Rabu, 06 Agustus 2008

Efektifitas Stimulus Fiskal

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 30 September 2002

Berbagai tanggapan muncul setelah Presiden Megawati mengumunkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003. Tanggapan yang muncul umumnya bersikap pesimis bahwa target pertumbuhan 5 persen pada tahun 2003 dapat dicapai. Alasannya, RAPBN 2003 bersifat kontraktif sehingga tidak mungkin menjadi stimulus ekonomi.

Di lain pihak, M Ikhsan dan Robert Simanjuntak (LPEM-FEUI) memandang RAPBN 2003 relatif ekspansif. Sedangkan, Kwik Kian Gie berpendapat bahwa APBN tidak relevan lagi digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi karena proporsi pengeluaran pemerintah dalam Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil, sekitar 13%.

Arus Penerimaan/Pembiayaan dan Pengeluaran APBN

Untuk melihat apakah kebijakan fiskal berdampak kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, maka harus dibandingkan antara jumlah daya beli yang disedot oleh pemerintah dari dalam negri (sisi penerimaan dan pembiayaan APBN) dan jumlah pengeluaran pemerintah ke dalam negri.

Di sisi penerimaan, komponen yang mengurangi daya beli masyarakat, seperti pajak, bersifat kontraktif terhadap perkonomian. Sedangkan penerimaan migas yang berasal dari ekspor, tidak bersifat kontraktif.

Pembiayaan defisit sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: mencetak uang dan hutang (domestik atau luar negri). Pembiayaan defisit dengan mencetak uang akan berdampak ekspansif. Pembiayaan defisit dengan hutang dalam negri akan bersifat netral karena terjadinya crowding-out effect, dimana penyedotan dana dari masyarakat oleh pemerintah dengan obligasi mendorong kenaikan suku bunga yang selanjutnya mengurangi (crowding-out) investasi swasta. Sedangkan pembiayaan defisit APBN dengan hutang luar negri tidak mempunyai dampak kontraksi dimasa sekarang, namun dampak kontraksinya terjadi pada saat pemerintah harus membayar hutang luar negri tersebut.

Dari sisi pengeluaran, harus dilihat apakah pengeluaran tersebut berorientasi ke dalam negri atau ke luar negri. Pengeluaran rutin bersifat ekspansif, kecuali pengeluaran belanja pegawai dan barang luar negri, serta cicilan hutang luar negri dan bunganya yang bersifat kontraktif. Di komponen pengeluaran pembangunan, hanya pengeluaran pembangunan dalam rupiah yang bersifat ekspansif. Sedangkan pengeluaran pembangunan dalam bentuk impor tidak memiliki daya ekspansi terhadap perekonomian lokal.

Berdasarkan versi pemerintah, RAPBN 2003 dinyatakan bersifat ekspansif sebesar Rp 16,8 trilyun, sekitar 1% PDB. Versi Ikhsan dan Simanjuntak, ekspansi RAPBN 2003 sekitar Rp 53 s/d 66 trilyun (3 s/d 3,5 persen PDB). Dilain pihak, Iman Sugema dan Didik Rachbini (Indef) menganggap RAPBN 2003 bersifat kontraktif sekitar Rp 82 trilyun (4,3 persen PDB).

Perbedaan besaran ekspansi/kontraksi RAPBN muncul karena perbedaan persepsi pengamat akan sifat ekspansi/kontraksi komponen pengeluaran/penerimaan.

Persamaan Ricardo

John Maynard Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi agregat ekonomi dan kebijakan fiskal yang aktif diharapkan dapat membuat perekonomian lebih stabil. Pada intinya, Keynes menganjurkan pemerintah secara aktif menggunakan kebijakan fiskal untuk: (1) mendukung ekonomi keluar dari resesi dengan kebijakan anggaran defisit, dan (2) menghindari ‘ekonomi kepanasan’ (economic overheating) dengan kabijakan anggaran surplus.

Berseberangan dengan Keynes, ekonom Klasik berpandangan bahwa kebijakan fiskal tidak dapat secara efektif mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Keyakinan kelompok ekonom klasik ini dirumuskan dalam Teorema Persamaan Ricardo (Ricardo Equivalence Theorem). Nama teorema ini berasal dari nama ekonom klasik, David Ricardo, ekonom pertama yang memaparkan teori netralitas kebijakan fiskal. Selanjutnya, Robert Barro melengkapi analisa Ricardo dan mempertegas kesimpulan analisa tersebut (lihat “Are Government Bonds Net Wealth?”, The Journal of Political Economy, 1974).

Barro berpendapat setiap orang menyadari bahwa anggaran defisit dimasa sekarang harus dibayar dengan pajak yang lebih tinggi dimasa mendatang, sehingga masyarakat mengantisipasi kebijakan defisit tersebut dengan menabung yang lebih banyak. Akibatnya, potensi ekspansi anggaran defisit di hapus oleh kontraksi akibat penghematan yang dilakukan oleh sektor swasta (crowding-out effect). Secara total, pengeluaran agregat dalam ekonomi tetap.

Sebagai gambaran sederhana lain, katakanlah pemerintah memutuskan untuk mengurangi target penerimaan pajak sebesar Rp 30 trilyun, dan kemudian membiayai defisit yang terjadi dengan menjual obligasi sebesar Rp 30 trilyun. Secara total, jumlah uang yang dimiliki masyarakat untuk dibelanjakan adalah sama seperti sebelum kebijakan defisit diterapkan.

Sekali dipertimbangkan bahwa setiap pengeluaran pemerintah memerlukan sumber pembiayaan, dan dimasukkan analisa pilihan antar waktu (analysis of intertemporal choice), maka pengeluaran pemerintah secara rata-rata bersifat netral terhadap perekonomian. Artinya, kebijakan fiskal tidak efektif sebagai alat stabilisasi kegiatan ekonomi.

Ekspansi Fiskal dan Pengaruhnya

Hasil studi empiris yang meliputi 168 negara dengan periode data sepanjang 1970–1999 menunjukkan bahwa stimulus fiskal memang dapat memperpendek masa resesi. Namun hubungan tersebut tidak begitu kuat dan sangat tergantung kondisi awal anggaran pemerintah dan kondisi institusional ekonomi secara keseluruhan ketika stimulus fiskal dilakukan (Emanuele Baldacci, Marco Cangiano, Selma Mahfouz, and Axel Schimmelpfennig, 2001, “The Effectiveness of Fiscal Policy in Stimulating Economic Activity: An Empirical Investigation”).

Stimulus fiskal akan efektif bila perekonomian suatu negara relatif tertutup dari dunia internasional, tingkat pengangguran faktor produksi (input) tinggi, hutang pemerintah rendah, ekspansi fiskal dijalankan dengan meningkatkan anggaran (bukan pemotongan pajak), dan disertai ekspansi kebijakan moneter.

Sebaliknya, stimulus fiskal tidak akan berarti, bahkan bisa berdampak negatif, bila pemerintah mempunyai masalah hutang yang besar, defisit transaksi berjalan besar, ekspektasi sektor swasta memperbesar efek crowding-out, dan ekspansi fiskal menyebabkan ketidakpastian akan stabilitas ekonomi makro.

Mengingat pengangguran di Indonesia yang tinggi dan keperluan perbaikan infrastruktur yang besar, ekspansi fiskal akan sangat bermanfaat. Tapi, berhubung hutang pemerintah sangat tinggi (sekitar 90% PDB), suku bunga yang tinggi, perekonomian yang sangat terbuka, serta masih adanya ancaman ketidakstabilan nilai tukar dan inflasi, fiskal defisit sebagai stimulus ekonomi dapat berdampak negatif. Apalagi bila ekspansi fiskal sangat potensial meningkatkan ekspektasi krisis hutang pemerintah dan resiko serangan spekulasi.

Memang ekspansi pengeluaran dalam negri terbatas karena pemerintah memperbesar porsi pembayaran hutang, namun bisa saja RAPBN 2003 mempunyai efek positif bagi ekonomi. Efek positif ini terjadi karena percepatan pembayaran hutang pemerintah akan berdampak positif pada penurunan suku bunga dan meningkatkan kredibilitas program stabilisasi ekonomi makro.

Hubungan kebijakan fiskal dengan kegiatan ekonomi sangat kompleks, baik dari aspek komposisi APBN (penerimaan, pembiayaan defisit, dan pengeluaran); kondisi institusional ekonomi; serta efek anggaran pemerintah itu sendiri terhadap ekspektasi masyarakat. Tidak ada cara yang mudah untuk menyatakan dengan tegas dan pasti bahwa pertumbuhan ekonomi 5 persen di tahun 2003 terlalu optimis atau wajar hanya dengan melihat besaran data RAPBN 2003.

Tidak ada komentar: