Rabu, 06 Agustus 2008

Spekulasi dan Rejim Nilai Tukar Mengambang



oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 26 Agustus 2002

Sudah lima tahun Bank Indonesia menerapkan rejim nilai tukar mengambang bebas, tepatnya pada 14 Agustus 1997. Sejak itu rupiah bergerak dari titik terkuat Rp 2.500/US$ sampai ke titik terlemah sekitar Rp 16.000 di pertengahan Juni 1998.

Meskipun sekarang sudah relatif stabil, berbagai pihak – seperti pengusaha, pembuat kebijakan, bahkan masyarakat awam – terus khawatir dengan pergerakan rupiah yang tidak menentu.

Dilain pihak, pengamat yang pro mekanisme pasar memandang penerapan rejim nilai tukar mengambang sebagai ‘alat kontrol’ bagi pembuat kebijakan moneter agar lebih berhati-hati dalam mengelola likuidiats perekonomian.

Fundamental atau Spekulasi

Pergerakan rupiah yang sangat tidak menentu menimbulkan pertanyaan; apakah pergerakan nilai tukar ditentukan oleh faktor ekonomi (faktor fundamental) atau sekedar sentimen pasar yang tergantung pada psikologis pedagang valuta asing (faktor spekulatif).

Dalam model moneter sederhana, faktor penentu nilai tukar adalah jumlah uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan riil ekonomi. Model moneter tersebut biasa digunakan untuk menganalisa apakah pergerakan nilai tukar didominasi oleh pergerakan faktor fundamental atau ditentukan oleh faktor spekulatif.

Tabel 1 merangkum variasi nilai tukar dan faktor fundamental ekonomi makro, berupa standar deviasi perubahan data variabel bersangkutan dari bulan ke bulan sebelumnya, sepanjang Januari 1992-Mei 2002.

Di masa krisis Agustus 1997-Desember 1999, variasi variabel ekonomi meningkat tajam dibandingkan era pra-krisis Januari 1992-Juni 1997. Peningkatan variasi nilai tukar sendiri ternyata jauh lebih besar dibandingkan peningkatan variasi faktor fundamental.

Periode Agustus 1997- Desember 1999 juga ditandai oleh perubahan kebijakan moneter yang drastis, dari kebijakan yang sangat longgar ke kebijakan yang ketat. Ternyata, pada saat itu korelasi antara variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar meningkat. Observasi ini sesuai dengan temuan studi komparatif bahwa korelasi variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar akan lebih kuat di negara yang sedang mengalami krisis dibandingkan dengan negara yang stabil.

Sejalan dengan berkurangnya variasi faktor fundemental (khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar) di periode Januari 2000-Mei 2002, variasi nilai tukar juga berkurang. Yang perlu diperhatikan, meskipun variasi faktor fundamental sudah kembali seperti pada era pra-krisis, variasi nilai tukar tetap relatif besar (dan tidak kembali stabil seperti di era pra-krisis).

Dari eksplorasi diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah, selain ditentukan oleh perubahan fundamental ekonomi, juga dipengaruhi faktor spekulatif yang menjadi ciri khas pasar finansial (lihat, Robert P. Flood dan Andrew K. Rose, 1999, “Understanding Exchange Rate Volatility Without The Contriavance of Macroeconomics”, The Economic Journal, volume 109).

Alternatif Penjelasan

Salah satu teori yang mencoba menjelaskan mengapa fluktuasi nilai tukar jauh lebih besar daripada variasi faktor fundamental adalah teori ‘overshooting’ dari Rudiger Dornbusch (“Expectation and Exchange Rates Dynamics”, (1976)). Menggunakan prinsip ekspektasi rasional dan perbedaan fleksibilitas harga di pasar barang dengan pasar finansial, Dornbusch (1976) memperlihatkan bagaimana perubahan kecil kebijakan moneter dapat menyebabkan perubahan nilai tukar yang jauh lebih besar. Penjelasan overshooting ini sangat sesuai dengan perkembangan nilai tukar negara maju, seperti USA, Jerman, dan Jepang, di era 1970-an yang baru menerapkan rejim nilai tukar mengambang.

Dengan meningkatnya fluktuasi nilai tukar di era 1980-an dan 1990-an, teori overshooting Dornbusch pun akhirnya tidak dapat menjelaskan perkembangan variasi nilai tukar dengan memuaskan.

Flood dan Rose (1999) berpendapat bahwa spekulasi valuta asing juga tergantung pada rejim nilai tukar yang diterapkan. Rejim nilai tukar mengambang, dimana nilai tukar terus berubah, akan mendorong transaksi valuta asing yang lebih banyak. Jadi, struktur dan perkembangan pasar valuta asing bersifat endogenous terhadap rejim nilai tukar yang dipilih.

Bila kesalahan perkiraan nilai tukar yang dilakukan spekulan bersifat random dan tidak berkorelasi satu sama lain, maka kesalahan itu akan saling meniadakan sehingga besaran nilai transaksi valuta asing tidak mempengaruhi variasi nilai tukar. Tapi para spekulan sering melakukan kesalahan perkiraan nilai tukar bersama-sama secara sistematis, khususnya dalam jangka pendek. Kesalahan spekulan itu membuat nilai tukar sangat tidak stabil dan terlepas dari perkembangan faktor fundamental.

Terkait dengan dimensi waktu, variasi nilai tukar jangka pendek tidak dapat dijelaskan oleh variasi faktor fundamental. Satu teori yang menjelaskan besarnya variasi nilai tukar jangka pendek adalah teori gelembung spekulasi rasional (speculative rational bubbles theory, selanjutnya GSR).

Dalam GSR, harga suatu komoditas (= valuta asing) dapat terus naik/turun di setiap periode karena pelaku pasar mempunyai ekspektasi bahwa harga akan terus naik/turun. Setiap pelaku pasar mengetahui bahwa harga telah bergerak jauh dari nilai wajarnya berdasarkan faktor fundamental, namun mereka juga tahu bahwa mereka akan merugi bila mencoba melawan tren harga sendirian. Akibatnya, harga yang terealisasi di pasar bukan berdasarkan faktor fundamental, tetapi merupakan hasil realisasi ekspektasi pelaku pasar (self-confirming market expectation).

Kondisi dalam GRS ini terjadi karena pelaku pasar valuta asing memperkirakan nilai tukar dengan ekstrapolasi tren jangka pendek, misalnya menggunakan analisa teknikal atau grafik (technical analysis atau ‘chartist’), dan mengabaikan faktor fundamental.

Orientasi spekulasi jangka pendek ini sejalan dengan berkembangnya pasar mata uang setelah penerapan rejim nilai tukar bebas oleh negara-negara maju di tahun 1973. Survei majalah Euromoney, Agustus 1990, menemukan pergeseran metode peramalan nilai tukar dari analisa fundamental diganti dengan analisa teknikal. Di tahun 1978, 19 dari 23 perusahaan yang disurvei menyatakan mereka menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, dan hanya 3 perusahaan yang mengandalkan analisa teknikal. Pada tahun 1988, hanya 7 dari 31 perusahaan yang disurvei menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, sedangkan 18 perusahaan mengandalkan analisa teknikal.

Survei Allen dan Taylor (1990) terhadap lebih 300 pedagang valuta asing London di tahun 1988 menunjukkan betapa dominannya analisa teknikal untuk spekulasi jangka pendek. Untuk transaksi dengan jangka waktu satu hari sampai seminggu, 90 persen responden mengakui menggunakan input analisa teknikal, dan 60 persen responden memandang analisa teknikal paling tidak sama pentingnya dengan analisa faktor fundemental. Ketika rentang waktu peramalan semakin panjang, yaitu antara satu bulan sampai satu tahun, bobot yang diberikan untuk faktor fundamental semakin besar. Untuk jangka waktu peramalan diatas satu tahun, 30 persen responden menyatakan hanya mengandalkan faktor fundemental, sedangkan 85 persen menyatakan bahwa faktor fundemental jauh lebih penting daripada analisa teknikal.

Implikasi Kebijakan

Apa yang seharusnya Bank Indonesia lakukan untuk meredam variasi nilai tukar rupiah? Bila pemerintah mempunyai kredibilitas, maka pemerintah dapat menerapkan rejim nilai tukar tetap. Tapi, rejim nilai tukar tetap yang tidak kredibel hanya melahirkan kejutan besar secara periodik berupa perubahan nilai tukar drastis, atau devaluasi, seperti yang terjadi di tahun 1978, 1983, 1986, dan 1997. Pilihan lain adalah menerapkan kontrol arus modal, khususnya arus modal jangka pendek yang sarat unsur spekulasi. Masalahnya, dengan pemerintahan yang tidak transparan dan penuh korupsi, kontrol arus modal tidak dapat dijalankan dengan efektif.

Lebih baik Bank Indonesia menerima kenyataan bahwa pergerakan nilai tukar dalam rejim nilai tukar bebas lebih banyak ditentukan oleh spekulasi. Intervensi Bank Indonesia di pasar valuta asing sendiri sangat terbatas efektifitasnya. Jadi, Bank Indonesia sebaiknya memilih target kebijakan moneter yang relatif bisa dikendalikan, yaitu inflasi. Upaya Bank Indonesia meminimisasi variasi nilai tukar hanya dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan meminimisasi variasi jumlah uang beredar.

Tidak ada komentar: