Selasa, 05 Agustus 2008

Menyelamatkan APBN dengan Pajak

oleh Siswa Rizali*
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 24 September 2001.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2002, pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) sebesar 12,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), atau penerimaan pajak diperkirakan sebesar Rp 216,8 trilyun. Timbul pertanyaan, mungkin kah target penerimaan tersebut dicapai pada saat perekonomian masih dalam proses pemulihan dari krisis?


Reformasi Pajak dan Krisis

Di negara yang sedang mengalami krisis, reformasi fiskal merupakan bagian penting untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Dari sisi penerimaan, reformasi fiskal tersebut berupa reformasi pajak.

Meksiko, sebuah negara yang telah berulangkali mengalami krisis, juga melakukan reformasi pajak di tahun 1998. Reformasi pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah sebesar satu persen PDB di tahun 1998 dan memungkinkan pemerintah Meksiko mempertahankan defisit anggaran di tahun 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 1.25 dan satu persen PDB.

Indonesia sendiri pernah melakukan reformasi pajak ketika terancam krisis hutang pada era 1980-an akibat menurunnya harga minyak di awal dan pertengahan 1980-an. Kebijakan tersebut telah membantu pemerintah menggali sumber penerimaan dalam negri baru untuk mengimbangi penurunan pendapatan dari sektor minyak dan gas. Paska reformasi pajak 1980-an, rasio pajak Indonesia meningkat cukup tinggi, dari rata-rata sebesar 7 persen di periode 1981-1985, menjadi 10 persen pada awal 1990-an, dan mencapai 12 persen di pertengahan 1990-an. Di tahun 1994 sendiri, pemerintah kembali melakukan reformasi pajak, khususnya yang terkait dengan pajak pendapatan.

Berbeda dengan Meksiko dan Indonesia, Rusia melaksanakan reformasi pajak ditahun 1990-an guna memperlancar transisi perkonomiannya dari ekonomi sistem sosialis ke ekonomi berdasarkan mekanisme pasar. Proses transisi ekonomi yang dijalani Rusia menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari sektor tradisional era sosialis, yaitu perusahaan milik negara. Bahkan kemudian Rusia terpuruk dalam krisis. Kedua hal ini menjadikan reformasi pajak sebagai bagian penting dalam upaya stabilisasi ekonomi makro Rusia.


Penerimaan Pajak; Sebuah Perbandingan

Tarif pajak Indonesia pada dasarnya sudah mirip dengan tarif pajak dinegara lain. Misalnya tarif pajak penghasilan (PPh) tertinggi adalah 30 persen. Pada masa lalu beberapa negara memang ada yang mengenakan tarif pajak 60-70 persen untuk kelompok pendapatan teratasnya, namun sekarang tarif maksimum tersebut secara umum tinggal sekitar 40 persen.

Dengan menganggap tarif yang tidak berbeda, penerimaan pajak yang sekitar 13 persen PDB sangat lah rendah. Tidak perlu kita bandingkan rasio pajak Indonesia dengan rasio pajak negara maju yang rata-rata sekitar 28 persen PDB, misalnya rasio pajak US adalah 21 persen; Belgia dan Belanda sekitar 43 persen; dan Swedia bahkan mencapai 52 persen.

Mari kita lihat rasio pajak negara lain di Asia Tenggara, yang ternyata berkisar 15-20 persen PDB. Filipina dan Vietnam, yang menurut laporan The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bulan Maret 2001 adalah negara yang korupsinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia diantara 12 negara Asia yang disurvei, ternyata masih bisa mencapai rasio pajak rata-rata 16-17 persen. Dibandingkan dengan rasio pajak dari belahan dunia lain, rasio pajak Indonesia hanya lebih tinggi dari India, sama dengan Pakistan, dan lagi-lagi lebih rendah dibandingkan Rusia. Ketiga negara ini juga terkenal dengan praktek korupsi.

Secara umum, rasio pajak mempunyai korelasi yang tinggi dengan tingkat pendapatan per kapita masyarakat sebuah negara. Karena pendapatan Malaysia, Singapura, Thailand, dan Rusia jauh diatas pendapatan Indonesia, maka wajar saja bila rasio pajak mereka juga lebih tinggi. Namun, dibandingkan dengan negara yang berpendapatan kurang lebih sama, ternyata rasio pajak Indonesia masih lebih rendah. Lebih aneh lagi rasio pajak Indonesia jauh dibawah negara yang berpendapatan sangat rendah seperti Vietnam.

Perbandingan sederhana diatas, yang sudah mempertimbangkan faktor kontrol seperti tingkat korupsi dan pendapatan, memperlihatkan betapa rendahnya penerimaan pajak Indonesia.


Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak

Untuk menaikkan penerimaan pajak, sering dianggap tarif pajak harus dinaikkan. Seperti pada bulan Mei 2001 lalu ketika pemerintah mengusulkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12,5 persen dari 10 persen. Juga ada usulan agar tarif pajak penghasilan (PPh) dinaikkan menjadi 35 persen untuk kelompok pendapatan teratas.

Meskipun tarif pajak yang berlaku dianggap relatif masih rendah, seperti PPN yang hanya 10 persen, menaikkan tarif pajak tetap merupakan kebijakan yang tidak popular. Karena itu kenaikan tarif pajak perlu dihindari oleh pemerintahan yang baru berkuasa dan kredibilitasnya masih dipertanyakan.

Upaya meningkatkan penerimaan pajak pada saat ini lebih realistis bila dilaksanakan dengan proses intensifikasi dan ekstensifikasi pengutipan pajak. Intensifikasi pajak maksudnya pemerintah meningkatkan upayanya mengutip semua pajak dari wajib pajak yang sudah terdaftar. Sedangkan ekstensifikasi pajak dilakukan dengan memperluas basis pajak, baik melalui pendataan wajib pajak baru maupun menambah jenis obyek pajak.

Berbagai studi perpajakan di Indonesia menemukan bahwa peluang untuk meningkatkan pajak penghasilan masih terbuka luas karena banyaknya penghindaran pajak (tax evasion) dan penggelapan pajak (tax fraud). Pihak Ditjen Pajak pada awal tahun ini memperkirakan hanya sekitar dari 50 persen dari individu/perusahaan yang seharusnya terdaftar sebagai wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Lebih parah lagi, hanya 50 persen dari pemilik NPWP terdaftar yang kemudian melaksanakan kewajibannya.

Contoh berikut dapat menjadi gambaran nyata. Pada awal tahun 2001, pemilik NPWP hanya berkisar 1,3 juta orang. Pada saat pemerintah mengancam akan melakukan pemeriksaan terhadap individu/perusahaan yang seharusnya membayar pajak, pendaftaran NPWP meningkat tajam menjadi 2 juta orang di pertengahan 2001.

Selain itu, penerimaan pajak di Indonesia diperkirakan masih terkonsentrasi pada obyek pajak yang mudah dipajaki. Seperti untuk PPh perorangan, pembayar utamanya adalah kelompok penerima gaji dan upah, yang terdiri dari pegawai negri dan buruh. Sedangkan kelompok pengusaha cenderung sedikit, padahal kelompok berpendapatan tinggi berasal dari pengusaha. Di kelompok perusahaan, peran BUMN terhadap total penerimaan PPh perusahaan cukup besar, mencapai 20%.

Besarnya kasus penghindaran dan penggelapan pajak terjadi karena kebijakan penilaian sendiri (self assesment) yang diterapkan pemerintah tidak disertai proses pemeriksaan silang (cross checking) berupa pemeriksaan dadakan (surprise audit). Penegakan hukum terhadap pelanggar pajak hampir tidak pernah terdengar. Yang sering terdengar malah pengampunan pajak (tax amnesty), yang sebenarnya menjadi sinyal negatif ketidakberdayaan pemerintah dalam menegakkan hukum.

Peningkatan wajib pajak sendiri tidak berarti akan meningkatkan penerimaan pajak jika pemerintah tidak mempunyai kemampuan mengestimasi secara akurat penerimaan wajib pajak. Dalam hal ini pemerintah harus dapat melakukan pemeriksaan silang dari sisi pengeluaran wajib pajak. Untuk melakukan pemeriksaan silang tersebut, pemerintah dapat bekerja sama dengan beberapa lembaga yang mempunyai catatan lengkap perilaku transaksi wajib pajak diantaranya perbankan, perusahaan publik seperti listrik dan telekomunkasi, pendaftaraan kendaraan bermotor, dan badan pertanahan.


Pajak dan Defisit APBN

Besarnya potensi pajak Indonesia yang belum dapat dikumpulkan oleh pemerintah sebenarnya menjadi fakta bahwa: (1) Indonesia dapat menaikkan penerimaan pajak tanpa perlu menerapkan kebijakan yang tidak popular seperti menaikkan tarif pajak, (2) Indonesia dapat mengurangi ketergantungan kepada IMF dan menutup defisit anggaran dengan memobilisasi sumber dana dalam negri. Agar pemerintah dapat menutup defisit APBN tanpa tergantung hutang luar negri, maka pemerintah harus mampu mengumpulkan potensi pajak Indonesia yang masih ada yaitu sekitar 2-4% PDB.

Berhubung target pemungutan pajak adalah kelompok menegah atas, maka akan terjadi lobi dan ‘perlawanan’ yang sangat hebat dari kelompok elit berkepentingan. Disini akan diuji komitmen pemerintah Megawati (dan kabinet Gotong Royong) untuk membawa keluar negri ini krisis dengan memperbaiki sistem perpajakan nasional.

Tidak ada komentar: