Rabu, 06 Agustus 2008

Fungsi APBN: Stabilisasi atau Pemerataan

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 28 Oktober 2001

Dalam buku ekonomi makro, kebijakan fiskal - bersama kebijakan moneter - merupakan instrumen stabilisasi ekonomi. Namun di negara sedang berkembang (NSB), seperti Indonesia, kebijakan fiskal lebih sering menjadi sumber ketidakstabilan ekonomi. Ini terjadi karena pemerintah dibebani tugas untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal yang defisit. Pemerintah di NSB cenderung membiayai defisit fiskal dengan mencetak uang yang mempunyai dampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Dari aspek ekonomi publik, kebijakan fiskal berfungsi sebagai instrumen alokasi sumber daya ekonomi untuk memperbaiki distribusi pendapatan dan kekayaan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah.

Sejak krisis terjadi, kedua fungsi kebijakan fiskal tersebut tidak berjalan. Pembebanan biaya talangan perbankan telah mengampuntasi fungsi stabilisasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Pengurangan subsidi untuk berbagai komoditas yang dikonsumsi masyarakat luas dan di lain pihak besarnya subsidi untuk restrukturisasi perbankan, malah menyebabkan redistribusi sumber daya ekonomi dari kelompok masayarakat ke kelompok elit konglomerat.

Stabilisasi vs Pemerataan

Kebijakan fiskal, yaitu APBN, di Indonesia dibuat untuk periode satu tahun. Untuk mengubah APBN dalam periode berjalan, diperlukan persetujuan berbagai pihak, di antaranya Departemen Keuangan dan DPR. Informasi mengenai realisasi APBN sendiri hanya tersedia dalam periode 6 bulanan dan dengan rentang waktu yang cukup lama, minimal 3 bulan. Hambatan institusional tersebut menyebabkan APBN tidak memiliki fleksibilitas untuk digunakan sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro jangka pendek (kurang dari satu tahun).

Ini tidak berarti peran APBN dalam stabilisasi ekonomi makro hilang sama sekali. APBN sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro masih berperan memuluskan (smoothing) siklus ekonomi jangka menengah-panjang, khususnya untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui investasi infrastruktur. APBN yang berimbang, juga meningkatkan fleksibilitas kebijakan moneter sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro utama dalam jangka pendek.

Menurut penulis, pemerintahan Megawati lebih baik menfokuskan kebijakan fiskal untuk pemerataan pembangunan, baik antar daerah maupun antar kelompok masyarakat.

Meningkatkan Efektifitas Pengeluaran APBN

Mengingat keterbatasan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan dalam negeri (apalagi dalam jangka pendek) dan sulitnya pembiayaan defisit anggaran, efektifitas setiap pos pengeluaran harus ditingkatkan. Meskipun secara keseluruhan subsidi berkurang, harus dengan baik dipertimbangkan subsidi sektor apa yang dikurangi dan subsidi sektor mana yang tetap harus ditingkatkan.

Pengurangan subsidi untuk komoditas tertentu, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), mungkin dapat dibenarkan karena sebagian besar konsumen langsung BBM adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Lebih-lebih mengingat rendahnya harga BBM di Indonesia telah mendorong penyeludupan BBM ke luar negri.

Untuk meringankan beban masyarakat berpendapatan rendah, pemerintah mengganti subsidi umum BBM dengan penargetan subsidi pada sektor transportasi publik dan listrik rumah tangga kecil. Penargetan subsidi juga harus dilakukan pada berbagai sektor publik yang menyangkut masyarakat kelas bawah, seperti pengadaan sarana air bersih dan sanitasi umum.

Masalahnya, penargetan subsidi sulit dilaksanakan karena kelompok masyarakat yang menjadi target tidak selalu tersegmentasi dengan jelas serta tingginya potensi penyelewengan dana subsidi. Penyelewengan dana subsidi yang ditargetkan kepada rakyat berpendapatan rendah terjadi, misalnya, dalam kasus pendistribusian beras OPK dari program Jaring Pengaman Sosial. Namun, penargetan subsidi tetap menjadi pilihan yang lebih baik bila total biayanya memang lebih rendah daripada total biaya subsidi secara umum.

Pengeluaran untuk investasi publik (public capital spending) dan pengeluaran sosial (social spending) tidak boleh dikurangi. Bila pengeluaran investasi menurun, tidak hanya bersifat kontraktif di masa sekarang, juga dapat menurunkan pertumbuhan potensi ekonomi di masa mendatang. Bahkan penurunan investasi publik dapat mengurangi tabungan nasional di masa depan, bila penurunan pengeluaran untuk investasi infrastruktur - seperti jalan, jembatan, dan listrik - menimbulkan hambatan investasi dari sektor swasta.

Perhatikan bahwa pengeluaran sosial seperti pendidikan dan kesehatan, meskipun secara konvensional dicatat sebagai pengeluaran konsumsi pemerintah, sebenarnya merupakan investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia (SDM). Karena itu keputusan pemerintahan Megawati untuk meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial menunjukkan reorientasi pengeluaran yang sangat positif.

Aspek pemerataan dan keadilan sosial pengeluaran kedua sektor tersebut bisa ditingkatkan bila dana yang tersedia diarahkan untuk pengadaan jenis pendidikan dan kesehatan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Di sektor pendidikan, upaya pemerataan dilakukan dengan memprioritaskan pelaksanaan program Wajib Belajar 9 tahun. Berbagai studi dari World Bank (misalnya The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy , 1993) menunjukkan bahwa nilai pengembalian sosial investasi ( social return of investment ) pendidikan dasar/menengah lebih tinggi daripada investasi pendidikan tinggi. Studi yang sama juga menemukan bahwa negara yang memprioritaskan pendidikan dasar/menengah sebagai strategi utama pengembangan SDM-nya mengalami perbaikan distribusi pendapatan. Kedua penemuan ini sesuai fakta bahwa pendidikan dasar dan menengah dinikmati oleh semua kelompok masyarakat, bukan seperti pendidikan tinggi yang relatif hanya dinikmati oleh kelompok kelas menengah keatas. Sedangkan di sektor kesehatan, subsidi sebaiknya difokuskan untuk pengadaan sarana kesehatan untuk rakyat kecil seperti Puskesmas dan pengadaan obat generik.

Hapuskan 'Subsidi' Untuk Konglomerat

Pengurangan subsidi - yang kembali akan meningkatkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) di tahun 2002 - memang berlawanan dengan prinsip keadilan sosial, bila mengingat pengurangan subsidi terjadi karena pengeluaran pemerintah 'tersedot' untuk membiayai program talangan sektor perbankan. Dan penerima dana talangan perbankan adalah konglomerat yang kaya raya. Para konglomerat tersebut menerima 'subsidi terselubung' seperti: potongan hutang dan bunganya, subsidi kurs murah untuk melunasi hutang dalam mata uang asing, dan penyuntikan dana segar murah berupa rekapitalisasi bank.

Contohnya, empat bank peserta rekapitalisasi, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia Tbk., PT Bank Central Asia Tbk., dan PT Bank Danamon Tbk., merupakan kelompok bank peraih laba tertinggi pada semester I/2001. Namun sebagian besar laba tersebut bersumber dari pendapatan bunga obligasi rekapitalisasi. Biaya bunga obligasi rekapitalisasi ini berasal dari APBN, yang berarti seluruh rakyatlah yang menanggung biaya bunga tersebut. Jadi kebijakan tersebut merupakan transfer sumber daya ekonomi dari seluruh rakyat kepada kelompok kepentingan tertentu, yaitu konglomerat, yang dekat dengan kekuasaan.

Inilah tantangan terberat bagi pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan kabinet Gotong Royong-nya. Pemerintah harus bisa mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pemerataan hasil pembangunan, bukan sebagai alat transfer sumber daya ekonomi dari masyarakat ke konglomerat. Pemerintahan Megawati harus memprioritaskan kepentingan rakyat, dan mengurangi "subsidi terselubung" buat para parasit yang bersembunyi di balik bank peserta program rekapitalisasi.

Tidak ada komentar: