Rabu, 06 Agustus 2008

Menyoal Indikator Utang Indonesia

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 24 Desember 2002

Menteri Keuangan Boediono menyatakan dalam tempo satu setengah tahun pemerintah berhasil menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto dari sekitar 100% pada akhir 2001 menjadi 72% pada akhir tahun ini.

Bahkan pemerintah diperkirakan akan sanggup menurunkan rasio utang itu kurang dari 50% dalam lima tahun ke depan. (Bisnis Indonesia, 17 Desember 2002).

Penurunan rasio utang yang sangat besar itu oleh Menkeu dijadikan indikator keberhasilan pemerintah yang sangat luar biasa dalam mengelola utang dan kebijakan ekonomi makro.

Benarkah demikian? Sejauh mana akurasi indikator rasio utang yang disampaikan? Apakah metode penghitungannya sudah sesuai dengan konsep indikator utang yang digunakan Bank Dunia, IMF, dan Bank for International Settlement (BIS)? Mungkinkah rasio utang diturunkan dibawah 50% dalam lima tahun?

Indikator Kurs

Utang pemerintah terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Data pertengahan tahun 2002 menunjukkan utang dalam negeri Rp 651,8 triliun dan utang luar negeri sekitar US $ 73 miliar.

Berhubung sebagian utang pemerintah dalam mata uang asing (US$), maka nilai utang dalam rupiah sangat tergantung dengan fluktuasi nilai tukar. Katakanlah nilai tukar rupiah saat ini sekitar Rp8.800/US$, maka utang luar negeri US$73 miliar ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih dari Rp640 triliun.

Sedangkan Menkeu melaporkan pada Juni 2002 utang luar negeri pemerintah Rp 558,2 triliun, sehingga terdapat selisih lebih dari Rp80 triliun.

Hitungan utang sekitar Rp640 triliun itu pun diperoleh dengan menggunakan konversi nilai tukar saat ini yang sedang membaik. Mengingat Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang bebas, maka konversi utang ke rupiah tidak akurat bila menggunakan nilai tukar rupiah pada satu waktu tertentu.

Sesuai konsensus lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan BIS, konversi nilai utang ke rupiah harus menggunakan nilai tukar rata-rata (average exchange rate) dalam periode bersangkutan.

Sepanjang periode 1 Januari-10 Desember 2002, nilai tukar rata-rata adalah Rp9.300/US$. Menggunakan nilai tukar rata-rata tersebut, konversi utag ke rupiah menjadi mendekati Rp680 triliun.

Dengan PDB Indonesia 2002 diperkirakan mencapai Rp1.685 triliun, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai sekitar 79%, bukan 72% seperti diklaim Menkeu Boediono.

Jadi rasio utang terhadap PDB yang disampaikan Menkeu terlalu optimistis dan tidak akurat. Kalaupun ada perbaikan indikator rasio utang terhadap PDB, perbaikan itu sebagian besar disebabkan oleh perbaikan nilai tukar, bukan semata-mata hasil kerja pemerintah.

Indikator Lain

Dalam memberikan gambaran optimistis mengenai utang, Menkeu hanya menggunakan satu indikator yaitu rasio utang terhadap PDB.

Padahal banyak indikator utang lain yang harus dipertimbangkan sebelum dapat ditegaskan apakah kondisi utang suatu negara semakin membaik atau memburuk. Misalnya, terkait dengan kemampuan membayar utang luar negeri, harus diperhatikan rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap total ekspor atau rasio pembayaran utang (debt service ratio).

Pada 1999, 2000, dan 2001, DSR Indonesia yang mencakup semua utang pemerintah dan swasta adalah 41%, 40%, dan 44%. DSR ini jauh di atas patokan Bank Dunia yang sekitar 20% sampai 25%.

Perhatikan juga bahwa peningkatan DSR pada 2001 terutama terjadi karena penurunan ekspor yang mencapai 9%. Pada 2002, ekspor diperkirakan kembali menurun sekitar 1%.

Untuk 2002, dengan perkiraan beban total pembayaran utang swasta dan pemerintah mencapai US$ 30 miliar dan total ekspor US$ 58 miliar, maka DSR diperkirakan mencapai 52%.

Karena kedua variabel perhitungannya diukur dalam US$, maka DSR tidak terlalu sensitif terhadap perubahan nilai tukar seperti rasio utang. Jadi peningkatan tajam DSR tersebut benar-benar mencerminkan menurunnya kemampuan Indonesia dalam membayar utang luar negri.

Beberapa indikator lain yang juga harus dipelajari lebih mendalam untuk mengetahui kondisi utang luar negeri suatu negara adalah: rasio total utang terhadap total ekspor, rasio utang jangka pendek terhadap total utang, dan rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa.

Dua indikator yang terakhir sangat penting dalam menilai kerapuhan suatu perekonomian terhadap serangan spekulasi mata uang.

Dinamika Utang

Analisis rasio utang dan DSR mencerminkan kemampuan membayar utang statis pada suatu titik waktu. Untuk memperkirakan perkembangan utang di masa mendatang, harus dipakai konsep yang lebih dinamis, misalnya dengan melihat perkembangan utang dan potensi kemampuan membayar utang.

Untuk mudahnya, penulis akan memfokuskan bahasan pada beban utang pemerintah dan perkembangan penerimaan pemerintah, yaitu pajak. Variabel utang dan penerimaan sendiri akan lebih tepat bila dilihat dari nilai riilnya, yaitu nilai yang telah disesuaikan terhadap perubahan tingkat harga (= inflasi).

Pertumbuhan riil utang pemerintah adalah nilai utang di awal periode analisa ditambah bunga riil utang dan dikurangi cicilan bunga dan pokok utang. Bunga riil utang adalah bunga nominal rata-rata utang pemerintah dikurangi inflasi.

Sedangkan pertumbuhan penerimaan pemerintah, dengan tarif pajak tetap, akan berhubungan lurus dengan pertumbuhan riil ekonomi.

Jadi perkembangan beban utang dapat dilihat dari dua indikator yaitu suku bunga riil, (yang menentukan pertumbuhan utang) dan pertumbuhan riil ekonomi (yang menentukan pertumbuhan penerimaan pemerintah).

Dalam jangka panjang, utang riil akan menurun bila pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada bunga riil. Sebaliknya, bila suku bunga riil lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, nilai riil utang pemerintah akan meningkat (Sargent dan Wallace, "Some Unpleasant Monetarist Arithmetic", FRBM Quarterly Review, 1981).

Dalam beberapa tahun terakhir suku bunga nominal Sertifikat Bank Indonesia, yang menjadikan patokan bunga obligasi pemerintah, bergerak sekitar 15%/tahun. Dengan asumsi inflasi tahunan 10%, maka suku bunga riil adalah 5%.

Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi paska krisis selalu kurang dari 5% per tahun. Jadi dapat diperkirakan dari waktu ke waktu beban utang riil pemerintah semakin meningkat.

Jika kondisi suku bunga riil utang yang lebih besar dari pertumbuhan riil ekonomi ini berlangsung dalam jangka panjang, dapat dipastikan beban utang akan terus meningkat.

Analisis dinamis ini tidak menunjukkan kondisi optimistis seperti yang disampaikan oleh Menkeu. Bahkan menguatkan analisa di bagian awal tulisan ini bahwa ancaman krisis utang masih sangat dekat terbayang di depan mata.

Mulailah Bekerja

Dari pejelasan berbagai aspek utang tersebut, sikap optimistis Menkeu sepertinya tidak berdasarkan fakta.

Apalagi mengingat indikator ekonomi makro lain yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan investasi, pada tahun 2002 ini diperkirakan menurun 3,5%. Tanpa investasi baru, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat dipastikan akan menurun.

Pejabat pemerintah sebaiknya berhenti mengeluarkan pernyataan bombastis mengenai kinerja tim ekonomi pemerintah. Apalagi bila kinerja yang dibangga-banggakan hanya berdasarkan rekayasa perhitungan indikator ekonomi dan informasi yang tidak sempurna. Tindakan ini dapat dianggap sebagai kebohongan kepada publik yang akan semakin menurunkan kredibilitas pemerintah.

Meskipun gambaran kondisi utang Indonesia yang penulis sampaikan sangat pesimistis, tapi situasi ini bisa dirubah. Caranya: Pemerintah harus benar-benar mempercepat berbagai proses restrukturisasi utang (dalam dan luar negeri) dan memperbaiki iklim investasi.

Memperbaiki iklim investasi ini banyak tergantung kepada pemerintah karena berbagai faktor penghambat investasi di Indonesia bersumber dari kegagalan kebijakan pemerintah. Misalnya: korupsi dan pungutan liar yang sangat besar, infrastruktur yang tidak memadai, ketidakpastian hukum, birokrasi yang berbelit-belit, dan masalah keamanan.

Tidak ada komentar: