Untuk 2002, dengan perkiraan beban total pembayaran utang swasta dan pemerintah mencapai US$ 30 miliar dan total ekspor US$ 58 miliar, maka DSR diperkirakan mencapai 52%.

Karena kedua variabel perhitungannya diukur dalam US$, maka DSR tidak terlalu sensitif terhadap perubahan nilai tukar seperti rasio utang. Jadi peningkatan tajam DSR tersebut benar-benar mencerminkan menurunnya kemampuan Indonesia dalam membayar utang luar negri.

Beberapa indikator lain yang juga harus dipelajari lebih mendalam untuk mengetahui kondisi utang luar negeri suatu negara adalah: rasio total utang terhadap total ekspor, rasio utang jangka pendek terhadap total utang, dan rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa.

Dua indikator yang terakhir sangat penting dalam menilai kerapuhan suatu perekonomian terhadap serangan spekulasi mata uang.

Dinamika Utang

Analisis rasio utang dan DSR mencerminkan kemampuan membayar utang statis pada suatu titik waktu. Untuk memperkirakan perkembangan utang di masa mendatang, harus dipakai konsep yang lebih dinamis, misalnya dengan melihat perkembangan utang dan potensi kemampuan membayar utang.

Untuk mudahnya, penulis akan memfokuskan bahasan pada beban utang pemerintah dan perkembangan penerimaan pemerintah, yaitu pajak. Variabel utang dan penerimaan sendiri akan lebih tepat bila dilihat dari nilai riilnya, yaitu nilai yang telah disesuaikan terhadap perubahan tingkat harga (= inflasi).

Pertumbuhan riil utang pemerintah adalah nilai utang di awal periode analisa ditambah bunga riil utang dan dikurangi cicilan bunga dan pokok utang. Bunga riil utang adalah bunga nominal rata-rata utang pemerintah dikurangi inflasi.

Sedangkan pertumbuhan penerimaan pemerintah, dengan tarif pajak tetap, akan berhubungan lurus dengan pertumbuhan riil ekonomi.

Jadi perkembangan beban utang dapat dilihat dari dua indikator yaitu suku bunga riil, (yang menentukan pertumbuhan utang) dan pertumbuhan riil ekonomi (yang menentukan pertumbuhan penerimaan pemerintah).

Dalam jangka panjang, utang riil akan menurun bila pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada bunga riil. Sebaliknya, bila suku bunga riil lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, nilai riil utang pemerintah akan meningkat (Sargent dan Wallace, "Some Unpleasant Monetarist Arithmetic", FRBM Quarterly Review, 1981).

Dalam beberapa tahun terakhir suku bunga nominal Sertifikat Bank Indonesia, yang menjadikan patokan bunga obligasi pemerintah, bergerak sekitar 15%/tahun. Dengan asumsi inflasi tahunan 10%, maka suku bunga riil adalah 5%.

Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi paska krisis selalu kurang dari 5% per tahun. Jadi dapat diperkirakan dari waktu ke waktu beban utang riil pemerintah semakin meningkat.

Jika kondisi suku bunga riil utang yang lebih besar dari pertumbuhan riil ekonomi ini berlangsung dalam jangka panjang, dapat dipastikan beban utang akan terus meningkat.

Analisis dinamis ini tidak menunjukkan kondisi optimistis seperti yang disampaikan oleh Menkeu. Bahkan menguatkan analisa di bagian awal tulisan ini bahwa ancaman krisis utang masih sangat dekat terbayang di depan mata.

Mulailah Bekerja

Dari pejelasan berbagai aspek utang tersebut, sikap optimistis Menkeu sepertinya tidak berdasarkan fakta.

Apalagi mengingat indikator ekonomi makro lain yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan investasi, pada tahun 2002 ini diperkirakan menurun 3,5%. Tanpa investasi baru, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat dipastikan akan menurun.

Pejabat pemerintah sebaiknya berhenti mengeluarkan pernyataan bombastis mengenai kinerja tim ekonomi pemerintah. Apalagi bila kinerja yang dibangga-banggakan hanya berdasarkan rekayasa perhitungan indikator ekonomi dan informasi yang tidak sempurna. Tindakan ini dapat dianggap sebagai kebohongan kepada publik yang akan semakin menurunkan kredibilitas pemerintah.

Meskipun gambaran kondisi utang Indonesia yang penulis sampaikan sangat pesimistis, tapi situasi ini bisa dirubah. Caranya: Pemerintah harus benar-benar mempercepat berbagai proses restrukturisasi utang (dalam dan luar negeri) dan memperbaiki iklim investasi.

Memperbaiki iklim investasi ini banyak tergantung kepada pemerintah karena berbagai faktor penghambat investasi di Indonesia bersumber dari kegagalan kebijakan pemerintah. Misalnya: korupsi dan pungutan liar yang sangat besar, infrastruktur yang tidak memadai, ketidakpastian hukum, birokrasi yang berbelit-belit, dan masalah keamanan.

Efektifitas Stimulus Fiskal

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 30 September 2002

Berbagai tanggapan muncul setelah Presiden Megawati mengumunkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003. Tanggapan yang muncul umumnya bersikap pesimis bahwa target pertumbuhan 5 persen pada tahun 2003 dapat dicapai. Alasannya, RAPBN 2003 bersifat kontraktif sehingga tidak mungkin menjadi stimulus ekonomi.

Di lain pihak, M Ikhsan dan Robert Simanjuntak (LPEM-FEUI) memandang RAPBN 2003 relatif ekspansif. Sedangkan, Kwik Kian Gie berpendapat bahwa APBN tidak relevan lagi digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi karena proporsi pengeluaran pemerintah dalam Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil, sekitar 13%.

Arus Penerimaan/Pembiayaan dan Pengeluaran APBN

Untuk melihat apakah kebijakan fiskal berdampak kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, maka harus dibandingkan antara jumlah daya beli yang disedot oleh pemerintah dari dalam negri (sisi penerimaan dan pembiayaan APBN) dan jumlah pengeluaran pemerintah ke dalam negri.

Di sisi penerimaan, komponen yang mengurangi daya beli masyarakat, seperti pajak, bersifat kontraktif terhadap perkonomian. Sedangkan penerimaan migas yang berasal dari ekspor, tidak bersifat kontraktif.

Pembiayaan defisit sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: mencetak uang dan hutang (domestik atau luar negri). Pembiayaan defisit dengan mencetak uang akan berdampak ekspansif. Pembiayaan defisit dengan hutang dalam negri akan bersifat netral karena terjadinya crowding-out effect, dimana penyedotan dana dari masyarakat oleh pemerintah dengan obligasi mendorong kenaikan suku bunga yang selanjutnya mengurangi (crowding-out) investasi swasta. Sedangkan pembiayaan defisit APBN dengan hutang luar negri tidak mempunyai dampak kontraksi dimasa sekarang, namun dampak kontraksinya terjadi pada saat pemerintah harus membayar hutang luar negri tersebut.

Dari sisi pengeluaran, harus dilihat apakah pengeluaran tersebut berorientasi ke dalam negri atau ke luar negri. Pengeluaran rutin bersifat ekspansif, kecuali pengeluaran belanja pegawai dan barang luar negri, serta cicilan hutang luar negri dan bunganya yang bersifat kontraktif. Di komponen pengeluaran pembangunan, hanya pengeluaran pembangunan dalam rupiah yang bersifat ekspansif. Sedangkan pengeluaran pembangunan dalam bentuk impor tidak memiliki daya ekspansi terhadap perekonomian lokal.

Berdasarkan versi pemerintah, RAPBN 2003 dinyatakan bersifat ekspansif sebesar Rp 16,8 trilyun, sekitar 1% PDB. Versi Ikhsan dan Simanjuntak, ekspansi RAPBN 2003 sekitar Rp 53 s/d 66 trilyun (3 s/d 3,5 persen PDB). Dilain pihak, Iman Sugema dan Didik Rachbini (Indef) menganggap RAPBN 2003 bersifat kontraktif sekitar Rp 82 trilyun (4,3 persen PDB).

Perbedaan besaran ekspansi/kontraksi RAPBN muncul karena perbedaan persepsi pengamat akan sifat ekspansi/kontraksi komponen pengeluaran/penerimaan.

Persamaan Ricardo

John Maynard Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi agregat ekonomi dan kebijakan fiskal yang aktif diharapkan dapat membuat perekonomian lebih stabil. Pada intinya, Keynes menganjurkan pemerintah secara aktif menggunakan kebijakan fiskal untuk: (1) mendukung ekonomi keluar dari resesi dengan kebijakan anggaran defisit, dan (2) menghindari ‘ekonomi kepanasan’ (economic overheating) dengan kabijakan anggaran surplus.

Berseberangan dengan Keynes, ekonom Klasik berpandangan bahwa kebijakan fiskal tidak dapat secara efektif mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Keyakinan kelompok ekonom klasik ini dirumuskan dalam Teorema Persamaan Ricardo (Ricardo Equivalence Theorem). Nama teorema ini berasal dari nama ekonom klasik, David Ricardo, ekonom pertama yang memaparkan teori netralitas kebijakan fiskal. Selanjutnya, Robert Barro melengkapi analisa Ricardo dan mempertegas kesimpulan analisa tersebut (lihat “Are Government Bonds Net Wealth?”, The Journal of Political Economy, 1974).

Barro berpendapat setiap orang menyadari bahwa anggaran defisit dimasa sekarang harus dibayar dengan pajak yang lebih tinggi dimasa mendatang, sehingga masyarakat mengantisipasi kebijakan defisit tersebut dengan menabung yang lebih banyak. Akibatnya, potensi ekspansi anggaran defisit di hapus oleh kontraksi akibat penghematan yang dilakukan oleh sektor swasta (crowding-out effect). Secara total, pengeluaran agregat dalam ekonomi tetap.

Sebagai gambaran sederhana lain, katakanlah pemerintah memutuskan untuk mengurangi target penerimaan pajak sebesar Rp 30 trilyun, dan kemudian membiayai defisit yang terjadi dengan menjual obligasi sebesar Rp 30 trilyun. Secara total, jumlah uang yang dimiliki masyarakat untuk dibelanjakan adalah sama seperti sebelum kebijakan defisit diterapkan.

Sekali dipertimbangkan bahwa setiap pengeluaran pemerintah memerlukan sumber pembiayaan, dan dimasukkan analisa pilihan antar waktu (analysis of intertemporal choice), maka pengeluaran pemerintah secara rata-rata bersifat netral terhadap perekonomian. Artinya, kebijakan fiskal tidak efektif sebagai alat stabilisasi kegiatan ekonomi.

Ekspansi Fiskal dan Pengaruhnya

Hasil studi empiris yang meliputi 168 negara dengan periode data sepanjang 1970–1999 menunjukkan bahwa stimulus fiskal memang dapat memperpendek masa resesi. Namun hubungan tersebut tidak begitu kuat dan sangat tergantung kondisi awal anggaran pemerintah dan kondisi institusional ekonomi secara keseluruhan ketika stimulus fiskal dilakukan (Emanuele Baldacci, Marco Cangiano, Selma Mahfouz, and Axel Schimmelpfennig, 2001, “The Effectiveness of Fiscal Policy in Stimulating Economic Activity: An Empirical Investigation”).

Stimulus fiskal akan efektif bila perekonomian suatu negara relatif tertutup dari dunia internasional, tingkat pengangguran faktor produksi (input) tinggi, hutang pemerintah rendah, ekspansi fiskal dijalankan dengan meningkatkan anggaran (bukan pemotongan pajak), dan disertai ekspansi kebijakan moneter.

Sebaliknya, stimulus fiskal tidak akan berarti, bahkan bisa berdampak negatif, bila pemerintah mempunyai masalah hutang yang besar, defisit transaksi berjalan besar, ekspektasi sektor swasta memperbesar efek crowding-out, dan ekspansi fiskal menyebabkan ketidakpastian akan stabilitas ekonomi makro.

Mengingat pengangguran di Indonesia yang tinggi dan keperluan perbaikan infrastruktur yang besar, ekspansi fiskal akan sangat bermanfaat. Tapi, berhubung hutang pemerintah sangat tinggi (sekitar 90% PDB), suku bunga yang tinggi, perekonomian yang sangat terbuka, serta masih adanya ancaman ketidakstabilan nilai tukar dan inflasi, fiskal defisit sebagai stimulus ekonomi dapat berdampak negatif. Apalagi bila ekspansi fiskal sangat potensial meningkatkan ekspektasi krisis hutang pemerintah dan resiko serangan spekulasi.

Memang ekspansi pengeluaran dalam negri terbatas karena pemerintah memperbesar porsi pembayaran hutang, namun bisa saja RAPBN 2003 mempunyai efek positif bagi ekonomi. Efek positif ini terjadi karena percepatan pembayaran hutang pemerintah akan berdampak positif pada penurunan suku bunga dan meningkatkan kredibilitas program stabilisasi ekonomi makro.

Hubungan kebijakan fiskal dengan kegiatan ekonomi sangat kompleks, baik dari aspek komposisi APBN (penerimaan, pembiayaan defisit, dan pengeluaran); kondisi institusional ekonomi; serta efek anggaran pemerintah itu sendiri terhadap ekspektasi masyarakat. Tidak ada cara yang mudah untuk menyatakan dengan tegas dan pasti bahwa pertumbuhan ekonomi 5 persen di tahun 2003 terlalu optimis atau wajar hanya dengan melihat besaran data RAPBN 2003.

Spekulasi dan Rejim Nilai Tukar Mengambang



oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 26 Agustus 2002

Sudah lima tahun Bank Indonesia menerapkan rejim nilai tukar mengambang bebas, tepatnya pada 14 Agustus 1997. Sejak itu rupiah bergerak dari titik terkuat Rp 2.500/US$ sampai ke titik terlemah sekitar Rp 16.000 di pertengahan Juni 1998.

Meskipun sekarang sudah relatif stabil, berbagai pihak – seperti pengusaha, pembuat kebijakan, bahkan masyarakat awam – terus khawatir dengan pergerakan rupiah yang tidak menentu.

Dilain pihak, pengamat yang pro mekanisme pasar memandang penerapan rejim nilai tukar mengambang sebagai ‘alat kontrol’ bagi pembuat kebijakan moneter agar lebih berhati-hati dalam mengelola likuidiats perekonomian.

Fundamental atau Spekulasi

Pergerakan rupiah yang sangat tidak menentu menimbulkan pertanyaan; apakah pergerakan nilai tukar ditentukan oleh faktor ekonomi (faktor fundamental) atau sekedar sentimen pasar yang tergantung pada psikologis pedagang valuta asing (faktor spekulatif).

Dalam model moneter sederhana, faktor penentu nilai tukar adalah jumlah uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan riil ekonomi. Model moneter tersebut biasa digunakan untuk menganalisa apakah pergerakan nilai tukar didominasi oleh pergerakan faktor fundamental atau ditentukan oleh faktor spekulatif.

Tabel 1 merangkum variasi nilai tukar dan faktor fundamental ekonomi makro, berupa standar deviasi perubahan data variabel bersangkutan dari bulan ke bulan sebelumnya, sepanjang Januari 1992-Mei 2002.

Di masa krisis Agustus 1997-Desember 1999, variasi variabel ekonomi meningkat tajam dibandingkan era pra-krisis Januari 1992-Juni 1997. Peningkatan variasi nilai tukar sendiri ternyata jauh lebih besar dibandingkan peningkatan variasi faktor fundamental.

Periode Agustus 1997- Desember 1999 juga ditandai oleh perubahan kebijakan moneter yang drastis, dari kebijakan yang sangat longgar ke kebijakan yang ketat. Ternyata, pada saat itu korelasi antara variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar meningkat. Observasi ini sesuai dengan temuan studi komparatif bahwa korelasi variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar akan lebih kuat di negara yang sedang mengalami krisis dibandingkan dengan negara yang stabil.

Sejalan dengan berkurangnya variasi faktor fundemental (khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar) di periode Januari 2000-Mei 2002, variasi nilai tukar juga berkurang. Yang perlu diperhatikan, meskipun variasi faktor fundamental sudah kembali seperti pada era pra-krisis, variasi nilai tukar tetap relatif besar (dan tidak kembali stabil seperti di era pra-krisis).

Dari eksplorasi diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah, selain ditentukan oleh perubahan fundamental ekonomi, juga dipengaruhi faktor spekulatif yang menjadi ciri khas pasar finansial (lihat, Robert P. Flood dan Andrew K. Rose, 1999, “Understanding Exchange Rate Volatility Without The Contriavance of Macroeconomics”, The Economic Journal, volume 109).

Alternatif Penjelasan

Salah satu teori yang mencoba menjelaskan mengapa fluktuasi nilai tukar jauh lebih besar daripada variasi faktor fundamental adalah teori ‘overshooting’ dari Rudiger Dornbusch (“Expectation and Exchange Rates Dynamics”, (1976)). Menggunakan prinsip ekspektasi rasional dan perbedaan fleksibilitas harga di pasar barang dengan pasar finansial, Dornbusch (1976) memperlihatkan bagaimana perubahan kecil kebijakan moneter dapat menyebabkan perubahan nilai tukar yang jauh lebih besar. Penjelasan overshooting ini sangat sesuai dengan perkembangan nilai tukar negara maju, seperti USA, Jerman, dan Jepang, di era 1970-an yang baru menerapkan rejim nilai tukar mengambang.

Dengan meningkatnya fluktuasi nilai tukar di era 1980-an dan 1990-an, teori overshooting Dornbusch pun akhirnya tidak dapat menjelaskan perkembangan variasi nilai tukar dengan memuaskan.

Flood dan Rose (1999) berpendapat bahwa spekulasi valuta asing juga tergantung pada rejim nilai tukar yang diterapkan. Rejim nilai tukar mengambang, dimana nilai tukar terus berubah, akan mendorong transaksi valuta asing yang lebih banyak. Jadi, struktur dan perkembangan pasar valuta asing bersifat endogenous terhadap rejim nilai tukar yang dipilih.

Bila kesalahan perkiraan nilai tukar yang dilakukan spekulan bersifat random dan tidak berkorelasi satu sama lain, maka kesalahan itu akan saling meniadakan sehingga besaran nilai transaksi valuta asing tidak mempengaruhi variasi nilai tukar. Tapi para spekulan sering melakukan kesalahan perkiraan nilai tukar bersama-sama secara sistematis, khususnya dalam jangka pendek. Kesalahan spekulan itu membuat nilai tukar sangat tidak stabil dan terlepas dari perkembangan faktor fundamental.

Terkait dengan dimensi waktu, variasi nilai tukar jangka pendek tidak dapat dijelaskan oleh variasi faktor fundamental. Satu teori yang menjelaskan besarnya variasi nilai tukar jangka pendek adalah teori gelembung spekulasi rasional (speculative rational bubbles theory, selanjutnya GSR).

Dalam GSR, harga suatu komoditas (= valuta asing) dapat terus naik/turun di setiap periode karena pelaku pasar mempunyai ekspektasi bahwa harga akan terus naik/turun. Setiap pelaku pasar mengetahui bahwa harga telah bergerak jauh dari nilai wajarnya berdasarkan faktor fundamental, namun mereka juga tahu bahwa mereka akan merugi bila mencoba melawan tren harga sendirian. Akibatnya, harga yang terealisasi di pasar bukan berdasarkan faktor fundamental, tetapi merupakan hasil realisasi ekspektasi pelaku pasar (self-confirming market expectation).

Kondisi dalam GRS ini terjadi karena pelaku pasar valuta asing memperkirakan nilai tukar dengan ekstrapolasi tren jangka pendek, misalnya menggunakan analisa teknikal atau grafik (technical analysis atau ‘chartist’), dan mengabaikan faktor fundamental.

Orientasi spekulasi jangka pendek ini sejalan dengan berkembangnya pasar mata uang setelah penerapan rejim nilai tukar bebas oleh negara-negara maju di tahun 1973. Survei majalah Euromoney, Agustus 1990, menemukan pergeseran metode peramalan nilai tukar dari analisa fundamental diganti dengan analisa teknikal. Di tahun 1978, 19 dari 23 perusahaan yang disurvei menyatakan mereka menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, dan hanya 3 perusahaan yang mengandalkan analisa teknikal. Pada tahun 1988, hanya 7 dari 31 perusahaan yang disurvei menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, sedangkan 18 perusahaan mengandalkan analisa teknikal.

Survei Allen dan Taylor (1990) terhadap lebih 300 pedagang valuta asing London di tahun 1988 menunjukkan betapa dominannya analisa teknikal untuk spekulasi jangka pendek. Untuk transaksi dengan jangka waktu satu hari sampai seminggu, 90 persen responden mengakui menggunakan input analisa teknikal, dan 60 persen responden memandang analisa teknikal paling tidak sama pentingnya dengan analisa faktor fundemental. Ketika rentang waktu peramalan semakin panjang, yaitu antara satu bulan sampai satu tahun, bobot yang diberikan untuk faktor fundamental semakin besar. Untuk jangka waktu peramalan diatas satu tahun, 30 persen responden menyatakan hanya mengandalkan faktor fundemental, sedangkan 85 persen menyatakan bahwa faktor fundemental jauh lebih penting daripada analisa teknikal.

Implikasi Kebijakan

Apa yang seharusnya Bank Indonesia lakukan untuk meredam variasi nilai tukar rupiah? Bila pemerintah mempunyai kredibilitas, maka pemerintah dapat menerapkan rejim nilai tukar tetap. Tapi, rejim nilai tukar tetap yang tidak kredibel hanya melahirkan kejutan besar secara periodik berupa perubahan nilai tukar drastis, atau devaluasi, seperti yang terjadi di tahun 1978, 1983, 1986, dan 1997. Pilihan lain adalah menerapkan kontrol arus modal, khususnya arus modal jangka pendek yang sarat unsur spekulasi. Masalahnya, dengan pemerintahan yang tidak transparan dan penuh korupsi, kontrol arus modal tidak dapat dijalankan dengan efektif.

Lebih baik Bank Indonesia menerima kenyataan bahwa pergerakan nilai tukar dalam rejim nilai tukar bebas lebih banyak ditentukan oleh spekulasi. Intervensi Bank Indonesia di pasar valuta asing sendiri sangat terbatas efektifitasnya. Jadi, Bank Indonesia sebaiknya memilih target kebijakan moneter yang relatif bisa dikendalikan, yaitu inflasi. Upaya Bank Indonesia meminimisasi variasi nilai tukar hanya dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan meminimisasi variasi jumlah uang beredar.

Perkembangan Ilmu Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 19 Agustus 2002

Sejarah Singkat Ekonomi Makro

Istilah formal ekonomi makro (macroeconomics) diperkenalkan pada 1945, ada yang menulisnya macro-economic, ada juga yang menulisnya macroeconomics. Subyek utama ilmu ekonomi makro sendiri, yaitu pertumbuhan ekonomi, bahasan klasik sejak jaman Adam Smith (1723-1790), Thomas Malthus (1766-1834), dan David Ricardo (1772-1823).

Pada awalnya, studi ekonomi makro lebih dikenal sebagai studi Teori Moneter (Monetary Theory) dan Teori Siklus Bisnis (Business CycleTheory). Teori Moneter bersumber pada studi "teori kuantitas uang" yang menjelaskan hubungan sebab-akibat antara perubahan uang beredar dan perubahan output serta tingkat harga umum (inflasi). Perdebatannya mempertanyakan: apakah perubahan jumlah uang beredar yang menyebabkan perubahan output dan tingkat harga, atau sebaliknya, perubahan output dan tingkat harga yang menyebabkan perubahan jumlah uang beredar.

Teori Siklus Bisnis mempelajari fluktuasi ekonomi dari hasil interaksi faktor riil (seperti kekayaan alam, cuaca, dan perkembangan teknologi), ekspektasi, dan jumlah uang beredar. Ketika iklim usaha kondunsif, kegiatan ekonomi akan meningkat yang ditandai oleh peningkatan investasi dan output; yang kemudian dapat saja secara tiba-tiba ekspektasi pengusaha berubah sehingga perekonomian menjadi lesu dan mengalami resesi atau krisis.

Kedua teori tersebut saling melengkapi dan melahirkan konsep teori ekonomi makro. Di periode 1920-1940-an, Keynes meletakkan fondasi sistematis analisa ekonomi makro, khususnya dalam buku The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936). Aliran ekonomi yang berkembang berdasarkan pemikiran Keynes dikenal sebagai Keynesian. Sejak itu, terjadi berbagai proses perdebatan yang melahirkan berbagai aliran ekonomi makro seperti: Monetarist (1950-1960), Rational Expectation (1970-an), New Keynesians dan New Classical(1980-an).

Era 1990-an: Menuju Kesatuan Pendapat

Meskipun sejarah ekonomi makro selalu diwarnai perbedaan pendapat, periode 1990-an ditandai oleh beberapa konsensus pemikiran ekonomi makro. Konsensus ini sendiri memiliki manfaat praktis bagi pengelolaan kebijakan stabilisasi ekonomi makro.

Pada 1997, lima tokoh ternama dalam ilmu ekonomi makro merumuskan prinsip-prinsip utama ilmu ekonomi makro yang bisa diterima oleh berbagai aliran utama ekonomi makro (lihat kumpulan makalah dalam seksi Is There A Core of Practical Macroeconomics That We Should All Believe?, American Economic Review, Vol 87 (2), May 1997, hal. 230-246). Berikut rangkuman beberapa konsensus ekonomi makro tersebut.

Pertama, dalam jangka panjang ekonomi akan tumbuh mengikuti pertumbuhan alamiah faktor produksi, seperti: peningkatan akumulasi barang modal per tenaga kerja, perbaikan teknologi produksi, dan perubahan institusi. Pertumbuhan output tersebut merupakan tren jangka panjang yang dikenal juga sebagai output potensial.

Konsensus kedua menyatakan: fluktuasi output di sekitar tren output potensial sebagian besar disebabkan oleh perubahan permintaan agregat (aggregate demand/AD). Perubahan AD ini bersumber dari perubahan pengeluaran konsumsi, investasi, perubahan ekspektasi, dan interaksi diantara semua unsur tersebut. Faktor penentu AD ini dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal, sebagai dua perangkat kebijakan stabilisasi ekonomi makro. Proses fluktuasi output jangka pendek disekitar tren output potensial juga mencerminkan proses penyesuaian akibat sistem ekonomi mengalami "guncangan" (shock) yang berkelanjutan.

Ketiga, kebijakan stabilisasi makro hanya mempengaruhi output dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang kebijakan stabilisasi makro bersifat netral terhadap ekonomi. Pengaruh jangka pendek ini disebabkan oleh adanya kekakuan/ketegaran (stickiness/rigidities) dalam ekonomi, baik yang bersifat nominal, riil, maupun institusional. Konsensus ketiga ini sebenarnya kembali menegaskan konsensus pertama yang menyatakan bahwa output jangka panjang tumbuh mengikuti tren output potensial, namun dilihat dari aspek penerapan kebijakan stabilisasi makro.

Terkait dengan kebijakan stabilisasi makro, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi output dan inflasi, kebijakan moneter mempunyai fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Ini terkait dengan faktor institusional, dimana perubahan kebijakan fiskal memerlukan waktu yang lebih lama dan juga selang waktu penerapan yang lebih panjang dibandingkan dengan perubahan/penerapan kebijakan moneter.

Kedua, dalam perumusan dan penerapan kebijakan stabilisasi ekonomi makro, pembuat kebijakan sebaiknya berpegang pada 'aturan' daripada 'bebas memilih' (rules rather than discretion). Maksudnya, ada kerangka kebijakan stabilisasi makro yang menjadi panduan dasar bagi pembuat kebijakan dalam upaya mencapai target kebijakannya, seperti output dan inflasi. Dua prinsip kebijakan stabilisasi ekonomi makro ini merupakan konsensus yang keempat.

Akhirnya, meskipun diakui bahwa kekakuan/ketegaran sektor riil mempunyai kontribusi pada inflasi dalam periode tertentu, inflasi yang berkelanjutan dalam jangka panjang selalu disebabkan oleh faktor moneter (persistent inflation is always a monetary phenomenon). Sehingga untuk memerangi inflasi diperlukan disiplin fiskal (yaitu dengan tidak membiayai defisit fiskal melalui pencetakan uang) dan disiplin moneter.

Pelajaran Bagi Indonesia

Dalam polemik kebijakan stabilisasi ekonomi makro di Indonesia, masih terdapat kepercayaan bahwa pemerintah, selain mampu menstabilkan harga, juga dapat menaikkan output dan menurunkan pengangguran secara bersamaan. Pemerintah bahkan dianggap dapat menaikkan tingkat output dan menurunkan pengangguran dalam jangka panjang sekalipun.

Namun pengalaman negara maju yang melahirkan konsensus makro di atas menyanggah kepercayaan bahwa kebijakan makro dapat menaikkan ouput dan menurunkan pengangguran dalam jangka panjang.

Pengalaman Indonesia sendiri juga menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dan moneter bersifat netral terhadap output potensial. Misalnya, ekspansi moneter di era pemerintahan Soekarno tidak membawa output yang lebih tinggi, bahkan menyebabkan inflasi yang ratusan persen per tahun. Contoh lain, meskipun di awal 1990-an ekspansi moneter membuat perekonomian Indonesia tumbuh sangat tinggi, segera pemerintah harus meredam ekspansi moneter yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan output nasional. Jadi, secara rata-rata kebijakan moneter dalam jangka panjang tidak dapat mempengaruhi output nasional.

Pengalaman paska krisis 1998 sendiri menunjukkan bahwa fluktuasi sektor moneter ternyata tidak diikuti fluktuasi sektor riil. Setelah output kembali menjadi positif pada 1999, selanjutnya output diperkirakan tumbuh rata-rata 3persen per tahun dan inflasi sekitar 10 persen per tahun.

Dapat diduga bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung membaik sekarang ini bukan dikarenakan kurangnya stimulus fiskal atau moneter, tapi lebih dikarenakan tidak adanya reformasi sektor riil yang berarti.

Indonesia sebaiknya belajar dari pengalaman Jepang di era 1990-an. Tanpa reformasi sektor riil, stimulus fiskal dan talangan sektor keuangan yang bernilai sekitar US$ 1 trilyun tidak membuat ekonomi Jepang tumbuh. Ekspansi fiskal pemerintah Jepang terlihat dari peningkatan rasio pengeluaran pemerintah Jepang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dari 30 persen pada 1990 menjadi 37 persen pada 2001.

Sejalan dengan ekspansi fiskal, utang pemerintah Jepang naik dari 65 persen PDB pada 1990, menjadi 135 persen PDB pada 2001. Celakanya, indikator sektor riil Jepang hanya menunjukkan pertumbuhan rata-rata sekitar 0,4 persen per tahun sepanjang 1990-2001, dengan tren pengangguran meningkat dan mencapai 5 persen di tahun 2001.

Dengan kondisi fiskal Indonesia yang masih terbebani utang pemerintah sekitar Rp 1.300 trilyun (sekitar 90 persen PDB), maka stimulus fiskal tanpa disertai reformasi sektor riil, dapat dipastikan tidak akan berarti banyak bagi pertumbuhan ekonomi.

Pembuat kebijakan ekonomi Indonesia harus belajar dari konsensus ekonomi makro di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam jangka panjang bersumber dari perkembangan alamiah sektor riil seperti inovasi teknologi produksi dan perubahan institusi. Kebijakan makro, fiskal dan moneter, hanya lah penyelesaian jangka pendek yang tidak ada manfaatnya tanpa reformasi sektor riil.

Fungsi APBN: Stabilisasi atau Pemerataan

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 28 Oktober 2001

Dalam buku ekonomi makro, kebijakan fiskal - bersama kebijakan moneter - merupakan instrumen stabilisasi ekonomi. Namun di negara sedang berkembang (NSB), seperti Indonesia, kebijakan fiskal lebih sering menjadi sumber ketidakstabilan ekonomi. Ini terjadi karena pemerintah dibebani tugas untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal yang defisit. Pemerintah di NSB cenderung membiayai defisit fiskal dengan mencetak uang yang mempunyai dampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Dari aspek ekonomi publik, kebijakan fiskal berfungsi sebagai instrumen alokasi sumber daya ekonomi untuk memperbaiki distribusi pendapatan dan kekayaan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah.

Sejak krisis terjadi, kedua fungsi kebijakan fiskal tersebut tidak berjalan. Pembebanan biaya talangan perbankan telah mengampuntasi fungsi stabilisasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Pengurangan subsidi untuk berbagai komoditas yang dikonsumsi masyarakat luas dan di lain pihak besarnya subsidi untuk restrukturisasi perbankan, malah menyebabkan redistribusi sumber daya ekonomi dari kelompok masayarakat ke kelompok elit konglomerat.

Stabilisasi vs Pemerataan

Kebijakan fiskal, yaitu APBN, di Indonesia dibuat untuk periode satu tahun. Untuk mengubah APBN dalam periode berjalan, diperlukan persetujuan berbagai pihak, di antaranya Departemen Keuangan dan DPR. Informasi mengenai realisasi APBN sendiri hanya tersedia dalam periode 6 bulanan dan dengan rentang waktu yang cukup lama, minimal 3 bulan. Hambatan institusional tersebut menyebabkan APBN tidak memiliki fleksibilitas untuk digunakan sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro jangka pendek (kurang dari satu tahun).

Ini tidak berarti peran APBN dalam stabilisasi ekonomi makro hilang sama sekali. APBN sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro masih berperan memuluskan (smoothing) siklus ekonomi jangka menengah-panjang, khususnya untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui investasi infrastruktur. APBN yang berimbang, juga meningkatkan fleksibilitas kebijakan moneter sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro utama dalam jangka pendek.

Menurut penulis, pemerintahan Megawati lebih baik menfokuskan kebijakan fiskal untuk pemerataan pembangunan, baik antar daerah maupun antar kelompok masyarakat.

Meningkatkan Efektifitas Pengeluaran APBN

Mengingat keterbatasan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan dalam negeri (apalagi dalam jangka pendek) dan sulitnya pembiayaan defisit anggaran, efektifitas setiap pos pengeluaran harus ditingkatkan. Meskipun secara keseluruhan subsidi berkurang, harus dengan baik dipertimbangkan subsidi sektor apa yang dikurangi dan subsidi sektor mana yang tetap harus ditingkatkan.

Pengurangan subsidi untuk komoditas tertentu, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), mungkin dapat dibenarkan karena sebagian besar konsumen langsung BBM adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Lebih-lebih mengingat rendahnya harga BBM di Indonesia telah mendorong penyeludupan BBM ke luar negri.

Untuk meringankan beban masyarakat berpendapatan rendah, pemerintah mengganti subsidi umum BBM dengan penargetan subsidi pada sektor transportasi publik dan listrik rumah tangga kecil. Penargetan subsidi juga harus dilakukan pada berbagai sektor publik yang menyangkut masyarakat kelas bawah, seperti pengadaan sarana air bersih dan sanitasi umum.

Masalahnya, penargetan subsidi sulit dilaksanakan karena kelompok masyarakat yang menjadi target tidak selalu tersegmentasi dengan jelas serta tingginya potensi penyelewengan dana subsidi. Penyelewengan dana subsidi yang ditargetkan kepada rakyat berpendapatan rendah terjadi, misalnya, dalam kasus pendistribusian beras OPK dari program Jaring Pengaman Sosial. Namun, penargetan subsidi tetap menjadi pilihan yang lebih baik bila total biayanya memang lebih rendah daripada total biaya subsidi secara umum.

Pengeluaran untuk investasi publik (public capital spending) dan pengeluaran sosial (social spending) tidak boleh dikurangi. Bila pengeluaran investasi menurun, tidak hanya bersifat kontraktif di masa sekarang, juga dapat menurunkan pertumbuhan potensi ekonomi di masa mendatang. Bahkan penurunan investasi publik dapat mengurangi tabungan nasional di masa depan, bila penurunan pengeluaran untuk investasi infrastruktur - seperti jalan, jembatan, dan listrik - menimbulkan hambatan investasi dari sektor swasta.

Perhatikan bahwa pengeluaran sosial seperti pendidikan dan kesehatan, meskipun secara konvensional dicatat sebagai pengeluaran konsumsi pemerintah, sebenarnya merupakan investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia (SDM). Karena itu keputusan pemerintahan Megawati untuk meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial menunjukkan reorientasi pengeluaran yang sangat positif.

Aspek pemerataan dan keadilan sosial pengeluaran kedua sektor tersebut bisa ditingkatkan bila dana yang tersedia diarahkan untuk pengadaan jenis pendidikan dan kesehatan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Di sektor pendidikan, upaya pemerataan dilakukan dengan memprioritaskan pelaksanaan program Wajib Belajar 9 tahun. Berbagai studi dari World Bank (misalnya The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy , 1993) menunjukkan bahwa nilai pengembalian sosial investasi ( social return of investment ) pendidikan dasar/menengah lebih tinggi daripada investasi pendidikan tinggi. Studi yang sama juga menemukan bahwa negara yang memprioritaskan pendidikan dasar/menengah sebagai strategi utama pengembangan SDM-nya mengalami perbaikan distribusi pendapatan. Kedua penemuan ini sesuai fakta bahwa pendidikan dasar dan menengah dinikmati oleh semua kelompok masyarakat, bukan seperti pendidikan tinggi yang relatif hanya dinikmati oleh kelompok kelas menengah keatas. Sedangkan di sektor kesehatan, subsidi sebaiknya difokuskan untuk pengadaan sarana kesehatan untuk rakyat kecil seperti Puskesmas dan pengadaan obat generik.

Hapuskan 'Subsidi' Untuk Konglomerat

Pengurangan subsidi - yang kembali akan meningkatkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) di tahun 2002 - memang berlawanan dengan prinsip keadilan sosial, bila mengingat pengurangan subsidi terjadi karena pengeluaran pemerintah 'tersedot' untuk membiayai program talangan sektor perbankan. Dan penerima dana talangan perbankan adalah konglomerat yang kaya raya. Para konglomerat tersebut menerima 'subsidi terselubung' seperti: potongan hutang dan bunganya, subsidi kurs murah untuk melunasi hutang dalam mata uang asing, dan penyuntikan dana segar murah berupa rekapitalisasi bank.

Contohnya, empat bank peserta rekapitalisasi, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia Tbk., PT Bank Central Asia Tbk., dan PT Bank Danamon Tbk., merupakan kelompok bank peraih laba tertinggi pada semester I/2001. Namun sebagian besar laba tersebut bersumber dari pendapatan bunga obligasi rekapitalisasi. Biaya bunga obligasi rekapitalisasi ini berasal dari APBN, yang berarti seluruh rakyatlah yang menanggung biaya bunga tersebut. Jadi kebijakan tersebut merupakan transfer sumber daya ekonomi dari seluruh rakyat kepada kelompok kepentingan tertentu, yaitu konglomerat, yang dekat dengan kekuasaan.

Inilah tantangan terberat bagi pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan kabinet Gotong Royong-nya. Pemerintah harus bisa mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pemerataan hasil pembangunan, bukan sebagai alat transfer sumber daya ekonomi dari masyarakat ke konglomerat. Pemerintahan Megawati harus memprioritaskan kepentingan rakyat, dan mengurangi "subsidi terselubung" buat para parasit yang bersembunyi di balik bank peserta program rekapitalisasi.

Sistem Nilai Tukar dan Stabilisasi Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 9 Oktober 2001

Rupiah tidak kunjung stabil dan kembali menembus Rp 10.000 per US$. Menneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie sempat menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan sistem nilai tukar tetap (Bisnis Indonesia, 27/09/2001). Meskipun sempat muncul suara pro dan kontra, perdebatan yang terjadi tidak sehebat ketika usulan penerapan Dewan Mata Uang (currency board system) muncul di awal 1998.

Perdebatan Panjang

Polemik mengenai sistem nilai tukar sudah berlangsung lama. Milton Friedman dalam “The Case for Flexible Exchange Rates” (1953) menganjurkan agar setiap negara menganut sistem nilai tukar bebas dan meningkatkan disiplin kebijakan makro (fiskal dan moneter) guna mencapai stabilitas ekonomi domestik, yaitu stabilitas harga dan pertumbuhan output. Stabilitas ekonomi domestik diharapkan akan menghasilkan stabilitas ekonomi eksternal, yaitu nilai tukar dan keseimbangan neraca pembayaran.

Di era 1960-an, Robert Mundell (peraih Nobel Ekonomi 1999) menganalisa kompleksitas kebijakan stabilisasi makro di perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Kesimpulan analisa Mundell ini dikenal dengan diktum “Impossible Trinity” yang menyatakan bahwa sebuah negara tidak dapat memiliki tiga kondisi berikut secara bersamaan: (1) nilai tukar tetap, atau stabilitas kurs; (2) keterbukaan arus modal, atau sistem devisa bebas; dan (3) independensi kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas ekonomi domestik. Salah satu kondisi tersebut harus rela dilepas dari kontrol pemerintah sebagai pembuat kebijakan makro.

Contoh konkrit masa sekarang misalnya: Cina dan India menerapkan kontrol devisa yang sangat ketat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan memiliki independensi kebijakan moneter. Dilain pihak, Argentina mengadopsi rejim dewan mata uang yang menjamin sistem devisa bebas dan nilai tukar tetap, namun harus dibayar dengan hilangnya kebijakan moneter. Sedangkan negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang, menganut sistem devisa bebas dan independensi moneter dengan melepas kontrol atas nilai tukarnya.

Menariknya, kontroversi sistem nilai tukar dan stabilisasi ekonomi makro itu terjadi dimasa berlakunya sistem nilai tukar tetap Bretton Woods dengan IMF sebagai pengawasnya.

Di akhir 1960-an, terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran antar negara yang sangat besar, sehingga US tidak mampu lagi menanggung beban stabilisasi ekonomi internasional. Pada tahun 1973 secara resmi nilai tukar tetap di tinggalkan dan negara maju umumnya mengadopsi nilai tukar mengambang.

Setelah sistem nilai tukar mengambang diterapkan sekitar 15 tahun, Arthur J. Rolnick dan Warren E. Weber memperlihatkan bahwa: variasi ekonomi domestik – yaitu inflasi dan output – tetap tinggi, ketidakseimbangan perdagangan internasional meningkat, sedangkan nilai tukar semakin berfluktuasi. Maka Rolnick dan Weber mengusulkan agar setiap negara melakukan koordinasi kebijakan makro untuk memungkinkan penerapan kembali sistem nilai tukar tetap (“A Case for Fixing Exchange Rate”, dalam Federal Reserve Bank of Minneapolis 1989 Annual Report).

Setelah 25 tahun, bukti empiris dalam kumpulan makalah konferensi nilai tukar di jurnal ternama ‘The Economic Journal’, vol. 109 (November 1999), menguatkan penemuan dari studi Rolnick dan Weber. Penelitian tersebut menemukan bahwa faktor spekulasi lebih dominan dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Namun, di negara yang sedang krisis atau tidak memiliki disiplin kebijakan makro, faktor kebijakan makro tetap mempunyai peran yang besar dalam menentukan pergerakan nilai tukar.

Sistem Nilai Tukar dan Program Stabilisasi

Ketika sebuah negara mengalami krisis, baik karena kesalahan kebijakan makro atau serangan spekulasi, ada dua metode stabilisasi yang bisa dilaksanakan; yaitu stabilisasi berdasarkan nilai tukar tetap (exchange-rate based stabilization, EBS) atau stabilisasi berdasarkan kontrol penawaran uang (money-based stabilization, MBS).

Pada EBS, setelah nilai tukar terdepresiasi, ditetapkan nilai tukar baru yang dianggap wajar. Pemerintah selanjutnya harus melaksanakan kebijakan makro yang menjamin stabilitas harga domestik sejalan dengan perkembangan harga di negara yang menjadi patokan nilai tukar, misalnya Amerika. Bila pemerintah tidak memiliki disiplin kebijakan makro, akan terjadi ketidakseimbangan ekonomi makro baru yang terlihat pada kenaikan inflasi, defisit neraca pembayaran berkelanjutan, dan kehilangan cadangan devisa. Akhirnya patokan nilai tukar harus dirubah dengan devaluasi dan biasanya disertai/disusul dengan serangan spekulasi yang hebat. Krisis baru pun terjadi.

EBS memang tidak menjamin bahwa suatu negara terhindar dari krisis. Misalnya di tahun 1994-95, Argentina terimbas oleh serangan spekulasi di Meksiko sehingga terjadi pelarian arus modal dan krisis perbankan. Meskipun nilai tukar Argentina bisa dipertahankan, krisis likuiditas telah menyebabkan kontraksi output sebesar 4,4 persen dan pengangguran naik menjadi 18,5 persen.
Dalam metode MBS, program stabilisasi menekankan disiplin pengendalian jumlah uang beredar. Defisit fiskal harus dikurangi untuk mencegah pembiayaan defisit anggaran dengan mencetak uang atau ekspansi moneter. Nilai tukar dibiarkan mengambang dan diharapkan mencapai ‘nilai wajar’ yang sesuai dengan keseimbangan perdagangan internasional. Dengan tercapainya stabilitas internal, diharapkan nilai tukar secara otomatis akan stabil.

Ekonom ternama yang berpengalaman dalam berbagai program stabilisasi IMF di Amerika Latin atau ekonomi transisi – seperti Rudiger Dornbusch, Guillermo Calvo, Arnold Harberger, dan Jeffrey Sach – mengakui bahwa EBS menghasilkan stabilitas ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan MBS. Biaya metode stabilisasi EBS, berupa kontraksi output dan pengangguran, juga lebih kecil daripada biaya stabilisasi metode MBS. (Lihat: Rudiger Dornbusch, 1993, “Stabilization, Debt, and Reform”)

Meskipun terdapat perbedaan nyata antara kedua metode program stabilisasi diatas, kedua-duanya menuntut perbaikan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Bila pemerintah tidak disiplin dalam melaksanakan kebijakan makro, dapat dipastikan program stabilisasi akan gagal. Kedua program stabilisasi juga harus disertai program restrukturisasi sektor riil untuk menjamin peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dalam metode MBS, kegagalan program stabilisasi ditandai oleh ketidakstabilan nilai tukar. Setiap kelebihan likuiditas dalam perekonomian akibat ekspansi moneter, segera akan ditandai oleh serangan spekulasi pada nilai tukar. Semakin tidak menentu perkembangan nilai tukar, maka program retrukturisasi tidak dapat dijalankan. Karena perekonomian tidak kunjung stabil dan restrukturisasi tidak berjalan, output tidak tumbuh sesuai potensi ekonomi yang ada.

Berbeda dengan MBS, dalam EBS tidak terdapat indikator yang dengan segera dapat dipantau oleh pelaku pasar bila komitmen pemerintah menjalankan program stabilisasi berkurang. Akibatnya langkah koreksi yang diperlukan tidak diambil. Selain itu, keberhasilan jangka pendek metode EBS sering menyebabkan pemerintah tidak bersedia melanjutkan program restrukturisasi jangka panjang sektor riil guna menjamin stabilitas ekonomi jangka panjang.

Disiplin Kebijakan Makro dan Restrukturisasi Sektor Riil

Dari ulasan mengenai sistem nilai tukar dan metode stabilisasi diatas ada pesan yang sangat relevan dengan perkembangan ekonomi Indonesia pada saat ini. Pilihan sistem nilai tukar ternyata tidak akan membawa stabilitas ekonomi bila tidak didukung aspek institusi ekonomi lain yang diperlukan, seperti sistem finansial yang kuat. Demikianlah pengelaman krisis di Argentina di tahun 1995. Dilain pihak, penerapan sistem nilai tukar bebas akan menimbulkan biaya yang sangat besar bila para pelaku ekonomi belum siap dengan sistem mekanisme pasar dan masih tergantung pada bantuan/perlindungan pemerintah dalam menjalankan usahanya.

Yang pasti, kedua sistem nilai tukar dan program stabilisasi mensyaratkan hal yang yang sama agar bisa bertahan, yaitu disiplin kebijakan makro dan restrukturisasi sektor riil. Ini lah yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah Indonesia. Apakah pemerintah dapat memenuhi berbagai target fiskal yang telah ditetapkan, seperti besaran defisit, penerimaan pajak, dan alokasi pengeluaran yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Apakah otoritas moneter telah menjalankan kebijakan moneter sesuai yang ditetapkan untuk memenuhi target inflasi satu digit? Sejauh mana pula komitmen pemerintah menjalankan program restrukturisasi sektor riil, termasuk restrukturisasi sektor finansial dan hutang ?

Perdebatan mengenai sistem nilai tukar dapat terus dilanjutkan. Sementara itu yang terpenting pemerintah tetap menjalankan program stabilisasi makro dan restrukturisasi sektor riil. Barulah kita bisa berharap bahwa rupiah bisa menguat; bukan sekedar mendekati Rp 8000 per US$, mungkin bisa lebih kuat dari nilai tukar di masa pemerintahan BJ Habibie yang sempat mencapai Rp 6700 per US$.

Selasa, 05 Agustus 2008

Catatan Kegagalan Program Stabilisasi Moneter Indonesia

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Kamis, 27 September 2001


Nilai tukar rupiah kembali jatuh menembus Rp 9500 per US dollar dan inflasi tetap mengancam stabilitas moneter. Sedangkan Bank Indonesia (BI) mempertahankan nilai suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), meskipun otoritas moneter negara lain – misalnya Federal Reserve of US, Bank Sentral Jepang, dan Bank Sentral Eropa – sudah menurunkan suku bunga untuk mengantisipasi ancaman resesi global sebagai dampak kehancuran WTC.

Di setiap saat terjadi peningkatan ketidakstabilan moneter, pejabat pemerintah selalu menemukan alasan bahwa semua itu diluar kendali otoritas moneter, yaitu BI. Di lain pihak, para pelaku pasar cenderung menyalahkan BI karena BI dipandang melaksanakan kebijakan uang ketat (tight monetary policy, TMP) dengan cara menaikkan suku bunga SBI. Kenaikan suku bunga SBI selanjutnya akan berdampak negatif terhadap kegiatan produksi nasional, sedangkan stabilitas moneter – baik nilai tukar maupun inflasi – tidak tercipta.

Tulisan berikut memberikan analisa yang berbeda. Penulis akan menunjukkan bahwa BI dari waktu ke waktu tidak pernah secara konsisten malaksanakan apa yang disebut sebagai ‘kebijakan uang ketat’ (tight monetery policy, TMP). BI juga hampir tidak pernah mengikuti program stabilisasi moneter ala International Monetary Fund (IMF), yang dipandang sebagai penganjur TMP, sebagaimana yang selama ini dipersepsikan oleh masyarakat.


Salah Indikator

Dalam menganalisa kondisi moneter, para komentator dan ekonom Indonesia terpaku pada perkembangan suku bunga nominal SBI. (Suku bunga nominal adalah suku bunga yang terjadi dari hasil interaksi permintaan dan penawaran dana di pasar uang). Bila suku bunga nominal tinggi, maka disimpulkan BI sedang menjalankan TMP. Sebaliknya, bila suku bunga nominal rendah, maka BI dianggap menerapkan ‘kebijakan uang longgar’ (loose monetary policy). Padahal, suku bunga nominal tidak bisa digunakan sebagai indikator kebijakan moneter.

Friedman (1968), setelah menjelaskan interaksi antara variabel suku bunga, jumlah uang beredar dan inflasi, menyimpulkan “...they explain why interest rates are such a misleading indicator of whether monetary policy is 'tight' or 'easy'.” Friedman menegaskan “it is better to look at the rate of the change in the quantity of money” untuk mengukur situasi kebijakan moneter. (untuk diketahui: Milton Friedman adalah seorang ekonom dari faham moneteris yang meraih hadiah nobel ekonomi ditahun 1976).

Memang benar di negara maju, instrumen kebijakan moneter adalah suku bunga. Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia, Anthony Santomero menyatakan, “...monetary policy today is an interest rate policy.” Namun, selanjutnya Santomero menjelaskan bahwa kebijakan suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga riil jangka panjang. Dalam kalimat Santomero kebijakan moneter “...is essentially an exercise in assessing where we have set the real (interest) rate relative to that long - run equilibrium path.” Suku bunga riil didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi dengan ekspektasi inflasi.

Singkatnya, ada dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengukur situasi kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar (khususnya uang primer, M0) dan suku bunga riil. Sedangkan suku bunga nominal hampir tidak mempunyai makna yang berarti dalam analisa kebijakan moneter, bahkan bisa menyesatkan.


Evaluasi Kebijakan Moneter Indonesia 1998-sekarang

Sesuai penjelasan diatas, untuk mengevaluasi program stabilisasi moneter Indonesia sejak tahun 1998, penulis akan menggunakan indikator pertumbuhan jumlah uang primer (M0) dan suku bunga riil SBI. Target pertumbuhan M0 dalam program stabilisasi moneter ala IMF hanya berkisar 8-10% per tahun. Sedangkan BI di tahun 1997, 1998, 1999, dan 2000 melakukan ekspansi M0 masing-masing sebesar 34, 63, 35, dan 23 persen. Pada akhir Agustus 2001, pertumbuhan M0 tahunan mencapai 22 persen, atau dua kali lipat target pertumbuhan M0 versi BI yang 11 persen untuk tahun 2001. Data pertumbuhan M0 jelas-jelas memperlihatkan bahwa BI tidak pernah melaksanakan kebijakan TMP ala IMF.

Khusus untuk tahun 1998, ternyata M0 tumbuh sangat cepat, mendahului kenaikan suku bunga nominal SBI. Pertumbuhan M0 mencapai puncaknya pada bulan Agustus-November 1998 yang rata-rata berkisar 115% per tahun; pertumbuhan M0 tertinggi dalam kurun 30 tahun sejak Soeharto berhasil melakukan program stabilisasi ekonomi makro di periode 1966-1968.

Setelah M0 tumbuh dengan cepat, baru suku bunga nominal SBI menyusul naik mencapai 70 persen sepanjang Juli-September 1998. Meskipun suku bunga nominal SBI sangat tinggi, sejalan dengan meningkatnya inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang, suku bunga riil turun drastis dan menjadi negatif sepanjang tahun 1998 sampai awal 1999. Suku bunga riil mencapai titik terendah, minus 30 persen, pada Desember 1998. Pertumbuhan uang yang tinggi dan suku bunga riil negatif ini mengindikasikan kebijakan uang yang sangat longgar (excessively loose monetary policy).

Untuk lebih jelasnya, bandingkan perkembangan indikator moneter di tahun 1998 dengan 1991. Pada tahun 1991, pelaksanaan kebijakan uang ketat ditandai oleh kenaikan suku bunga nominal dan penurunan pertumbuhan uang beredar menjadi sekitar 5 persen per tahun. Sedangkan suku bunga riil SBI naik mendekati 10 persen. Mencermati perkembangan sepanjang tahun 1998, dapat diperkirakan bahwa kenaikan suku bunga SBI lebih merupakan respon endogenus BI untuk mengantisipasi kenaikan inflasi akibat ekspansi M0 yang sangat berlebihan. Dalam kondisi seperti ini, suku bunga SBI tidak bisa menjadi indikator kebijakan uang ketat, meskipun suku bunga SBI pada saat itu sempat hampir 3 kali lipat suku bunga SBI pada awal 1991. Apalagi melihat pertumbuhan M0 di tahun 1998 yang mencapai 63 persen, lebih 12 kali pertumbuhan M0 di tahun 1991.

Sumber utama pertumbuhan M0 tersebut adalah peningkatan klaim bersih BI terhadap sektor pemerintah, yang digunakan untuk membiayai progam restrukturisasi perbankan dan pembiayaan defisit anggaran. Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI) memang menjadi komponen utama ekspansi moneter pada masa itu. Bahkan BLBI disinyalir telah digunakan untuk melakukan serangan spekulasi terhadap rupiah yang semakin memperburuk stabilitas moneter.

Penjelasan diatas membuktikan bahwa selama ini Indonesia tidak menerapkan program stabilisasi ala IMF atau TMP. Bahkan sebaliknya, BI menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar. Hal ini juga diakui oleh pejabat BI sebagaimana yang dapat dibaca dalam berbagai laporan BI (lihat di www.bi.go.id).

Baru setelah BI berhasil mengerem pertumbuhan BLBI di pertengahan 1999, pertumbuhan uang melambat. Bahkan pada semester kedua 1999, pertumbuhan M0 tahunan rata-rata hanya sekitar 13 persen, mendekati target yang ditetapkan IMF. Keberhasilan pengendalian BLBI membuka peluang untuk penurunan suku bunga SBI tanpa menimbulkan dampak negatif pada tingkat harga dan nilai tukar rupiah. Kebijakan TMP tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan mantan Presiden Habibie dalam memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu.

Ini lah paradoks kebijakan moneter. Bank sentral bisa menurunkan suku bunga nominal bila melaksanakan kebijakan penawaran uang yang konsisten dengan pertumbuhan potensi ekonomi, meskipun pada awalnya kebijakan tersebut cenderung menaikkan suku bunga nominal. Bila BI konsisten mengendalikan jumlah uang beredar sehingga inflasi menurun, suku bunga nominal juga akan turun ke tingkat yang rendah. Dengan terbentuknya kredibilitas BI dalam mengendalikan inflasi, suku bunga akan stabil pada tingkat yang rendah. Dilain pihak, bila BI tidak konsisten dan cenderung mengejar kepentingan penurunan suku bunga jangka pendek sesaat melalui kebijakan moneter yang ekspansif, pada akhirnya inflasi meningkat dan suku bunga nominal menjadi tinggi.


Kambing Hitam

Bila BI menerapkan kebijakan moneter yang sangat ekspansif, khususnya di tahun 1998, lalu mengapa para ekonom dan pendapat popular umumnya menyatakan yang sebaliknya, bahwa telah terjadi kegagalan penerapan TMP?

Ada dua kemungkinan. Pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan, para ekonom yang menganalisa kondisi moneter pada saat itu telah menggunakan indikator yang salah, yaitu suku bunga nominal, untuk mengukur situasi kebijakan moneter. Dan media massa lalu ikut mempopulerkan mitos TMP tersebut. Kedua, para elit penguasa memerlukan kambing hitam untuk disalahkan atas kegagalan program stabilisasi moneter yang dijalankan oleh BI. Dengan dukungan para pengamat dan ekonom, elit penguasa tersebut melakukan propaganda menyalahkan lembaga asing yang bisa digambarkan sebagai ‘kolonialisme baru’ (neo-colonialism). Jadilah seakan-akan IMF yang bertanggung jawab atas berbagai kegagalan program kebijakan stabilisasi moneter ala BI.

Yang harus disadari BI lah yang harus bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan moneter. Dan BI selama ini selalu tidak memenuhi target kebijakan moneter yang ditetapkan dalam kesepakatan bersama Indonesia dan IMF.

Mengkambinghitamkan IMF tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia. Indonesia sebenarnya memang tidak memerlukan IMF untuk menjalankan program stabilisasi moneter, asal BI mempunyai program yang jelas dan secara konsisten menjalankan program tersebut. Faktanya, program moneter dan disiplin yang tidak kita punyai.

Yang lebih harus disadari, kegagalan elit penguasa dalam pelaksanaan program stabilisasi ekonomi makro juga mencerminkan kegagalan akademisi Indonesia yang tidak mampu memberikan suatu solusi yang jelas untuk mengatasi krisis.
(Catatan, versi Inggris tulisan ini dipublikasi di situs Asia Features (www.asiafeatures.com) dengan judul “The Myth of Tight Monetary Policy”, 14 September 2001.)

Menyelamatkan APBN dengan Pajak

oleh Siswa Rizali*
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 24 September 2001.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2002, pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) sebesar 12,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau penerimaan pajak diperkirakan sebesar Rp 216,8 trilyun. Timbul pertanyaan, mungkin kah target penerimaan tersebut dicapai pada saat perekonomian masih dalam proses pemulihan dari krisis?


Reformasi Pajak dan Krisis

Di negara yang sedang mengalami krisis, reformasi fiskal merupakan bagian penting untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Dari sisi penerimaan, reformasi fiskal tersebut berupa reformasi pajak.

Meksiko, sebuah negara yang telah berulangkali mengalami krisis, juga melakukan reformasi pajak di tahun 1998. Reformasi pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah sebesar satu persen PDB di tahun 1998 dan memungkinkan pemerintah Meksiko mempertahankan defisit anggaran di tahun 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 1.25 dan satu persen PDB.

Indonesia sendiri pernah melakukan reformasi pajak ketika terancam krisis hutang pada era 1980-an akibat menurunnya harga minyak di awal dan pertengahan 1980-an. Kebijakan tersebut telah membantu pemerintah menggali sumber penerimaan dalam negri baru untuk mengimbangi penurunan pendapatan dari sektor minyak dan gas. Paska reformasi pajak 1980-an, rasio pajak Indonesia meningkat cukup tinggi, dari rata-rata sebesar 7 persen di periode 1981-1985, menjadi 10 persen pada awal 1990-an, dan mencapai 12 persen di pertengahan 1990-an. Di tahun 1994 sendiri, pemerintah kembali melakukan reformasi pajak, khususnya yang terkait dengan pajak pendapatan.

Berbeda dengan Meksiko dan Indonesia, Rusia melaksanakan reformasi pajak ditahun 1990-an guna memperlancar transisi perkonomiannya dari ekonomi sistem sosialis ke ekonomi berdasarkan mekanisme pasar. Proses transisi ekonomi yang dijalani Rusia menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari sektor tradisional era sosialis, yaitu perusahaan milik negara. Bahkan kemudian Rusia terpuruk dalam krisis. Kedua hal ini menjadikan reformasi pajak sebagai bagian penting dalam upaya stabilisasi ekonomi makro Rusia.


Penerimaan Pajak; Sebuah Perbandingan

Tarif pajak Indonesia pada dasarnya sudah mirip dengan tarif pajak dinegara lain. Misalnya tarif pajak penghasilan (PPh) tertinggi adalah 30 persen. Pada masa lalu beberapa negara memang ada yang mengenakan tarif pajak 60-70 persen untuk kelompok pendapatan teratasnya, namun sekarang tarif maksimum tersebut secara umum tinggal sekitar 40 persen.

Dengan menganggap tarif yang tidak berbeda, penerimaan pajak yang sekitar 13 persen PDB sangat lah rendah. Tidak perlu kita bandingkan rasio pajak Indonesia dengan rasio pajak negara maju yang rata-rata sekitar 28 persen PDB, misalnya rasio pajak US adalah 21 persen; Belgia dan Belanda sekitar 43 persen; dan Swedia bahkan mencapai 52 persen.

Mari kita lihat rasio pajak negara lain di Asia Tenggara, yang ternyata berkisar 15-20 persen PDB. Filipina dan Vietnam, yang menurut laporan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bulan Maret 2001 adalah negara yang korupsinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia diantara 12 negara Asia yang disurvei, ternyata masih bisa mencapai rasio pajak rata-rata 16-17 persen. Dibandingkan dengan rasio pajak dari belahan dunia lain, rasio pajak Indonesia hanya lebih tinggi dari India, sama dengan Pakistan, dan lagi-lagi lebih rendah dibandingkan Rusia. Ketiga negara ini juga terkenal dengan praktek korupsi.

Secara umum, rasio pajak mempunyai korelasi yang tinggi dengan tingkat pendapatan per kapita masyarakat sebuah negara. Karena pendapatan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Rusia jauh diatas pendapatan Indonesia, maka wajar saja bila rasio pajak mereka juga lebih tinggi. Namun, dibandingkan dengan negara yang berpendapatan kurang lebih sama, ternyata rasio pajak Indonesia masih lebih rendah. Lebih aneh lagi rasio pajak Indonesia jauh dibawah negara yang berpendapatan sangat rendah seperti Vietnam.

Perbandingan sederhana diatas, yang sudah mempertimbangkan faktor kontrol seperti tingkat korupsi dan pendapatan, memperlihatkan betapa rendahnya penerimaan pajak Indonesia.


Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak

Untuk menaikkan penerimaan pajak, sering dianggap tarif pajak harus dinaikkan. Seperti pada bulan Mei 2001 lalu ketika pemerintah mengusulkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12,5 persen dari 10 persen. Juga ada usulan agar tarif pajak penghasilan (PPh) dinaikkan menjadi 35 persen untuk kelompok pendapatan teratas.

Meskipun tarif pajak yang berlaku dianggap relatif masih rendah, seperti PPN yang hanya 10 persen, menaikkan tarif pajak tetap merupakan kebijakan yang tidak popular. Karena itu kenaikan tarif pajak perlu dihindari oleh pemerintahan yang baru berkuasa dan kredibilitasnya masih dipertanyakan.

Upaya meningkatkan penerimaan pajak pada saat ini lebih realistis bila dilaksanakan dengan proses intensifikasi dan ekstensifikasi pengutipan pajak. Intensifikasi pajak maksudnya pemerintah meningkatkan upayanya mengutip semua pajak dari wajib pajak yang sudah terdaftar. Sedangkan ekstensifikasi pajak dilakukan dengan memperluas basis pajak, baik melalui pendataan wajib pajak baru maupun menambah jenis obyek pajak.

Berbagai studi perpajakan di Indonesia menemukan bahwa peluang untuk meningkatkan pajak penghasilan masih terbuka luas karena banyaknya penghindaran pajak (tax evasion) dan penggelapan pajak (tax fraud). Pihak Ditjen Pajak pada awal tahun ini memperkirakan hanya sekitar dari 50 persen dari individu/perusahaan yang seharusnya terdaftar sebagai wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lebih parah lagi, hanya 50 persen dari pemilik NPWP terdaftar yang kemudian melaksanakan kewajibannya.

Contoh berikut dapat menjadi gambaran nyata. Pada awal tahun 2001, pemilik NPWP hanya berkisar 1,3 juta orang. Pada saat pemerintah mengancam akan melakukan pemeriksaan terhadap individu/perusahaan yang seharusnya membayar pajak, pendaftaran NPWP meningkat tajam menjadi 2 juta orang di pertengahan 2001.

Selain itu, penerimaan pajak di Indonesia diperkirakan masih terkonsentrasi pada obyek pajak yang mudah dipajaki. Seperti untuk PPh perorangan, pembayar utamanya adalah kelompok penerima gaji dan upah, yang terdiri dari pegawai negri dan buruh. Sedangkan kelompok pengusaha cenderung sedikit, padahal kelompok berpendapatan tinggi berasal dari pengusaha. Di kelompok perusahaan, peran BUMN terhadap total penerimaan PPh perusahaan cukup besar, mencapai 20%.

Besarnya kasus penghindaran dan penggelapan pajak terjadi karena kebijakan penilaian sendiri (self assesment) yang diterapkan pemerintah tidak disertai proses pemeriksaan silang (cross checking) berupa pemeriksaan dadakan (surprise audit). Penegakan hukum terhadap pelanggar pajak hampir tidak pernah terdengar. Yang sering terdengar malah pengampunan pajak (tax amnesty), yang sebenarnya menjadi sinyal negatif ketidakberdayaan pemerintah dalam menegakkan hukum.

Peningkatan wajib pajak sendiri tidak berarti akan meningkatkan penerimaan pajak jika pemerintah tidak mempunyai kemampuan mengestimasi secara akurat penerimaan wajib pajak. Dalam hal ini pemerintah harus dapat melakukan pemeriksaan silang dari sisi pengeluaran wajib pajak. Untuk melakukan pemeriksaan silang tersebut, pemerintah dapat bekerja sama dengan beberapa lembaga yang mempunyai catatan lengkap perilaku transaksi wajib pajak diantaranya perbankan, perusahaan publik seperti listrik dan telekomunkasi, pendaftaraan kendaraan bermotor, dan badan pertanahan.


Pajak dan Defisit APBN

Besarnya potensi pajak Indonesia yang belum dapat dikumpulkan oleh pemerintah sebenarnya menjadi fakta bahwa: (1) Indonesia dapat menaikkan penerimaan pajak tanpa perlu menerapkan kebijakan yang tidak popular seperti menaikkan tarif pajak, (2) Indonesia dapat mengurangi ketergantungan kepada IMF dan menutup defisit anggaran dengan memobilisasi sumber dana dalam negri. Agar pemerintah dapat menutup defisit APBN tanpa tergantung hutang luar negri, maka pemerintah harus mampu mengumpulkan potensi pajak Indonesia yang masih ada yaitu sekitar 2-4% PDB.

Berhubung target pemungutan pajak adalah kelompok menegah atas, maka akan terjadi lobi dan ‘perlawanan’ yang sangat hebat dari kelompok elit berkepentingan. Disini akan diuji komitmen pemerintah Megawati (dan kabinet Gotong Royong) untuk membawa keluar negri ini krisis dengan memperbaiki sistem perpajakan nasional.

Biaya Politis dan Sosial Talangan Sektor Perbankan

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Sinar Harapan, Jum'at, 7 September 2001

JAKARTA – Biaya restrukturisasi sektor perbankan Indonesia diperkirakan menghabiskan dana lebih dari Rp 600 triliun atau sekitar 55 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 1999. Bila dilihat dari kapasitas ekonomi, yang diukur dalam rasio PDB, biaya restrukturisasi perbankan Indonesia merupakan yang terbesar dalam sejarah krisis perbankan, melebihi biaya krisis perbankan yang terjadi di Argentina dan Chili di awal tahun 1980-an.

Biaya restrukturisasi tersebut sebenarnya merupakan talangan (bail-out) oleh pemerintah atas berbagai kewajiban sektor perbankan Indonesia.

Berhubung dana yang dikeluarkan untuk program talangan perbankan tersebut sangat besar, timbul pertanyaan siapa yang akan menanggungnya. Selama ini masyarakat cenderung berpendapat bahwa pemerintah lah yang harus bertanggung jawab atas terjadinya krisis perbankan. Persepsi ini timbul karena masyarakat melihat pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, selama ini mengabaikan aspek pengawasan dan penegakan aturan kehati-hatian perbankan. Jadi, pemerintah yang harus menanggung semua biaya talangan perbankan.

Pada awalnya program talangan perbankan Indonesia berasal dari penyuntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke perbankan yang bermasalah. BLBI merupakan pinjaman yang harus dilunasi oleh bank penerimanya. Setelah program restrukturisasi dijalankan, BLBI tersebut dikonversi menjadi talangan perbankan oleh pemerintah, berupa obligasi.

Pemerintah juga masih mengeluarkan dana untuk penyertaan modal baru dan biaya lain yang timbul dari program restrukturisasi perbankan, seperti biaya bunga obligasi. Sejak saat itu, semua biaya restrukturisasi atau talangan perbankan menjadi tanggungan anggaran pemerintah, yang dikenal sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Besarnya dana talangan perbankan tersebut mempunyai dampak negatif yang sangat besar pada posisi keseimbangan APBN. Sejak dilaksanakan program restrukturisasi perbankan di tahun 1998, APBN mengalami defisit. Bahkan defisit APBN membengkak pada tahun anggaran 2000 dan 2001 yang masing-masing mencapai 4,8 persen dan 3,7 persen PDB. Pembengkakan defisit APBN terjadi karena beban biaya talangan perbankan meningkat, dan dilain pihak hasil penerimaan pemerintah dari restrukturisasi aset perbankan bermasalah sangat minim.

Dampak negatif program talangan perbankan pada APBN mempunyai dimensi yang luas, yaitu berkurangnya kedaulatan ekonomi negara dan penurunan kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.

Dari sisi pendapatan APBN, besarnya pengeluaran pemerintah untuk program restrukturisasi perbankan harus ditutupi dengan penerimaan pajak, non-pajak, dan pinjaman. Dari sisi pengeluaran APBN, harus dilakukan realokasi pengeluaran dengan penghematan atau mengurangi subsidi dan mengalihkannya untuk pembiayaan restrukturisasi perbankan.

Utang LN

Karena perekonomian masih lesu, prospek kenaikan penerimaan pajak dalam jangka pendek tidak bisa diharapkan dan sumber dana dalam negeri sangat terbatas. Maka pinjaman dari luar negerilah yang diandalkan pemerintah untuk menutupi kebutuhan dana program talangan perbankan. Implikasi dari penambahan pinjaman dari lembaga donor luar negri, seperti IMF, World Bank, dan CGI, adalah berkurangnya kedaulatan ekonomi negara. Urusan pengelolaan ekonomi Indonesia harus selalu dikonsultasikan ke lembaga donor internasional bersangkutan. Bila ada suatu kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan arahan lembaga donor, dapat dipastikan akan terjadi penundaan penyaluran pinjaman yang selanjutnya berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Memang sering kita dengar bahwa program talangan perbankan adalah upaya mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional. Program talangan sektor perbankan selalu dipropagandakan sebagai upaya penyelamatan aset pengusaha nasional dari pencaplokan oleh pengusaha asing.

Sedangkan pengurangan berbagai subsidi, seperti BBM, pendidikan, dan kesehatan, adalah dampak negatif dari program talangan sektor perbankan yang mempunyai aspek sosial terbesar. Khususnya pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan yang mempunyai aspek pemerataan pembangunan, keadilan sosial, dan pengembangan sumber daya manusia. Pengurangan subsidi kebutuhan dasar masyarakat ini mencerminkan ketidakadilan alokasi pembebanan biaya program talangan sektor perbankan.

Namun pemerintah harus menggantikan subsidi umum BBM dengan pentargetan subsidi pada transportasi publik atau listrik rumah tangga kecil, sehingga aspek efektifitas pemerataan APBN mengalami perbaikan. Pentargetan subsidi juga harus dilakukan pada berbagai sektor publik yang menyangkut masyarakat kelas bawah, seperti pengadaan sarana air bersih dan sanitasi umum.

Kembali harus dipertanyakan, mengapa harus rakyat yang menanggung semua biaya tersebut? Mengapa pemerintah mengenyampingkan aspek pemerataan dan keadilan-sosial dalam pembebanan biaya restrukturisasi perbankan? Dan yang paling tragis: mengapa para pemilik bank yang menerima ‘subsidi terselubung’ berupa program restrukturisasi perbankan, sedangkan kesejahteraan rakyat kecil diabaikan?

Instrumen Pemerataan

Selain sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro, APBN juga berfungsi sebagai instrumen pemerataan hasil pembangunan. Sayangnya, program talangan perbankan menyebabkan aspek pemerataan hasil pembangunan dari APBN tidak berjalan sama sekali.

Sebaliknya, APBN menjadi instrumen yang membuat ketimpangan semakin besar. Karena itu salah satu tugas Presiden Megawati adalah untuk mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pemerataan hasil pembangunan guna menegakkan keadilan sosial.

Masyarakat juga harus menyadari bahwa dana talangan perbankan dari pemerintah untuk para pengusaha tersebut sebenarnya uang rakyat. Berhubung pada saat ini masih ada beberapa bank bermasalah dan mungkin akan meminta dana talangan dari pemerintah, seperti Bank BII, maka masyarakat harus mengawasi berbagai lembaga pemerintah terkait, seperti BI dan BPPN, jangan sampai lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Pemerintah sebaiknya dengan tegas menindak perusahaan dan pemiliknya yang telah menyalahgunakan dana talangan perbankan melalui jalur hukum. Hal ini akan menjadi sinyal positif bagi masyarakat dan pasar, sehingga memperbaiki kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program pemulihan ekonomi.