Selasa, 05 Agustus 2008

Catatan Kegagalan Program Stabilisasi Moneter Indonesia

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Kamis, 27 September 2001


Nilai tukar rupiah kembali jatuh menembus Rp 9500 per US dollar dan inflasi tetap mengancam stabilitas moneter. Sedangkan Bank Indonesia (BI) mempertahankan nilai suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), meskipun otoritas moneter negara lain – misalnya Federal Reserve of US, Bank Sentral Jepang, dan Bank Sentral Eropa – sudah menurunkan suku bunga untuk mengantisipasi ancaman resesi global sebagai dampak kehancuran WTC.

Di setiap saat terjadi peningkatan ketidakstabilan moneter, pejabat pemerintah selalu menemukan alasan bahwa semua itu diluar kendali otoritas moneter, yaitu BI. Di lain pihak, para pelaku pasar cenderung menyalahkan BI karena BI dipandang melaksanakan kebijakan uang ketat (tight monetary policy, TMP) dengan cara menaikkan suku bunga SBI. Kenaikan suku bunga SBI selanjutnya akan berdampak negatif terhadap kegiatan produksi nasional, sedangkan stabilitas moneter – baik nilai tukar maupun inflasi – tidak tercipta.

Tulisan berikut memberikan analisa yang berbeda. Penulis akan menunjukkan bahwa BI dari waktu ke waktu tidak pernah secara konsisten malaksanakan apa yang disebut sebagai ‘kebijakan uang ketat’ (tight monetery policy, TMP). BI juga hampir tidak pernah mengikuti program stabilisasi moneter ala International Monetary Fund (IMF), yang dipandang sebagai penganjur TMP, sebagaimana yang selama ini dipersepsikan oleh masyarakat.


Salah Indikator

Dalam menganalisa kondisi moneter, para komentator dan ekonom Indonesia terpaku pada perkembangan suku bunga nominal SBI. (Suku bunga nominal adalah suku bunga yang terjadi dari hasil interaksi permintaan dan penawaran dana di pasar uang). Bila suku bunga nominal tinggi, maka disimpulkan BI sedang menjalankan TMP. Sebaliknya, bila suku bunga nominal rendah, maka BI dianggap menerapkan ‘kebijakan uang longgar’ (loose monetary policy). Padahal, suku bunga nominal tidak bisa digunakan sebagai indikator kebijakan moneter.

Friedman (1968), setelah menjelaskan interaksi antara variabel suku bunga, jumlah uang beredar dan inflasi, menyimpulkan “...they explain why interest rates are such a misleading indicator of whether monetary policy is 'tight' or 'easy'.” Friedman menegaskan “it is better to look at the rate of the change in the quantity of money” untuk mengukur situasi kebijakan moneter. (untuk diketahui: Milton Friedman adalah seorang ekonom dari faham moneteris yang meraih hadiah nobel ekonomi ditahun 1976).

Memang benar di negara maju, instrumen kebijakan moneter adalah suku bunga. Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia, Anthony Santomero menyatakan, “...monetary policy today is an interest rate policy.” Namun, selanjutnya Santomero menjelaskan bahwa kebijakan suku bunga yang dimaksud adalah suku bunga riil jangka panjang. Dalam kalimat Santomero kebijakan moneter “...is essentially an exercise in assessing where we have set the real (interest) rate relative to that long - run equilibrium path.” Suku bunga riil didefinisikan sebagai suku bunga nominal dikurangi dengan ekspektasi inflasi.

Singkatnya, ada dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengukur situasi kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar (khususnya uang primer, M0) dan suku bunga riil. Sedangkan suku bunga nominal hampir tidak mempunyai makna yang berarti dalam analisa kebijakan moneter, bahkan bisa menyesatkan.


Evaluasi Kebijakan Moneter Indonesia 1998-sekarang

Sesuai penjelasan diatas, untuk mengevaluasi program stabilisasi moneter Indonesia sejak tahun 1998, penulis akan menggunakan indikator pertumbuhan jumlah uang primer (M0) dan suku bunga riil SBI. Target pertumbuhan M0 dalam program stabilisasi moneter ala IMF hanya berkisar 8-10% per tahun. Sedangkan BI di tahun 1997, 1998, 1999, dan 2000 melakukan ekspansi M0 masing-masing sebesar 34, 63, 35, dan 23 persen. Pada akhir Agustus 2001, pertumbuhan M0 tahunan mencapai 22 persen, atau dua kali lipat target pertumbuhan M0 versi BI yang 11 persen untuk tahun 2001. Data pertumbuhan M0 jelas-jelas memperlihatkan bahwa BI tidak pernah melaksanakan kebijakan TMP ala IMF.

Khusus untuk tahun 1998, ternyata M0 tumbuh sangat cepat, mendahului kenaikan suku bunga nominal SBI. Pertumbuhan M0 mencapai puncaknya pada bulan Agustus-November 1998 yang rata-rata berkisar 115% per tahun; pertumbuhan M0 tertinggi dalam kurun 30 tahun sejak Soeharto berhasil melakukan program stabilisasi ekonomi makro di periode 1966-1968.

Setelah M0 tumbuh dengan cepat, baru suku bunga nominal SBI menyusul naik mencapai 70 persen sepanjang Juli-September 1998. Meskipun suku bunga nominal SBI sangat tinggi, sejalan dengan meningkatnya inflasi yang disebabkan oleh pertumbuhan uang, suku bunga riil turun drastis dan menjadi negatif sepanjang tahun 1998 sampai awal 1999. Suku bunga riil mencapai titik terendah, minus 30 persen, pada Desember 1998. Pertumbuhan uang yang tinggi dan suku bunga riil negatif ini mengindikasikan kebijakan uang yang sangat longgar (excessively loose monetary policy).

Untuk lebih jelasnya, bandingkan perkembangan indikator moneter di tahun 1998 dengan 1991. Pada tahun 1991, pelaksanaan kebijakan uang ketat ditandai oleh kenaikan suku bunga nominal dan penurunan pertumbuhan uang beredar menjadi sekitar 5 persen per tahun. Sedangkan suku bunga riil SBI naik mendekati 10 persen. Mencermati perkembangan sepanjang tahun 1998, dapat diperkirakan bahwa kenaikan suku bunga SBI lebih merupakan respon endogenus BI untuk mengantisipasi kenaikan inflasi akibat ekspansi M0 yang sangat berlebihan. Dalam kondisi seperti ini, suku bunga SBI tidak bisa menjadi indikator kebijakan uang ketat, meskipun suku bunga SBI pada saat itu sempat hampir 3 kali lipat suku bunga SBI pada awal 1991. Apalagi melihat pertumbuhan M0 di tahun 1998 yang mencapai 63 persen, lebih 12 kali pertumbuhan M0 di tahun 1991.

Sumber utama pertumbuhan M0 tersebut adalah peningkatan klaim bersih BI terhadap sektor pemerintah, yang digunakan untuk membiayai progam restrukturisasi perbankan dan pembiayaan defisit anggaran. Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI) memang menjadi komponen utama ekspansi moneter pada masa itu. Bahkan BLBI disinyalir telah digunakan untuk melakukan serangan spekulasi terhadap rupiah yang semakin memperburuk stabilitas moneter.

Penjelasan diatas membuktikan bahwa selama ini Indonesia tidak menerapkan program stabilisasi ala IMF atau TMP. Bahkan sebaliknya, BI menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar. Hal ini juga diakui oleh pejabat BI sebagaimana yang dapat dibaca dalam berbagai laporan BI (lihat di www.bi.go.id).

Baru setelah BI berhasil mengerem pertumbuhan BLBI di pertengahan 1999, pertumbuhan uang melambat. Bahkan pada semester kedua 1999, pertumbuhan M0 tahunan rata-rata hanya sekitar 13 persen, mendekati target yang ditetapkan IMF. Keberhasilan pengendalian BLBI membuka peluang untuk penurunan suku bunga SBI tanpa menimbulkan dampak negatif pada tingkat harga dan nilai tukar rupiah. Kebijakan TMP tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan mantan Presiden Habibie dalam memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu.

Ini lah paradoks kebijakan moneter. Bank sentral bisa menurunkan suku bunga nominal bila melaksanakan kebijakan penawaran uang yang konsisten dengan pertumbuhan potensi ekonomi, meskipun pada awalnya kebijakan tersebut cenderung menaikkan suku bunga nominal. Bila BI konsisten mengendalikan jumlah uang beredar sehingga inflasi menurun, suku bunga nominal juga akan turun ke tingkat yang rendah. Dengan terbentuknya kredibilitas BI dalam mengendalikan inflasi, suku bunga akan stabil pada tingkat yang rendah. Dilain pihak, bila BI tidak konsisten dan cenderung mengejar kepentingan penurunan suku bunga jangka pendek sesaat melalui kebijakan moneter yang ekspansif, pada akhirnya inflasi meningkat dan suku bunga nominal menjadi tinggi.


Kambing Hitam

Bila BI menerapkan kebijakan moneter yang sangat ekspansif, khususnya di tahun 1998, lalu mengapa para ekonom dan pendapat popular umumnya menyatakan yang sebaliknya, bahwa telah terjadi kegagalan penerapan TMP?

Ada dua kemungkinan. Pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan, para ekonom yang menganalisa kondisi moneter pada saat itu telah menggunakan indikator yang salah, yaitu suku bunga nominal, untuk mengukur situasi kebijakan moneter. Dan media massa lalu ikut mempopulerkan mitos TMP tersebut. Kedua, para elit penguasa memerlukan kambing hitam untuk disalahkan atas kegagalan program stabilisasi moneter yang dijalankan oleh BI. Dengan dukungan para pengamat dan ekonom, elit penguasa tersebut melakukan propaganda menyalahkan lembaga asing yang bisa digambarkan sebagai ‘kolonialisme baru’ (neo-colonialism). Jadilah seakan-akan IMF yang bertanggung jawab atas berbagai kegagalan program kebijakan stabilisasi moneter ala BI.

Yang harus disadari BI lah yang harus bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan moneter. Dan BI selama ini selalu tidak memenuhi target kebijakan moneter yang ditetapkan dalam kesepakatan bersama Indonesia dan IMF.

Mengkambinghitamkan IMF tidak akan menyelesaikan masalah Indonesia. Indonesia sebenarnya memang tidak memerlukan IMF untuk menjalankan program stabilisasi moneter, asal BI mempunyai program yang jelas dan secara konsisten menjalankan program tersebut. Faktanya, program moneter dan disiplin yang tidak kita punyai.

Yang lebih harus disadari, kegagalan elit penguasa dalam pelaksanaan program stabilisasi ekonomi makro juga mencerminkan kegagalan akademisi Indonesia yang tidak mampu memberikan suatu solusi yang jelas untuk mengatasi krisis.
(Catatan, versi Inggris tulisan ini dipublikasi di situs Asia Features (www.asiafeatures.com) dengan judul “The Myth of Tight Monetary Policy”, 14 September 2001.)

Tidak ada komentar: