Jumat, 12 September 2008

Menunggu Lahirnya Undang-undang Keuangan Mikro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Republika, 15 Januari 2004

Dalam komunitas keuangan mikro internasional, Indonesia dikenal sebagai ‘laboratorium’ keuangan mikro terbesar di dunia. Hal ini dikaitkan dengan jumlah lembaga, variasi, penetrasi, dan juga contoh-contoh keberhasilan. Seperti diungkapkan Shari Berenbach (1997): “In terms of scale, variety, and volume of microfinance financial institutions, market penetration, and profitability, the microfinancial services market in Indonesia is the most developed in the world.

Meskipun sektor keuangan mikro Indonesia sangat berhasil, Indonesia tidak memiliki peraturan khusus mengenai keuangan mikro. Di Indonesia, peraturan yang terkait dengan keuangan mikro adalah Undang-undang Perbankan (UU Perbankan) yang mengakui keberadaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Undang-undang Koperasi (UU Koperasi) yang mengakui Koperasi/Unit Simpan Pinjam (KSP/USP).

Keberhasilan sektor keuangan mikro di Indonesia dalam kevakuman peraturan khusus mengenai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) non-bank dan non-koperasi, mempunyai tiga interpretasi. Pertama, keberhasilan itu dimungkinkan karena minimnya peraturan, sehingga LKM dapat begerak lebih leluasa. Interpretasi kedua sebaliknya, ketiadaan peraturan itu menghambat pertumbuhan LKM karena seringkali LKM diberikan citra negatif sebagai ‘bank gelap’. Jadi, peraturan sektor keuangan mikro, khususnya terkait LKM, potensial meningkatkan sukses LKM di Indonesia. Interpretasi ketiga bersifat netral, yaitu peraturan yang ada, UU Perbankan dan UU Koperasi, sudah cukup mengakomodir keberadaan LKM.

Studi Sumantoro Martowijoyo (2001) menunjukkan bahwa penerapan UU Perbankan dan UU Koperasi cenderung menghasilkan dua ekstrim sektor keuangan mikro yang terdiri dari sektor perbankan (BRI Unit Desa dan BPR) dan koperasi. UU Perbankan sendiri sebenarnya memarjinalisasi LKM seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK), Badan Kredit Desa (BKD), dan Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), karena dianggap belum memenuhi syarat menjadi BPR. Di sisi lain UU Koperasi hanya memberi peluang kepada koperasi dan berbagai program kredit dari pemerintah.

Pemerintah juga selalu memberikan stempel negatif pada LKM. Misalnya publikasi BPS tentang “Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum” (2002), mengklasifikasikan kredit union sekelompok dengan rentenir. Penjelasan klasifikasi kredit union/rentenir adalah: “Seseorang atau kelompok orang yang berusaha di bidang pemberian kredit pinjaman yang tidak berbadan hukum, dengan mengenakan tingkat bunga yang tinggi dibandingkan bank”. Sebaliknya, dalam buku yang sama, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dicitrakan sebagai lembaga ‘resmi’ yang belum terdaftar pada Dinas/Departemen Koperasi.

Konotasi negatif terhadap kredit union (CU) yang disamakan dengan rentenir ini tidak selalu terbukti di lapangan, seperti keberhasilan Koperasi Kredit (= Credit Union) di Kalimantan Barat. Dari 38 CU yang bernaung dalam Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D, yaitu asosiasi independen CU) Kalimantan Barat, tercatat 8 CU yang sudah memiliki aset diatas Rp 3 miliar. Total aset ke delapan CU tersebut sekitar Rp 112 miliar dengan jumlah anggota sekitar 48 ribu orang (Juni 2003).

CU yang terbesar adalah Pancur Kasih, dengan jumlah anggota lebih dari 17 ribu dan aset sekitar Rp 43 miliar. Kinerja CU Pancur Kasih sendiri sudah melebihi koperasi yang biasanya dikonotasikan sebagai lembaga kecil yang tertinggal. Prestasi CU Pancur Kasih bahkan mengalahkan kinerja BPR yang bagus, baik dalam hal aset, keuntungan, maupun tingkat suku bunga.

Pandangan negatif lain terhadap LKM terlihat pada laporan media massa, seperti ‘Koperasi Sering Dijadikan Kedok LKM” (Kompas, 14 Februari 2002). Judul dan isi tulisan tersebut merujuk pada penipuan dan kegagalan “Koperasi Simpan Pinjam” (Kospin) yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 1998 dan 2000.

Timbul pertanyaan, mengapa ketika sebuah lembaga keuangan berbadan hukum koperasi mengalami kegagalan, disebut menjadi LKM atau ‘bank gelap’. Dilain pihak, sebuah LKM seperti CU -- yang tidak berbadan hukum koperasi -- ketika berhasil dinyatakan sebagai ‘koperasi’.

Dari aspek legalitas LKM, dapat diperkirakan bahwa LKM yang baik dan ingin berkembang lebih lanjut dapat terganjal akibat kevakuman peraturan. Tanpa legalitas, LKM juga sulit untuk melakukan kerjasama formal dengan lembaga-lembaga keuangan besar seperti bank, modal ventura, maupun investor swasta lain. Disinilah aspek strategis peraturan operasional LKM. Keberadaan peraturan bagi LKM tentunya bukan sekedar alat kontrol bagi pemerintah, tapi lebih untuk mengakui keberadaannya, serta memfasilitasi dan mendorong LKM agar dapat berkembang.

Sayang, proses pembuatan Rancangan Undang-undang Keuangan Mikro (RUU KM) sendiri mengindikasikan LKM adalah ‘anak haram’ sektor keuangan Indonesia. Tidak ada instansi pemerintah yang sepertinya mau mengakui keberadaan LKM secara formal dengan dibuatkan peraturan dan dilakukan pengawasan. Banyak komponen pemerintah yang belum dapat menerima LKM sebagai bagian masyarakat Indonesia yang telah berperan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Hal ini khususnya terkesan dari persepsi pejabat pemerintah terhadap LKM sebagai ‘bank gelap’.

Tersendat-sendatnya proses pembahasan RUU KM diantara instansi pemerintah terkait juga mencerminkan kurangnya perhatian pada LKM. Setiap upaya mendorong penyelesaian pembuatan RUU KM selalu terhadang berbagai isu yang dianggap lebih penting. Misalnya, dipertanyakan posisi LKM dalam konteks rencana pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga pembuatan RUU KM diharuskan menunggu kejelasan posisi OJK. Namun tak berapa lama muncul klarifikasi bahwa LKM tidak termasuk dalam ruang lingkup OJK (Bisnis Indonesia, 21 Juli 2003).

Sampai sekarang RUU KM sendiri tetap tidak mengalami kemajuan karena berbagai instansi terkait lebih memprioritaskan pada wacana perbaikan UU Perbankan dan UU Koperasi. Padahal, operasional LKM yang menargetkan penduduk paling miskin dan usaha mikro yang tidak mempunyai kolateral, tidak cocok berada di bawah pengaturan UU Perbankan, mengingat sifat UU tersebut yang sangat ketat dan kaku. Sedangkan UU Koperasi lebih memprioritaskan pengaturan keanggotaan koperasi, sehingga dirasa kurang fleksibel bagi konsumen LKM yang biasanya tidak harus menjadi anggota terlebih dahulu ketika meminjam ke LKM.

Draf RUU KM sendiri sepertinya cenderung melihat LKM sebagai lembaga yang harus mikro. Ini tercermin dalam pasal yang membatasi operasional LKM berdasarkan besaran dana simpanan yang dihimpun. Pasal yang dimaksud menyatakan bahwa LKM yang menghimpun dana simpanan lebih dari Rp 1 miliar harus mengubah bentuk usahanya menjadi BPR atau koperasi. Juga ada pembatasan kepemilikan/investor, dimana hanya warga negara Indonesia atau pemerintah yang boleh mendirikan dan memiliki LKM.

Lebih setahun lalu, Presiden Megawati menyatakan bahwa RUU KM memerlukan masukan dari masyarakat sebelum dibahas oleh DPR (Bisnis Indonesia, 22 Agustus 2002). Sayangnya, nasib RUU tersebut sampai sekarang belum jelas. Di lain pihak pemerintah berulangkali menyatakan komitmennya untuk mendorong peningkatan kredit mikro. Seharusnya komitmen tersebut diikuti dengan keseriusan dalam mempersiapkan infrastrukturnya, seperti RUU KM ini.

Pemerintah sepertinya gamang, di satu sisi sering memberikan cap negatif pada LKM dan lamban dalam merespon pentingnya legalitas LKM, namun dilain pihak pemerintah terus-menerus membuat berbagai program kredit mikro dengan menggunakan dana miliaran bahkan triliunan rupiah (Bisnis Indonesia, 15 November 2003). Tidakkah lebih baik dan lebih murah bagi pemerintah cukup dengan mendorong pertumbuhan LKM atas inisiatif swasta dan lembaga swadaya masyarakat?

Menelaah Permasalahan Dibalik Tingginya Bunga Kredit BPR

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, 18 & 19 Juli 2003


Baru-baru ini Menko Kesra Jusuf Kalla membatalkan program kerja sama penyaluran dana bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) – dikenal sebagai linkage program – karena bunga kredit yang ditetapkan beberapa BPR sangat tinggi, yaitu 48 persen per tahun (Kompas, Kamis, 26 Juni 2003). Menko Kesra berpendapat bahwa bunga kredit BPR yang “sangat tinggi” tersebut tidak adil dan “memeras” rakyat kecil.

Di lain pihak, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, yang terkenal selalu membela rakyat kecil, menganggap bunga kredit BPR yang sampai 40 persen “sangat wajar”.

Catatan berikut ingin memberikan gambaran mengapa bunga kredit BPR tinggi, namun merupakan hal yang wajar dalam praktek keuangan mikro.

***

Sebagaimana lembaga keuangan lain, sebuah BPR menetapkan bunga kredit untuk dapat bertahan (sustainable) dalam jangka panjang sehingga dapat terus menyediakan jasanya kepada nasabah yang umumnya pengusaha mikro dan kecil (UMK). Dalam menetapkan bunga, BPR juga mempertimbangkan persaingan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) lain, seperti BRI Unit Desa dan koperasi.

Bunga kredit sendiri ditentukan oleh beberapa komponen, yaitu: biaya dana, biaya administrasi kredit, biaya kredit macet, dan penyisihan untuk peningkatan modal usaha.

Agar dapat memberikan kredit, BPR harus melakukan mobilisasi dana dari publik. Untuk itu BPR membayar balas jasa berupa bunga, atau biaya dana. Karena kepercayaan masyarakat kepada BPR masih rendah, maka BPR harus membayar bunga simpanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Komersial Umum (BKU). Sebuah BPR umumnya membayar bunga simpanan sekitar 17–20 persen per tahun, mencapai dua kali lipat bunga deposito di BKU yang sekitar 8–10 persen.

Proporsi biaya administrasi kredit – seperti biaya gaji pegawai, sewa bangunan/peralatan, dan biaya listrik/air – terhadap nilai kredit mikro juga sangat besar. Sebagai gambaran, katakanlah biaya administrasi adalah Rp 50 ribu per kredit. Maka rasio biaya administrasi terhadap nilai kredit sebesar Rp 100 juta hanya sebesar 0,05 persen, namun untuk kredit mikro sebesar Rp 1 juta biaya tersebut menjadi 5 persen.

Studi The MicroBanking Bulletin (November 2001) terhadap 148 LKM dengan kinerja bagus di berbagai negara, memperlihatkan betapa tingginya biaya administrasi kredit mikro. Rata-rata rasio biaya administrasi terhadap portofolio kredit untuk wilayah Asia, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika masing-masingnya adalah 19, 20, 23, dan 38 persen.

Rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BPR sendiri berkisar antara 10–20 persen. Rasio yang sama untuk BRI Unit Desa, sebagai bank yang sangat efisien di sektor keuangan mikro, adalah sebesar 13 persen di tahun 1999.

Bandingkan dengan rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BKU yang hanya sekitar 5 persen.

Biaya operasional LKM sangat tinggi terutama dikarenakan satuan nilai kredit sangat kecil, umumnya dibawah Rp 10 juta, dan sekala usaha juga umumnya masih kecil. Biaya operasional lembaga keuangan memang terkait erat dengan besarnya nilai kredit dan sekala usahanya. Semakin besar nilai kredit dan volume usaha, semakin kecil proporsi biaya operasional terhadap kredit (lihat: “The Microfinance Industry: Does it Measure up?” dalam Microenterprise Development Review, Vol. II (1), Agustus 1999).

Hanya di komponen kredit bermasalah (non performing loan, NPL) BPR mempunyai keunggulan dibandingkan BKU. Pada akhir tahun 2002, NPL seluruh BPR sekitar 6 persen.

Akhirnya, anggap lah pihak BPR mencoba mengakumulasi keuntungan untuk memperbesar modal usaha sekitar 0-5 persen.

Dari keempat komponen bunga kredit tersebut kita dapat memperkirakan besaran bunga kredit BPR. Untuk BPR yang sangat bagus, maka total bunga kreditnya adalah 35 persen (Misalnya: biaya dana 17%, biaya operasional 10%, biaya kredit macet 6%, dan akumulasi modal 2%). Sedangkan untuk BPR yang kinerjanya kurang bagus, bunga kredit bisa mencapai 50 persen (Misalnya: biaya dana 20%, biaya operasional 20%, biaya kredit macet 10%, dan akumulasi modal 0%).

Dari gambaran sederhana diatas, jelaslah bahwa BPR yang menetapkan bunga kredit yang ‘sangat tinggi’ bukan semata-mata karena ingin memperoleh keuntungan besar dengan mengeksploitasi rakyat kecil. Tetapi memang ada masalah struktural dalam penyaluran kredit mikro sehingga bunga yang ditetapkan menjadi tinggi.

Memang ada beberapa BPR yang bermasalah dalam menjalankan operasinya. Disinilah peran lembaga pengawas (Bank Indonesia), pemerintah, dan lembaga donor internasional (World Bank, Asian Development Bank), untuk membuat kebijakan dan memberikan bantuan teknis guna mendorong perbaikan kinerja LKM seperti BPR.

***

Indonesia dengan berbagai LKM seperti BRI Unit Desa dan BPR, terkenal sebagai tempat contoh LKM terbaik di kalangan praktisi dan pengamat keuangan mikro internasional.

LKM yang baik tersebut pernah (dan banyak yang masih) menetapkan bunga kredit yang menurut kriteria Menko Kesra Jusuf Kalla “sangat tinggi”, yaitu sekitar 30–70 persen. BRI Unit Desa pada awal komersialisasinya di pertengahan tahun 1980-an mengenakan bunga kredit (efektif) sekitar 40 persen. Baru di era 1990-an BRI Unit Desa dapat menurunkan bunga kreditnya mendekati 30 persen atau lebih rendah.

Seandainya pemerintah mengikuti saran Menko Kesra untuk menutup LKM yang mengenakan bunga kredit lebih dari 30 persen dan kebijakan itu diterapkan di tahun 1980-an, kita tidak akan memiliki BRI Unit Desa saat ini. Kita tidak akan memiliki sebuah bank yang tahan terhadap krisis moneter, mempunyai NPL yang rendah, dan tetap menghasilkan laba meskipun tanpa bantuan pemerintah.

Bagi UMK, akses kredit alternatif selain BPR adalah kredit program pemerintah dan pelepas uang. Keduanya adalah sumber kredit yang tidak terjamin aliran dananya atau mahal.

Dana kredit program sangat terbatas. Dan bunga rendah yang diumumkan sifatnya semu berhubung biaya pengurusannya sangat tinggi karena penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pelepas uang mengenakan bunga kredit yang jauh lebih tinggi dari BPR, yaitu sekitar 10 persen per bulan.

Jadi membatalkan penyaluran dana dari BKU ke BPR yang menetapkan bunga kredit yang lebih dari 30 persen tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menambah masalah bagi banyak BPR dan juga UMK.

Untuk memperbaiki akses kredit bagi UMK, yang harus dilakukan adalah kerjasama semua pihak terkait dengan LKM, yaitu pemilik dan pengelola LKM, BI, departemen teknis pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga donor, untuk mendorong perbaikan kinerja LKM, seperti BPR.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang meningkatkan persaingan di sektor keuangan mikro sehingga LKM akan menurunkan bunga kredit akibat tekanan persaingan. Pemerintah juga bekerja sama dengan LSM dan lembaga donor untuk memberikan bantuan teknis kepada LKM sehingga biaya operasional dan kredit macet dapat diturunkan.

LKM sendiri harus didorong lebih transparan, sehingga BKU, investor, dan masyarakat semakin percaya pada BPR. Bila publik semakin percaya pada BPR, maka BPR dapat memperoleh dana dengan biaya bunga yang lebih rendah dari 18 persen.

Kebijakan dan program dukungan positif, bukan permusuhan, bagi LKM yang akan memperbaiki kinerja LKM seperti BPR dan meningkatkan akses kredit bagi UMK.

Pemeringkatan BPR dan Linkage Program

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, 19 Juni 2003

Sektor keuangan mikro mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi masyarakat berpendapatan rendah. Dengan adanya lembaga keuangan mikro (LKM), masyarakat berpendapatan rendah dapat menikmati layanan keuangan seperti simpanan dan pinjaman.

Potensi keuangan mikro sendiri di Indonesia sangat besar. Pada tahun 2002, nilai simpanan dan kredit di sektor keuangan mikro masing-masingnya mencapai Rp 26,6 trilyun dan Rp 20 trilyun. Pemain utama di sektor keuangan mikro adalah BRI Unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Posisi Strategis BPR

Belakangan ini, sering diberitakan program kerjasama antara bank komersial umum (BKU) dan BPR (linkage program) dalam menyalurkan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). BCA, Bank Mandiri, Bank Danamon, dan Bank NISP adalah beberapa bank komersial besar yang mempunyai program kerjasama dengan BPR.

Misalnya, Bank Mandiri dengan “Program 1000 BPR” telah berhasil menyalurkan Rp 1 triliun (Bisnis Indonesia, 31 Maret 2003). Bank Danamon bersama Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) menyalurkan sekitar Rp 200 milyar dalam kurun waktu lima tahun (24 Juni 2002). Sedangkan BCA menyediakan Rp 30,5 milyar untuk beberapa BPR di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan.

Kerjasama antara BKU dan BPR ini mempunyai beberapa landasan strategis. Pertama, jaringan BPR yang luas, mencapai sekitar 2100 unit usaha. Di tahun 2002, jaringan BPR tersebut berhasil mengumpulkan simpanan dari 4,7 juta nasabah senilai Rp 5 trilyun dan menyalurkan pinjaman ke sekitar 1,7 nasabah senilai Rp 5,6 trilyun, atau hampir 30 persen dari total kredit sektor keuangan mikro.

Kedua, BPR adalah lembaga keuangan formal yang dapat diakses masyarakat berpendapatan rendah. Posisi formal BPR sendiri memudahkan program kerjasama antara BKU dan BPR.

Ketiga, adanya masalah struktural keuangan mikro, dimana nilai simpanan jauh lebih besar daripada nilai kredit yang disalurkan. Ini terjadi karena masyarakat menganggap simpanan di BKU lebih aman daripada di LKM. Di lain pihak, prosedur pinjaman di LKM lebih mudah dibandingkan dengan di BKU, sehingga rakyat berpendapatan rendah lebih suka meminjam di LKM. Karena faktor efisiensi usaha, kemampuan BKU menyampaikan kredit mikro juga sangat terbatas.

Keempat, pengalaman BPR melayani nasabah kecil membuat BPR mempunyai keunggulan spesialisasi dibandingkan BKU dalam menggarap sektor keuangan mikro.

Jadi aliansi strategis antara BKU dan BPR sangat potensial menumbuhkan sektor keuangan mikro dalam rangka meningkatkan pendapatan rakyat kecil.

Linkage Program dan Hambatannya

Keinginan BKU bekerjasama dengan BPR dalam menyalurkan kredit mikro sebenarnya berlandaskan aspek komersial, bukan sekedar aspek belas kasihan dan program pemerintah. Pengalaman BRI Unit Desa menunjukkan bahwa keuangan mikro dapat menjadi sumber keuntungan bagi sektor perbankan, bahkan di saat krisis (lihat Richard Patten dkk, “Microfinance Success Amidst Macroeconomic Failure; The Experience of BRI During East Asian Crisis,” World Development, vol. 29, 2001).

Meskipun beberapa BKU melihat suatu keuntungan melalui kerjasama dengan BPR, ternyata salah satu hambatan utama pelaksanaan program kerjasama tersebut adalah sulitnya mencari informasi mengenai kondisi kesehatan BPR.

Bank Indonesia (BI), sebagai pengawas perbankan, memang memiliki informasi kondisi kesehatan suatu bank. Namun laporan itu menjadi rahasia bagi pihak BI dan bank bersangkutan. Bila BKU ingin bekerjasama dengan suatu BPR, BKU harus menghubungi satu per satu BPR bersangkutan. Selanjutnya BKU menunggu kesediaan BPR untuk bersikap terbuka.

Masalah lain, informasi laporan kesehatan perbankan BI terfokus pada kinerja keuangan perbankan. Padahal untuk melaksanakan kerjasama dengan BPR, BKU perlu informasi yang lebih dalam mengenai BPR calon mitranya, seperti aspek: kesiapan sumber daya manusia dan manajemen, sistem informasi dan teknologi, serta potensi pasar.

Untuk itu perlu dilakukan penilaian secara independen yang memperhatikan keseluruhan aspek usaha BPR. Dalam hal ini, jasa lembaga ‘penilai’ independen dapat digunakan.

Peran Pemeringkatan BPR

Salah satu wacana yang baru-baru ini dibahas dalam seminar kecil BI dan The Asia Foundation (Senin, 14 April 2003) adalah memanfaatkan sistem pemeringkatan lembaga keuangan mikro (microfinance institution rating) sebagai fasilitator kerjasama BKU dengan BPR. Acara ini dihadiri juga oleh: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BII, Bank NISP, Bank Danamon, beberapa BPR, Perbarindo, PT PNM, dan juga Pefindo.

Meskipun pihak BI, lembaga donor, BPR, dan bank komersial mempunyai pandangan masing-masing mengenai tujuan pemeringkatan BPR, namun satu hal ditekankan bahwa: pemeringkatan LKM harus dapat meningkatkan penyaluran dana melalui LKM dengan biaya yang lebih murah.

Dibanyak negara sedang berkembang, pemeringkatan LKM sudah merupakan hal yang umum dan sangat bermanfaat. Beberapa peranan pemeringkatan dalam industri keuangan mikro adalah sebagai berikut.

Pertama, pengukuran kinerja LKM akan mendorong peningkatan kualitas dan efisiensi lembaga sehingga meningkatkan kepercayaan dan rasa aman dari investor.

Kedua, bagi pembuat kebijakan (Bank Indonesia, Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, dan Menegkop & UKM), pemeringkatan dapat digunakan sebagai alat monitor dan untuk memilah antara LKM yang bagus dengan yang kurang bagus. Bagi manajemen LKM, pemeringkatan digunakan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki kinerja LKM.

Ketiga, bagi pihak investor, pemeringkatan dapat digunakan sebagai tolok ukur dan panduan untuk menentukan program kerjasama yang tepat dengan BPR, khususnya dalam penyaluran kredit bagi UMKM.

Akhirnya, BPR yang memperoleh nilai pemeringkatan yang baik dapat menggunakannya untuk alat promosi lebih luas, khususnya untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.

ACCION, MicroRate, M-CRIL, dan CGAP adalah beberapa lembaga internasional yang bergerak di bidang LKM yang mengembangkan dan menyediakan jasa pemeringkatan. Negara tetangga kita, Filipina, juga telah mendirikan “The Philippine Coalition Microfinance Standard” yang bertujuan mengembangkan standar penilaian bagi kegiatan usaha LKM di negri tersebut. Di Indonesia sendiri, PT PNM telah melakukan program pemeringkatan LKM untuk program kerjasamanya dengan LKM.

Namun pemeringkatan LKM bukan tanpa kendala. Seringsekali biaya evaluasi LKM cukup besar dibandingkan dengan omset dan laba perusahaan. Di Indonesia, banyak LKM yang belum mampu menyediakan dana bagi hal-hal mendasar operasional usaha, seperti: penyisihan dana untuk kredit macet, pelatihan, dan pengadaan sistem informasi. Jadi untuk apa menggunakan dana yang ada untuk pemeringkatan?

Skeptisme tersebut wajar. Namun perlu diingat, banyak juga LKM yang sudah sangat besar dan dapat menjadi lebih baik bila bekerjasama dengan BKU atau donor internasional.

Bila pemeringkatan LKM dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga bersedia menyediakan dana yang lebih besar dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah kepada LKM yang baik, tentu biaya tersebut dapat ditutupi dari aspek komersial. Katakanlah investor bersedia meminjamkan dana sebesar Rp 500 juta dengan biaya bunga lebih rendah 2% per tahunnya bagi LKM yang mendapat peringkat sehat, maka dalam setahun terjadi penghematan biaya sebesar Rp 10 juta bagi LKM.

Dari sisi investor, pemeringkatan mengurangi resiko dananya macet karena investor benar-benar menyalurkan dana pada LKM yang sehat. Bila pun lembaga mempunyai kekurangan, investor bersama LKM bersangkutan dapat mengambil strategi perbaikan yang tepat.

Tetap timbul pertanyaan siapa yang bisa menanggung biaya awal pendirian lembaga pemeringkat LKM? Disinilah peran pembuat kebijakan dan lembaga donor internasional yang bergerak dibidang LKM. Kedua pihak ini dapat menjadi inisiator pendirian lembaga pemeringkatan independen di Indonesia.

Perlu ditekankan disini, pemeringkatan LKM yang baik akan menurunkan biaya transaksi antara investor dan LKM. Dalam jangka panjang, idealnya biaya pemeringkatan akan ditutupi oleh keuntungan komersial sebagai efek positif dari hasil pemeringkatan.

Pemeringkatan LKM sendiri bukanlah sebuah birokrasi baru, melainkan instrumen yang dibutuhkan pasar. Sehingga pemeringkatan LKM harus berkembang berdasarkan mekanisme pasar.

Dimata internasional, Indonesia adalah ‘laboratorium LKM’ terbesar dan paling lengkap, baik dalam ukuran maupun variasi lembaga. BPR sendiri merupakan contoh LKM yang baik karena dijalankan secara komersial yang akan dapat bertahan dalam jangka panjang (sustainable).

Lembaga investor internasional seperti Blue Orchad Finance punya keinginan yang sangat besar untuk investasi di sektor keuangan mikro di Indonesia, seperti di BPR. Sayangnya, tidak ada instrumen evaluasi dan penilaian standar LKM dari pihak independen yang punya kredibilitas. Akibatnya, sulit bagi mereka melakukan investasi ke Indonesia. LSM seperti Save The Children dan CARE juga mengalami kesulitan yang sama.

Bank Indonesia: Independen Tanpa Akuntabilitas

oleh Siswa Rizali*
versi bahasa Inggris tulisan ini dimuat di Indonesian Business Online, 12 Mei 2003.

Proses pemilihan gubernur baru Bank Indonesia (BI) mengingatkan kita akan posisi penting bank sentral yang independen (central bank independence) dalam menyetabilkan kondisi moneter. Sayangnya, pembahasan independensi bank sentral di Indonesia telah menyempit hanya mengenai posisi gubernur dan deputi gubernur bank sentral.

Konsep Independensi

Konsep independensi bank sentral bukan hanya mengenai posisi gubernur atau dewan deputi gubernur bank sentral, yang dikenal sebagai independensi personel (personal independence). Independensi bank sentral juga mencakup aspek operasional, yaitu independensi finansial (financial independence) dan independensi kebijakan (policy independence).

Sebuah bank sentral dikatakan independen secara finansial bila pemerintah tidak punya kemampuan (dilarang) untuk membiayai pengeluarannya (defisit anggaran) dengan menggunakan kredit dari bank sentral. Bank sentral yang independen dalam kebijakan moneter harus terlepas dari pengaruh pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Aspek ini terbagi dua: independensi tujuan (objectives independence) dan independensi instrumen (instruments independence).

Bila bank sentral punya kebebasan menentukan tujuan kebijakan moneter dan menetapkan nilai tergetnya, maka bank sentral tersebut secara total independen dalam aspek tujuan kebijakan moneter. Bank sentral yang independen dalam aspek instrumen mempunyai kebebasan menggunakan instrumen moneter yang ada – seperti operasi pasar terbuka, suku bunga diskonto, dan giro wajib minimum (reserve rquirement) – untuk mencapai tujuan kebijakan moneter seperti stabilitas harga dan nilai tukar.

Yang Esensial

Dari berbagai aspek independensi bank sentral yang ada, independensi finansial dan independensi instrumen merupakan dua aspek yang sangat esensial untuk memperbaiki stabilitas moneter. Independensi finansial sangat penting bagi stabilitas moneter karena di negara berkembang, seperti Indonesia, pemerintahnya cenderung membiayai defisit anggaran dengan mencetak uang.

Selanjutnya, agar bank sentral yang independen secara finansial dapat mencapai target kebijakannnya, maka harus diberi kebebasan kepada bank sentral dalam menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dari aspek tujuan kebijakan, tidak ada alasan yang jelas dan kuat mengapa badan eksekutif dan legislatif harus membiarkan bank sentral dapat menentukan tujuan dan besaran target kebijakannya secara independen. Tujuan kebijakan moneter, seperti inflasi dan nilai tukar, adalah bagian integral dari aspek pembangunan ekonomi. Karena itu, formulasi tujuan dan besaran kebijakan moneter harus mempertimbangkan aspek pembangunan ekonomi lain, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.

Tetapi, sekali target tingkat harga dan nilai tukar sudah ditetapkan oleh pemerintah bersama BI, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada BI untuk mencapai target tersebut menggunakan instrumen yang dimilikinya. Kerangka kebijakan seperti ini mengkombinasikan antara target kebijakan moneter yang jelas dengan independensi instrumen. Konsep ini diterapkan oleh bank sentral yang punya kredibilitas tinggi seperti Reserve Bank di Selandia Baru (lihat: Carl E Walsh, “Accountability in Practice: Recent Monetary Policy in New Zealand”, FRBSF Economic Letter no. 96-25, September 1996). Reformasi bank sentral Selandia Baru sendiri merupakan contoh keberhasilan reformasi bank sentral independen bagi negara-negara lain, bahkan bagi negara maju dengan bank sentral yang kredibel.

Pengalaman Indonesia

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, kegagalan kebijakan moneter Indonesia terutama disebabkan oleh dominasi anggaran pemerintah terhadap kebijakan moneter. Jadi BI tidak independen secara finansial dari operasional anggaran pemerintah.

Di tahun 1950-an dan 1960-an, Soekarno melakukan ekspansi pengeluaran yang jauh melebihi kapasitas penerimaan pemerintah. Kemudian BI dipaksa membiayai defisit anggaran yang terjadi dengan mencetak uang. Ekspansi moneter yang berlebihan menyebabkan inflasi melonjak melebihi 100 persen per tahun selama periode 1962-1967, dengan tingkat inflasi tertinggi sekitar 600 persen terjadi di tahun 1965 - 1966.

Belajar dari kesalahan Seokarno, Soeharto melaksanakan stabilisasi ekonomi dengan menerapkan target anggaran ketat, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “anggaran yang berimbang”. Prinsip “anggaran yang berimbang” tersebut menjadi fondasi bagi proses operasional BI yang relatif independen secara finansial dari pengaruh operasional anggaran pemerintah selama era Soeharto sampai tahun 1997.

Sayangnya, pada tahun 1998 kesalahan yang mirip seperti di masa Soekarno kembali terulang, yaitu ketika Soeharto memerintahkan BI memberikan bantuan likuiditas kepada lembaga keuangan yang tidak solven milik konglomerat yang menjadi kroninya. Hal ini telah melanggar prinsip independensi finansial bank sentral yang bersumber dari prinisip “anggaran yang berimbang”.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa bank sentral yang tidak memiliki otonomi dalam aspek finansial akan menyebabkan bencana ketidakstabilan moneter. Pengalaman diatas juga memperlihatkan bagaimana independensi finansial bank sentral dapat tercipta tanpa ada jaminan eksplisit dari undang-undang (UU) bank sentral.

Dengan adanya UU Nomor 23 tahun 1999 mengenai BI, independensi bank sentral dijamin secara eksplisit dengan hukum positif.

Sayangnya, sejak implementasi UU 23/1999, BI lebih sering gagal mencapai target kebijakan moneter, yaitu: inflasi dan nilai tukar, dan target antara kebijakan moneter, yaitu: pertumbuhan uang beredar. Di tahun 2000 dan 2001, realisasi inflasi, pertumbuhan uang beredar, dan nilai tukar memang jauh diatas target yang ditetapkan.

Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat, meminta pertanggungjawaban gubernur dan deputi gubernur BI atas kegagalan mereka mencapai target kebijakan tersebut. Tapi, seperti yang kita ketahui bersama, DPR tidak pernah dengan serius menyelidiki kegagalan BI tersebut.

Bahkan DPR pada saat itu memihak gubernur BI yang kebetulan sedang bertikai dengan mantan Presiden Wahid. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah DPR dengan sengaja mempertahankan dan melindungi gubernur yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk melemahkan posisi presiden?

Penulis ingin menekankan bahwa bank sentral bukan hanya harus independen dari badan eksekutif, tetapi juga dari semua kepentingan politik. Bank sentral yang independen juga harus dilindungi dari intervensi kekuatan legislatif seperti DPR atau kepentingan politik lainnya. Bank sentral bukan lah alat politik, bank sentral adalah instrumen ekonomi untuk menjamin stabilitas moneter bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Baru ditahun 2002 BI dapat memenuhi target inflasi dan pertumbuhan uang beredar, sedangkan target nilai tukar baru tercapai di tahun 2003.

Akuntabilitas dan Amandemen UU 23/1999 BI

Komponen yang hilang dalam UU 23/1999 tentang BI adalah aspek akuntabilitas (accountability). Bank sentral harus mempertangungjawabkan segala tindakan dan kinerjanya dalam mencapai target moneter yang telah ditetapkan. Prinsip akuntabilitas memungkinkan bank sentral diawasi dan diperiksa segala tindakannya oleh masyarakat.

Dalam masyarakat yang demokratis, masyarakat yang memilih pejabat publik, melalui perwakilannya di parlemen, berhak mengenakan sanksi kepada pembuat kebijakan yang tidak kompeten. Hanya dengan menegaskan dalam undang-undang bahwa pembuat kebijakan akan ‘dihukum’ bila kinerjanya jelek, maka pembuat kebijakan akan berusaha keras untuk membuat kebijakan yang terbaik.

Di US, Dewan Gubernur dari Federal Reserve Board diawasi oleh konggres. Di Selandia Baru, akuntabilitas gubernur bank sentral dibuat dalam hukum tertulis yang menyatakan bahwa gubernur dapat kehilangan independensinya, bahkan dipecat, bila gagal mencapai target kebijakan (Walsh, 1996).

Di Indonesia, akuntabilitas BI hanya sebatas transparansi laporan perkembangan moneter. Sedangkan DPR, yang mewakili rakyat dan seharusnya memeriksa kinerja BI, tidak lebih daripada sekumpulan orang-orang yang berkolusi untuk memaksimumkan keuntungan pribadi dengan mengabaikan kepentingan publik.

Akibatnya BI menjadi lembaga independen yang tidak mempunyai akuntabilitas: seburuk apa pun kinerja BI, para pejabat BI dapat tenang dan terus menerima fasilitas dari publik.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa independensi bank sentral tanpa akuntabilitas tidak akan memperbaiki, bila bukan berbahaya bagi, stabilitas moneter.

Untuk memperbaiki kinerja BI dalam menciptakan stabilitas moneter, bukan saja diperlukan seorang gubernur BI yang bermoral, tapi juga perlu dilakukan amandemen UU 23/1999 tentang BI. Dalam UU mengenai BI yang baru nanti, perlu ditegaskan aspek akuntabilitas dan indikator-indikator moneter untuk mengevaluasi kinerja BI.

Selasa, 12 Agustus 2008

Mengkritisi Pertumbuhan Ekonomi Paska-Krisis

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 10 Maret 2003

Perkembangan beberapa indikator ekonomi makro belakangan ini menunjukkan suatu perbaikan yang sangat berarti. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) stabil disekitar 13 persen, lebih rendah dari suku bunga tahun 2001 dan 2002 yang berkisar 15-16 persen. Inflasi, meskipun masih tinggi, dapat dikendalikan di 10 persen. Nilai tukar menguat dari sekitar Rp 11.000 per dollar pada akhir tahun 2001 menjadi sekitar Rp 8.800 pada saat ini. Defisit anggaran pemerintah diharapkan akan terus menurun, khususnya karena pemerintah terus mengurangi subsidi. Pemerintah juga menyatakan bahwa rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan menjadi 72 persen di akhir tahun 2002, dibandingkan 95 persen pada tahun 1999.

Semua perkembangan bagus diatas akhirnya disempurnakan oleh pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Februari bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2002 adalah 3,66 persen. Angka ini jauh diatas angka perkiraan banyak pengamat, yaitu sekitar 3 persen atau kurang.

Namun, semua optimisme yang ada sebaiknya jangan sampai membuat kita lalai. Ada beberapa alasan mengapa kita masih harus khawatir dengan perkembangan ekonomi yang terjadi.

Pertama, pertumbuhan ekonomi paska-krisis yang berkisar 3-4 persen masih jauh dibawah pertumbuhan pra-krisis yang mencapai 7 persen. Pertumbuhan yang rendah ini tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran dan tenaga kerja baru yang ada.

Kedua, pertumbuhan sekitar 3-4 persen juga tidak cukup untuk mengimbangi beban cicilan utang pemerintah yang sangat besar. Paling tidak, ekonomi harus tumbuh diatas 5 persen untuk menjamin pengurangan utang dalam jangka panjang.

Ketiga, sumber pertumbuhan utama paska-krisis adalah pengeluaran konsumsi. Karena pengeluaran konsumsi tidak akan meningkatkan akumulasi barang modal, sehingga tidak meningkatkan kapasitas produksi, maka pertumbuhan yang tercipta tidak akan bertahan dalam jangka panjang.

Bahkan pertumbuhan pra-krisis di era 1990-an yang terutama dihela oleh akumulasi barang bodal, terefleksi di pengeluaran investasi yang sangat besar, terbukti tidak bertahan dalam jangka panjang. Tapi kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang lebih parah: investasi rendah dan konsumsi tinggi. Sejalan dengan menurunnya pengeluaran investasi dan depresiasi barang modal, kapasitas produksi akan menurun. Anehnya, konsumsi terus meningkat. Hal ini hanya mungkin terjadi bila masyarakat menggunakan tabungan untuk membiayai pengeluarannya.

Banyak pengamat yang berpendapat bahwa tingginya permintaan barang tahan lama (durable goods) mencerminkan kenaikan daya beli masyarakat. Namun penulis berpendapat bahwa tingginya permintaan terhadap barang tahan lama, seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, dan furnitur, di tahun 2001-2002 hanya lah sebagai pengganti barang yang telah rusak atau usang.

Dari sisi konsumsi pemerintah, perkembangannya juga tidak dapat diharapkan. Pengeluaran pemerintah dibebani pembayaran utang dan proporsi pengeluaran pemerintah dalam PDB kecil, sekitar 8 persen. Ini menjelaskan mengapa stimulus pengeluaran pemerintah sangat terbatas menfaatnya bagi peningkatan kegiatan ekonomi nasional.

Keempat, tidak bergairahnya komponen perdagangan internasional dari ekonomi nasional. Pertumbuhan ekspor paska-krisis jauh dibawah pertumbuhan ekspor pra-krisis yang rata-rata diatas 10 persen. Selain faktor lesunya pasar internasional, sepertinya Indonesia gagal memanfaatkan depresiasi nilai tukar rupiah untuk mendorong pertumbuhan ekspor non-migas. Buktinya, pertumbuhan ekspor non-migas paska-krisis hanya terjadi secara luar biasa pada tahun 2000, mencapai 23 persen. Ditahun 1999 dan 2001 pertumbuhan ekspor non-migas negatif, sedangkan tahun 2002 hanya tumbuh kurang dari 3 persen.

Rendahnya pertumbuhan ekspor berdampak negatif pada kemampuan Indonesia memenuhi kewajiban utang luar negri. Rasio cicilan utang luar negri terhadap ekspor (debt service ratio, DSR) dalam periode 1999-2002 terus meningkat, dari sekitar 40 persen menjadi 45 persen. DSR yang tinggi ini jauh diatas standar aman dari Bank Dunia, yaitu 25 persen.

Pertumbuhan impor juga mengalami perlambatan, hanya 1 persen pada tahun 2002. Jika impor menurun pada masa ekonomi tumbuh dengan cepat, bisa disimpulkan bahwa barang produksi lokal telah berhasil menggantikan barang impor. Tetapi, bila impor melambat pada saat pertumbuhan ekonomi rendah dan banyak investor keluar dari Indonesia, ini indikasi menurunnya permintaan akibat menurunnya kegiatan ekonomi. Hubungan antara rendahnya impor dengan menurunnya aktifitas ekonomi diperlihatkan oleh penurunan impor barang modal yang besar (sekitar –7,6 persen) dan lemahnya permintaan impor bahan baku (naik hanya 1,5 persen).

Penurunan impor barang modal dan rendahnya permintaan bahan baku berhubungan erat dengan proses de-industrialisasi dalam periode 2000-2002 seperti yang dijelaskan oleh Ari Kuncoro, peneliti senior dari LPEM-FEUI. Proses de-industrialisasi di perkirakan terus berlanjut di tahun 2003, sejalan dengan menurunnya persetujuan investasi baru dan minimnya realisasi investasi.

Lebih parah lagi, satu-satunya komponen impor yang tumbuh sangat tinggi adalah impor barang konsumsi, mecapai 13 persen ditahun 2002. Tingginya pertumbuhan impor ini mengindikasikan proses substitusi konsumsi dari produk lokal dengan produk impor.

Semua kondisi yang tidak menyenangkan dibalik pertumbuhan ekonomi yang ada hanya melihat aspek kuantitatif. Bila kita melihat lebih luas aspek pertumbuhan ekonomi, yaitu kualitas-nya, maka kita menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang rendah itu juga disertai eksploitasi sumberdaya alam yang sangat berlebihan, kerusakan alam, dan penurunan kualitas lingkungan hidup (khususnya bagi kelompok penduduk miskin).

Semua aspek negatif pertumbuhan ekonomi paska-krisis ini bukan saja menyebabkan pertumbuhan yang rendah, tapi juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat bertahan dalam jangka panjang.

Solusi utama untuk masalah diatas sangat lah klise: pemerintah harus dengan serius membasmi korupsi.

Berbagai studi empiris yang dilakukan Shang Jin Wei, ekonom dari Harvard University, menunjukkan hubungan negatif antara korupsi dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi (misalnya lihat “The Cost of Crony Capitalism”).

Sebagai gambaran betapa besarnya potensi investasi yang hilang akibat korupsi diantaranya “if the Philippines, for example, could reduce its corruption level to those of Singapore, it would increase its total investment to GDP ratio by almost 7 percentage points”. Terkait dengan investasi langsung luar negri (foreign direct investment, FDI), Wei menyatakan “if India could reduce its corruption level to that of Singapore, the net effect on attracting FDI would be the same as reducing its tax rate by 22 percentage points”.

Dampak negatif korupsi pada investasi akhirnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari yang seharusnya, sebagaimana digambarkan oleh Wei “if Bangladesh were able to reduce its corruption to Singapore level, its average annual per capita GDP growth rate over 1960-1985 would have been higher by 1,8 percentage points”.

Jadi, bila Indonesia serius memerangi korupsi, maka Indonesia dapat menghapuskan insentif ‘tax holiday’ bagi investor dan menaikkan upah buruh tanpa perlu khawatir akan menurunkan daya saing ekonomi nasional. Perang terhadap korupsi juga meningkatkan pengadaan infrastruktur dan barang publik kepada masyarakat dengan subsidi yang minimal. Tegasnya, tanpa korupsi, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih berkualitas.

Selain memberantas korupsi, pemerintah juga harus mengalokasi lebih banyak dana untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Selain untuk pendidikan formal, dana dialokasikan untuk melatih tenaga kerja dan pengangguran. Pemerintah secara langsung atau bekerjasama dengan perusahaan swasta menyediakan balai latihan kerja bagi masyarakat.

Selama ini pemerintah terlalu mengandalkan upah buruh yang sangat murah untuk menarik investor. Tapi sekarang kita menghadapi persaingan yang sangat ketat dari negara-negara Vietnam, Cina, dan India, yang dapat menyediakan tenaga kerja murah dan lebih terampil. Ini menjelaskan mengapa sebagian investor pindah dari Indonesia ke tiga negara tersebut.

Namun masih ada pertanyaan mengapa investor pindah ke negara yang upah buruhnya lebih mahal seperti Malaysia dan Thailand? Jawabannya: meskipun upah tenaga kerja Malaysia dan Thailand lebih tinggi, namun ketrampilan dan produktivitas mereka juga lebih baik.

Jadi untuk mencegah larinya investor dari Indonesia, selain membasmi korupsi yang menyebabkan iklim usaha tidak kondusif, pemerintah harus punya program yang jelas untuk memperbaiki SDM bangsa ini. Khususnya SDM buruh yang selama ini menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional.

Utang Indonesia: Sebuah Analisa Perbandingan

oleh Siswa Rizali
versi singkat tulisan ini dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 3 Maret 2003

Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono menyatakan bahwa pemerintah dalam tempo satu setengah tahun telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio, selanjutnya DGR) dari mendekati 100 persen pada pertengahan dan akhir tahun 2001 menjadi 71,79 persen menjelang akhir tahun 2002. Menkeu juga menyatakan “....Indonesia memang bukan negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi” dan “Jepang, Jordania, Israel, Singapura, bahkan Malaysia, memiliki debt to GDP ratio yang lebih tinggi.” (Kompas, 17 Desember 2002)

Sejauh mana informasi ini akurat? Apakah kondisi utang Indonesia secara riil membaik ? Bagaimana Singapura (yang anggaran pemerintahnya selalu surplus dan pendapatan per kapitanya sangat tinggi) bisa memiliki DGR yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia?

Klasifikasi Negara Pengutang

Tabel 1 memperlihatkan klasifikasi beberapa negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur berdasarkan tingkat pendapatannya dan beban total utang luar negeri (baik utang pemerintah maupun utang swasta).

Klasifikasi tingkat pendapatan berdasarkan pendapatan per kapita dalam US dolar per tahun. Klasifikasi utang luar negeri berdasarkan dua indikator, yaitu: (1) rasio nilai masa sekarang (present value) total beban utang luar negeri terhadap pendapatan nasional bruto (PNB) (selanjutnya disingkat DPNB), dan (2) rasio dari nilai masa sekarang total beban utang luar negeri terhadap ekspor (selanjutnya disingkat DEX). Pemilihan kedua rasio ini untuk mengukur pemenuhan kewajiban utang jangka panjang terkait dengan prospek perkembangan perekonomian.

Tabel 1. Klasifikasi Negara Berdasarkan Pendapatan
dan Utang Luar Negeri, 2002
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002.

Negara berpendapatan tinggi, seperti Brunei, Hong Kong, Jepang, dan Singapura, ternyata diklasifikasikan sebagai negara yang tidak mempunyai masalah utang, meskipun negara tersebut mungkin saja memiliki utang yang sangat besar (akan dijelaskan lebih lanjut dibawah).

Sedangkan Indonesia berada pada posisi yang sangat kritis dimana utangnya tinggi sedangkan pendapatannya rendah, sama seperti Laos dan Myanmar. Memang Indonesia pernah lebih baik daripada Laos dan Myanmar, yaitu sebelum krisis 1998. Pada saat itu Indonesia berada pada posisi yang sama seperti Filipina dan Thailand. Namun sekarang posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Filipina dan Thailand.

Pada masa puncak krisis 1998-1999, Filipina, Thailand, dan Korea Selatan termasuk negara yang mempunyai masalah berat dengan utangnya, sama seperti Indonesia. Sejalan dengan membaiknya perekonomian mereka dan upaya restrukturisasi utang, kondisi utang ketiganya mengalami perbaikan. Sementara Indonesia, kondisi utangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, sehingga masih diklasifikasikan sebagai negara yang mempunyai masalah berat dengan utang.

Untuk lebih jelasnya, indikator utang Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang mengalami krisis pada tahun 1997-1998, yaitu Filipina, Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan (Tabel 2). Perbandingan ini tidak hanya berdasarkan dua rasio diatas, tapi juga digunakan rasio total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap total ekspor barang dan jasa (debt service ratio, DSR) dan rasio utang pemerintah (dalam dan luar negeri) terhadap PDB (DGR).

Tabel 2 Indikator Tingkat Kondisi Utang, 1998 – 2000 (dalam persen)
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002. Diolah dari berbagai sumber: www. Apec.org, Jepang, Singtat, Korea, ARIC.
Catatan: # Data DGR adalah perkiraan untuk tahun 2002. Beberapa data dari tahun 2001. @ Data PNB Singapura diganti dengan PDB.

Kecuali indikator DPNB Singapura dan indikator DGR Jepang, indikator utang Indonesia jauh diatas negara-negara lain. Meskipun menguatnya nilai tukar Rupiah belakangan ini menyebabkan indikator DPNB dan DGR Indonesia jauh membaik, tetapi nilainya tetap tinggi dibandingkan dengan konsensus batas aman dari World Bank, yaitu sekitar 50%.

Indikator DEX dan DSR negara-negara lain lebih rendah dari Indonesia. Rendahnya indikator DEX dan DSR negara lain mencerminkan tingginya ekspor dan keberhasilan melakukan restrukturisasi utang paska krisis 1998. Sebaliknya Indonesia tidak begitu berhasil melakukan restrukturisasi utang dan pertumbuhan ekspor, meskipun sempat naik, belakangan mengalami perlambatan.

Perbaikan indikator DPNB dan DGR Indonesia ternyata tidak diikuti perbaikan indikator DEX dan DSR. Indikator DEX dan DSR diperkirakan akan naik sejalan dengan menurunnya ekspor di tahun 2001 yang mencapai 9%. Karena penurunan ekspor mungkin terus berlanjut di tahun 2002, diperkirakan DSR Indonesia bisa mencapai 50%, bila tidak dilakukan restrukturisasi utang besar-besaran.

Tidak seperti DPNB dan DGR, indikator DEX dan DSR tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar karena kedua besaran dalam indikator, utang luar negeri dan ekspor, diukur dalam US dolar. Meningkatnya nilai kedua indikator ini mengindikasikan bahwa kondisi utang Indonesia tidak seoptimis yang Menkeu gambarkan.

Dalam analisa dinamis, pertumbuhan ekonomi penting untuk meningkatkan kapasitas pembayaran utang, baik dalam dan luar negeri. Setelah tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri didominasi oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ini tidak akan bertahan dalam jangka panjang karena pertumbuhan yang berasal dari pertumbuhan konsumsi tidak disertai peningkatan kapasitas produksi riil ekonomi seperti pertumbuhan dari investasi.

Ada juga yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak perlu tergantung pada ekspor, karena pasar domestik Indonesia sangat besar. Harus diingat bahwa utang banyak dalam US dolar, disinilah pentingnya pertumbuhan ekspor. Lebih-lebih sebagian investasi penghasil ekspor berasal dari utang luar negeri.

Karena itu, perlambatan (apalagi penurunan) pertumbuhan ekonomi, investasi, dan ekspor akan berdampak negatif bagi proses pembayaran utang, baik utang pemerintah dan swasta, utang luar maupun dalam negeri.

Dengan membaiknya nilai tukar rupiah, pendapatan per kapita di tahun 2002 diperkirakan menjadi lebih dari US$ 800. Tapi indikator DPNB, DEX, dan DSR tetap relatif tinggi, sehingga Indonesia di tahun 2002 ini masih merupakan negara berpendapatan menengah (bawah) yang mempunyai masalah berat dengan utang (severely indebted middle (lower) income country).

Singapura dan Jepang; Perbadingan yang Salah Kaprah

Membandingkan utang Indonesia dengan utang negara berpendapatan tinggi, seperti Jepang dan Singapura, harus hati-hati. Pertama, pemerintah Singapura dan Jepang, tidak mempunyai utang luar negeri, sedangkan utang pemerintah Indonesia sebagiannya adalah utang luar negeri.
Kedua, pemerintah Singapura dan Jepang, selain berutang, juga memberikan pinjaman atau mempunyai investasi kepada/di negara lain. Karena pinjaman dan investasi pemerintah Singapura dan Jepang ke negara lain jauh lebih besar dari utangnya, maka secara total pemerintah Singapura dan Jepang adalah pemberi pinjaman bersih (net creditor) kepada luar negeri. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya punya utang kepada luar negeri, tapi tidak memberikan pinjaman atau pengutang bersih (net debtor).

DGR pemerintah Singapura (dan Malaysia) ternyata jauh dibawah DGR Indonesia. Apakah Menkeu memperoleh data yang salah dari stafnya?

Ketiga, pemerintah Jepang memang mempunyai utang yang besar kepada rakyatnya, tapi sektor swasta Jepang mempunyai investasi dan pinjaman yang sangat besar kepada pihak non-Jepang. Bahkan investasi Jepang sangat penting bagi negara maju seperti Eropa dan Amerika.

Di Indonesia, selain pemerintahnya berutang, swastanya juga mempunyai utang ke luar negeri sebesar milyar US$ 70 milyar. Pihak swasta Indonesia, meskipun banyak yang mempunyai deposito haram dari hasil menjarah BLBI di luar negeri, tetap saja mereka pengutang.

Pemerintah Jepang dalam kondisi berutang masih dapat menyediakan berbagai sarana publik, subsidi, dan jaminan kesejahteraan untuk rakyatnya. Pemerintah Indonesia, sejalan dengan meningkatnya beban utang, berbagai subsidi untuk rakyat dan investasi infrastruktur dikurangi. Rakyat kemudian dibebani dengan berbagai pajak.

Keempat, utang swasta Singapura, yang sejak pertengahan 1990-an mencapai lebih 250% PDB, mencerminkan tingginya aktivitas transaksi utang di Singapura. Memang Singapura menjadi pusat intermediasi bagi pemberi utang dari Eropa dan Amerika dan penerima utang utama dari Asia Tenggara (seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia). Utang Singapura termasuk deposito pelarian modal (capital flight) dari negara-negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, yang nantinya akan dipinjamkan ke negara di sekitar Asia Tenggara juga. Dengan banyaknya investasi asing di Singapura, utang yang terjadi merupakan utang anak perusahaan asing bersangkutan ke negara asalnya. Sebagai pusat perdagangan internasional, Singapura mempunyai utang kredit perdagangan (trade credit) yang besar. (lihat: Singapore Department of Statistics, “Singapore’s External Debt: Definition and 1998 Assessment”, 2000).

Tingkat transaksi utang yang besar tersebut menunjukkan bahwa pasar finansial di Singapura sehat dan efisiensi. Dari transaksi utang-utang tersebut, Singapura memperoleh biaya jasa (service fee) yang sangat besar. Semakin tinggi transaksi utang, semakin besar nilai jasa yang diperoleh Singapura, dan semakin makmur negaranya. Kondisi yang sama juga terdapat di pusat finansial internasional Asia lain: Hong Kong. Sebaliknya, Indonesia berutang karena terpaksa dan harus membayar berbagai cicilan pokok dan bunga utang, bukan menerima pemasukan dari biaya jasa transaksi utang.

Dengan berbagai perbedaan karakter utang Singapura dan Jepang diatas, bagaimana Menkeu bisa membandingkan baik buruknya indikator utang Indonesia dengan kedua negara tersebut? Sebagai seorang doktor di bidang ekonomi, tentunya Menkeu faham betul tentang perbedaan tersebut. Tapi mengapa Menkeu memberikan contoh perbandingan yang tidak masuk akal dan salah kaprah?

Kebohongan Publik

Dari uraian di atas, sepertinya kondisi utang Indonesia tidak membaik secara luar biasa seperti yang digambarkan Menkeu. Memang ada indikator utang membaik, tapi indikator utang yang lain memburuk. Perkembangan komponen sumber pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, juga menunjukkan arah yang negatif meskipun terjadi perbaikan di indikator nilai tukar dan suku bunga.

Jadi perbaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB bisa saja merupakan suatu faktor keberuntungan, yaitu melemahnya nilai tukar US $ terhadap mata uang dunia, bukan perbaikan riil posisi utang Indonesia.

Bagi penulis, pernyataan optimisme dari Menkeu tidak berdasarkan fakta dan merupakan suatu kebohongan kepada publik. Tindakan memanipulasi informasi ini tentunya tidak akan membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan utang negara Indonesia. Kebohongan itu juga tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah Indonesia belum juga belajar dari pengalaman buruk krisis selama ini. Pemerintah Indonesia juga tidak belajar dari keberhasilan Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan dalam upaya mereka mempercepat proses pemulihan ekonominya. Satu-satunya yang berhasil pemerintah pelajari selama krisis ekonomi adalah bagaimana menjadikan IMF sebagai kambing hitam atas kegagalan program pemulihan ekonomi.

Rabu, 06 Agustus 2008

Menyoal Indikator Utang Indonesia

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 24 Desember 2002

Menteri Keuangan Boediono menyatakan dalam tempo satu setengah tahun pemerintah berhasil menurunkan rasio utang terhadap produk domestik bruto dari sekitar 100% pada akhir 2001 menjadi 72% pada akhir tahun ini.

Bahkan pemerintah diperkirakan akan sanggup menurunkan rasio utang itu kurang dari 50% dalam lima tahun ke depan. (Bisnis Indonesia, 17 Desember 2002).

Penurunan rasio utang yang sangat besar itu oleh Menkeu dijadikan indikator keberhasilan pemerintah yang sangat luar biasa dalam mengelola utang dan kebijakan ekonomi makro.

Benarkah demikian? Sejauh mana akurasi indikator rasio utang yang disampaikan? Apakah metode penghitungannya sudah sesuai dengan konsep indikator utang yang digunakan Bank Dunia, IMF, dan Bank for International Settlement (BIS)? Mungkinkah rasio utang diturunkan dibawah 50% dalam lima tahun?

Indikator Kurs

Utang pemerintah terdiri dari utang dalam negeri dan utang luar negeri. Data pertengahan tahun 2002 menunjukkan utang dalam negeri Rp 651,8 triliun dan utang luar negeri sekitar US $ 73 miliar.

Berhubung sebagian utang pemerintah dalam mata uang asing (US$), maka nilai utang dalam rupiah sangat tergantung dengan fluktuasi nilai tukar. Katakanlah nilai tukar rupiah saat ini sekitar Rp8.800/US$, maka utang luar negeri US$73 miliar ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih dari Rp640 triliun.

Sedangkan Menkeu melaporkan pada Juni 2002 utang luar negeri pemerintah Rp 558,2 triliun, sehingga terdapat selisih lebih dari Rp80 triliun.

Hitungan utang sekitar Rp640 triliun itu pun diperoleh dengan menggunakan konversi nilai tukar saat ini yang sedang membaik. Mengingat Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang bebas, maka konversi utang ke rupiah tidak akurat bila menggunakan nilai tukar rupiah pada satu waktu tertentu.

Sesuai konsensus lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan BIS, konversi nilai utang ke rupiah harus menggunakan nilai tukar rata-rata (average exchange rate) dalam periode bersangkutan.

Sepanjang periode 1 Januari-10 Desember 2002, nilai tukar rata-rata adalah Rp9.300/US$. Menggunakan nilai tukar rata-rata tersebut, konversi utag ke rupiah menjadi mendekati Rp680 triliun.

Dengan PDB Indonesia 2002 diperkirakan mencapai Rp1.685 triliun, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai sekitar 79%, bukan 72% seperti diklaim Menkeu Boediono.

Jadi rasio utang terhadap PDB yang disampaikan Menkeu terlalu optimistis dan tidak akurat. Kalaupun ada perbaikan indikator rasio utang terhadap PDB, perbaikan itu sebagian besar disebabkan oleh perbaikan nilai tukar, bukan semata-mata hasil kerja pemerintah.

Indikator Lain

Dalam memberikan gambaran optimistis mengenai utang, Menkeu hanya menggunakan satu indikator yaitu rasio utang terhadap PDB.

Padahal banyak indikator utang lain yang harus dipertimbangkan sebelum dapat ditegaskan apakah kondisi utang suatu negara semakin membaik atau memburuk. Misalnya, terkait dengan kemampuan membayar utang luar negeri, harus diperhatikan rasio pembayaran cicilan pokok dan bunga utang terhadap total ekspor atau rasio pembayaran utang (debt service ratio).

Pada 1999, 2000, dan 2001, DSR Indonesia yang mencakup semua utang pemerintah dan swasta adalah 41%, 40%, dan 44%. DSR ini jauh di atas patokan Bank Dunia yang sekitar 20% sampai 25%.

Perhatikan juga bahwa peningkatan DSR pada 2001 terutama terjadi karena penurunan ekspor yang mencapai 9%. Pada 2002, ekspor diperkirakan kembali menurun sekitar 1%.

Untuk 2002, dengan perkiraan beban total pembayaran utang swasta dan pemerintah mencapai US$ 30 miliar dan total ekspor US$ 58 miliar, maka DSR diperkirakan mencapai 52%.

Karena kedua variabel perhitungannya diukur dalam US$, maka DSR tidak terlalu sensitif terhadap perubahan nilai tukar seperti rasio utang. Jadi peningkatan tajam DSR tersebut benar-benar mencerminkan menurunnya kemampuan Indonesia dalam membayar utang luar negri.

Beberapa indikator lain yang juga harus dipelajari lebih mendalam untuk mengetahui kondisi utang luar negeri suatu negara adalah: rasio total utang terhadap total ekspor, rasio utang jangka pendek terhadap total utang, dan rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa.

Dua indikator yang terakhir sangat penting dalam menilai kerapuhan suatu perekonomian terhadap serangan spekulasi mata uang.

Dinamika Utang

Analisis rasio utang dan DSR mencerminkan kemampuan membayar utang statis pada suatu titik waktu. Untuk memperkirakan perkembangan utang di masa mendatang, harus dipakai konsep yang lebih dinamis, misalnya dengan melihat perkembangan utang dan potensi kemampuan membayar utang.

Untuk mudahnya, penulis akan memfokuskan bahasan pada beban utang pemerintah dan perkembangan penerimaan pemerintah, yaitu pajak. Variabel utang dan penerimaan sendiri akan lebih tepat bila dilihat dari nilai riilnya, yaitu nilai yang telah disesuaikan terhadap perubahan tingkat harga (= inflasi).

Pertumbuhan riil utang pemerintah adalah nilai utang di awal periode analisa ditambah bunga riil utang dan dikurangi cicilan bunga dan pokok utang. Bunga riil utang adalah bunga nominal rata-rata utang pemerintah dikurangi inflasi.

Sedangkan pertumbuhan penerimaan pemerintah, dengan tarif pajak tetap, akan berhubungan lurus dengan pertumbuhan riil ekonomi.

Jadi perkembangan beban utang dapat dilihat dari dua indikator yaitu suku bunga riil, (yang menentukan pertumbuhan utang) dan pertumbuhan riil ekonomi (yang menentukan pertumbuhan penerimaan pemerintah).

Dalam jangka panjang, utang riil akan menurun bila pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada bunga riil. Sebaliknya, bila suku bunga riil lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, nilai riil utang pemerintah akan meningkat (Sargent dan Wallace, "Some Unpleasant Monetarist Arithmetic", FRBM Quarterly Review, 1981).

Dalam beberapa tahun terakhir suku bunga nominal Sertifikat Bank Indonesia, yang menjadikan patokan bunga obligasi pemerintah, bergerak sekitar 15%/tahun. Dengan asumsi inflasi tahunan 10%, maka suku bunga riil adalah 5%.

Di lain pihak, pertumbuhan ekonomi paska krisis selalu kurang dari 5% per tahun. Jadi dapat diperkirakan dari waktu ke waktu beban utang riil pemerintah semakin meningkat.

Jika kondisi suku bunga riil utang yang lebih besar dari pertumbuhan riil ekonomi ini berlangsung dalam jangka panjang, dapat dipastikan beban utang akan terus meningkat.

Analisis dinamis ini tidak menunjukkan kondisi optimistis seperti yang disampaikan oleh Menkeu. Bahkan menguatkan analisa di bagian awal tulisan ini bahwa ancaman krisis utang masih sangat dekat terbayang di depan mata.

Mulailah Bekerja

Dari pejelasan berbagai aspek utang tersebut, sikap optimistis Menkeu sepertinya tidak berdasarkan fakta.

Apalagi mengingat indikator ekonomi makro lain yang penting bagi pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan investasi, pada tahun 2002 ini diperkirakan menurun 3,5%. Tanpa investasi baru, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat dipastikan akan menurun.

Pejabat pemerintah sebaiknya berhenti mengeluarkan pernyataan bombastis mengenai kinerja tim ekonomi pemerintah. Apalagi bila kinerja yang dibangga-banggakan hanya berdasarkan rekayasa perhitungan indikator ekonomi dan informasi yang tidak sempurna. Tindakan ini dapat dianggap sebagai kebohongan kepada publik yang akan semakin menurunkan kredibilitas pemerintah.

Meskipun gambaran kondisi utang Indonesia yang penulis sampaikan sangat pesimistis, tapi situasi ini bisa dirubah. Caranya: Pemerintah harus benar-benar mempercepat berbagai proses restrukturisasi utang (dalam dan luar negeri) dan memperbaiki iklim investasi.

Memperbaiki iklim investasi ini banyak tergantung kepada pemerintah karena berbagai faktor penghambat investasi di Indonesia bersumber dari kegagalan kebijakan pemerintah. Misalnya: korupsi dan pungutan liar yang sangat besar, infrastruktur yang tidak memadai, ketidakpastian hukum, birokrasi yang berbelit-belit, dan masalah keamanan.

Efektifitas Stimulus Fiskal

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 30 September 2002

Berbagai tanggapan muncul setelah Presiden Megawati mengumunkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003. Tanggapan yang muncul umumnya bersikap pesimis bahwa target pertumbuhan 5 persen pada tahun 2003 dapat dicapai. Alasannya, RAPBN 2003 bersifat kontraktif sehingga tidak mungkin menjadi stimulus ekonomi.

Di lain pihak, M Ikhsan dan Robert Simanjuntak (LPEM-FEUI) memandang RAPBN 2003 relatif ekspansif. Sedangkan, Kwik Kian Gie berpendapat bahwa APBN tidak relevan lagi digunakan untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi karena proporsi pengeluaran pemerintah dalam Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil, sekitar 13%.

Arus Penerimaan/Pembiayaan dan Pengeluaran APBN

Untuk melihat apakah kebijakan fiskal berdampak kontraktif atau ekspansif terhadap perekonomian, maka harus dibandingkan antara jumlah daya beli yang disedot oleh pemerintah dari dalam negri (sisi penerimaan dan pembiayaan APBN) dan jumlah pengeluaran pemerintah ke dalam negri.

Di sisi penerimaan, komponen yang mengurangi daya beli masyarakat, seperti pajak, bersifat kontraktif terhadap perkonomian. Sedangkan penerimaan migas yang berasal dari ekspor, tidak bersifat kontraktif.

Pembiayaan defisit sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: mencetak uang dan hutang (domestik atau luar negri). Pembiayaan defisit dengan mencetak uang akan berdampak ekspansif. Pembiayaan defisit dengan hutang dalam negri akan bersifat netral karena terjadinya crowding-out effect, dimana penyedotan dana dari masyarakat oleh pemerintah dengan obligasi mendorong kenaikan suku bunga yang selanjutnya mengurangi (crowding-out) investasi swasta. Sedangkan pembiayaan defisit APBN dengan hutang luar negri tidak mempunyai dampak kontraksi dimasa sekarang, namun dampak kontraksinya terjadi pada saat pemerintah harus membayar hutang luar negri tersebut.

Dari sisi pengeluaran, harus dilihat apakah pengeluaran tersebut berorientasi ke dalam negri atau ke luar negri. Pengeluaran rutin bersifat ekspansif, kecuali pengeluaran belanja pegawai dan barang luar negri, serta cicilan hutang luar negri dan bunganya yang bersifat kontraktif. Di komponen pengeluaran pembangunan, hanya pengeluaran pembangunan dalam rupiah yang bersifat ekspansif. Sedangkan pengeluaran pembangunan dalam bentuk impor tidak memiliki daya ekspansi terhadap perekonomian lokal.

Berdasarkan versi pemerintah, RAPBN 2003 dinyatakan bersifat ekspansif sebesar Rp 16,8 trilyun, sekitar 1% PDB. Versi Ikhsan dan Simanjuntak, ekspansi RAPBN 2003 sekitar Rp 53 s/d 66 trilyun (3 s/d 3,5 persen PDB). Dilain pihak, Iman Sugema dan Didik Rachbini (Indef) menganggap RAPBN 2003 bersifat kontraktif sekitar Rp 82 trilyun (4,3 persen PDB).

Perbedaan besaran ekspansi/kontraksi RAPBN muncul karena perbedaan persepsi pengamat akan sifat ekspansi/kontraksi komponen pengeluaran/penerimaan.

Persamaan Ricardo

John Maynard Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi agregat ekonomi dan kebijakan fiskal yang aktif diharapkan dapat membuat perekonomian lebih stabil. Pada intinya, Keynes menganjurkan pemerintah secara aktif menggunakan kebijakan fiskal untuk: (1) mendukung ekonomi keluar dari resesi dengan kebijakan anggaran defisit, dan (2) menghindari ‘ekonomi kepanasan’ (economic overheating) dengan kabijakan anggaran surplus.

Berseberangan dengan Keynes, ekonom Klasik berpandangan bahwa kebijakan fiskal tidak dapat secara efektif mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Keyakinan kelompok ekonom klasik ini dirumuskan dalam Teorema Persamaan Ricardo (Ricardo Equivalence Theorem). Nama teorema ini berasal dari nama ekonom klasik, David Ricardo, ekonom pertama yang memaparkan teori netralitas kebijakan fiskal. Selanjutnya, Robert Barro melengkapi analisa Ricardo dan mempertegas kesimpulan analisa tersebut (lihat “Are Government Bonds Net Wealth?”, The Journal of Political Economy, 1974).

Barro berpendapat setiap orang menyadari bahwa anggaran defisit dimasa sekarang harus dibayar dengan pajak yang lebih tinggi dimasa mendatang, sehingga masyarakat mengantisipasi kebijakan defisit tersebut dengan menabung yang lebih banyak. Akibatnya, potensi ekspansi anggaran defisit di hapus oleh kontraksi akibat penghematan yang dilakukan oleh sektor swasta (crowding-out effect). Secara total, pengeluaran agregat dalam ekonomi tetap.

Sebagai gambaran sederhana lain, katakanlah pemerintah memutuskan untuk mengurangi target penerimaan pajak sebesar Rp 30 trilyun, dan kemudian membiayai defisit yang terjadi dengan menjual obligasi sebesar Rp 30 trilyun. Secara total, jumlah uang yang dimiliki masyarakat untuk dibelanjakan adalah sama seperti sebelum kebijakan defisit diterapkan.

Sekali dipertimbangkan bahwa setiap pengeluaran pemerintah memerlukan sumber pembiayaan, dan dimasukkan analisa pilihan antar waktu (analysis of intertemporal choice), maka pengeluaran pemerintah secara rata-rata bersifat netral terhadap perekonomian. Artinya, kebijakan fiskal tidak efektif sebagai alat stabilisasi kegiatan ekonomi.

Ekspansi Fiskal dan Pengaruhnya

Hasil studi empiris yang meliputi 168 negara dengan periode data sepanjang 1970–1999 menunjukkan bahwa stimulus fiskal memang dapat memperpendek masa resesi. Namun hubungan tersebut tidak begitu kuat dan sangat tergantung kondisi awal anggaran pemerintah dan kondisi institusional ekonomi secara keseluruhan ketika stimulus fiskal dilakukan (Emanuele Baldacci, Marco Cangiano, Selma Mahfouz, and Axel Schimmelpfennig, 2001, “The Effectiveness of Fiscal Policy in Stimulating Economic Activity: An Empirical Investigation”).

Stimulus fiskal akan efektif bila perekonomian suatu negara relatif tertutup dari dunia internasional, tingkat pengangguran faktor produksi (input) tinggi, hutang pemerintah rendah, ekspansi fiskal dijalankan dengan meningkatkan anggaran (bukan pemotongan pajak), dan disertai ekspansi kebijakan moneter.

Sebaliknya, stimulus fiskal tidak akan berarti, bahkan bisa berdampak negatif, bila pemerintah mempunyai masalah hutang yang besar, defisit transaksi berjalan besar, ekspektasi sektor swasta memperbesar efek crowding-out, dan ekspansi fiskal menyebabkan ketidakpastian akan stabilitas ekonomi makro.

Mengingat pengangguran di Indonesia yang tinggi dan keperluan perbaikan infrastruktur yang besar, ekspansi fiskal akan sangat bermanfaat. Tapi, berhubung hutang pemerintah sangat tinggi (sekitar 90% PDB), suku bunga yang tinggi, perekonomian yang sangat terbuka, serta masih adanya ancaman ketidakstabilan nilai tukar dan inflasi, fiskal defisit sebagai stimulus ekonomi dapat berdampak negatif. Apalagi bila ekspansi fiskal sangat potensial meningkatkan ekspektasi krisis hutang pemerintah dan resiko serangan spekulasi.

Memang ekspansi pengeluaran dalam negri terbatas karena pemerintah memperbesar porsi pembayaran hutang, namun bisa saja RAPBN 2003 mempunyai efek positif bagi ekonomi. Efek positif ini terjadi karena percepatan pembayaran hutang pemerintah akan berdampak positif pada penurunan suku bunga dan meningkatkan kredibilitas program stabilisasi ekonomi makro.

Hubungan kebijakan fiskal dengan kegiatan ekonomi sangat kompleks, baik dari aspek komposisi APBN (penerimaan, pembiayaan defisit, dan pengeluaran); kondisi institusional ekonomi; serta efek anggaran pemerintah itu sendiri terhadap ekspektasi masyarakat. Tidak ada cara yang mudah untuk menyatakan dengan tegas dan pasti bahwa pertumbuhan ekonomi 5 persen di tahun 2003 terlalu optimis atau wajar hanya dengan melihat besaran data RAPBN 2003.

Spekulasi dan Rejim Nilai Tukar Mengambang



oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 26 Agustus 2002

Sudah lima tahun Bank Indonesia menerapkan rejim nilai tukar mengambang bebas, tepatnya pada 14 Agustus 1997. Sejak itu rupiah bergerak dari titik terkuat Rp 2.500/US$ sampai ke titik terlemah sekitar Rp 16.000 di pertengahan Juni 1998.

Meskipun sekarang sudah relatif stabil, berbagai pihak – seperti pengusaha, pembuat kebijakan, bahkan masyarakat awam – terus khawatir dengan pergerakan rupiah yang tidak menentu.

Dilain pihak, pengamat yang pro mekanisme pasar memandang penerapan rejim nilai tukar mengambang sebagai ‘alat kontrol’ bagi pembuat kebijakan moneter agar lebih berhati-hati dalam mengelola likuidiats perekonomian.

Fundamental atau Spekulasi

Pergerakan rupiah yang sangat tidak menentu menimbulkan pertanyaan; apakah pergerakan nilai tukar ditentukan oleh faktor ekonomi (faktor fundamental) atau sekedar sentimen pasar yang tergantung pada psikologis pedagang valuta asing (faktor spekulatif).

Dalam model moneter sederhana, faktor penentu nilai tukar adalah jumlah uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi, dan pertumbuhan riil ekonomi. Model moneter tersebut biasa digunakan untuk menganalisa apakah pergerakan nilai tukar didominasi oleh pergerakan faktor fundamental atau ditentukan oleh faktor spekulatif.

Tabel 1 merangkum variasi nilai tukar dan faktor fundamental ekonomi makro, berupa standar deviasi perubahan data variabel bersangkutan dari bulan ke bulan sebelumnya, sepanjang Januari 1992-Mei 2002.

Di masa krisis Agustus 1997-Desember 1999, variasi variabel ekonomi meningkat tajam dibandingkan era pra-krisis Januari 1992-Juni 1997. Peningkatan variasi nilai tukar sendiri ternyata jauh lebih besar dibandingkan peningkatan variasi faktor fundamental.

Periode Agustus 1997- Desember 1999 juga ditandai oleh perubahan kebijakan moneter yang drastis, dari kebijakan yang sangat longgar ke kebijakan yang ketat. Ternyata, pada saat itu korelasi antara variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar meningkat. Observasi ini sesuai dengan temuan studi komparatif bahwa korelasi variasi faktor fundamental dan variasi nilai tukar akan lebih kuat di negara yang sedang mengalami krisis dibandingkan dengan negara yang stabil.

Sejalan dengan berkurangnya variasi faktor fundemental (khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, yaitu jumlah uang beredar) di periode Januari 2000-Mei 2002, variasi nilai tukar juga berkurang. Yang perlu diperhatikan, meskipun variasi faktor fundamental sudah kembali seperti pada era pra-krisis, variasi nilai tukar tetap relatif besar (dan tidak kembali stabil seperti di era pra-krisis).

Dari eksplorasi diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan nilai tukar rupiah, selain ditentukan oleh perubahan fundamental ekonomi, juga dipengaruhi faktor spekulatif yang menjadi ciri khas pasar finansial (lihat, Robert P. Flood dan Andrew K. Rose, 1999, “Understanding Exchange Rate Volatility Without The Contriavance of Macroeconomics”, The Economic Journal, volume 109).

Alternatif Penjelasan

Salah satu teori yang mencoba menjelaskan mengapa fluktuasi nilai tukar jauh lebih besar daripada variasi faktor fundamental adalah teori ‘overshooting’ dari Rudiger Dornbusch (“Expectation and Exchange Rates Dynamics”, (1976)). Menggunakan prinsip ekspektasi rasional dan perbedaan fleksibilitas harga di pasar barang dengan pasar finansial, Dornbusch (1976) memperlihatkan bagaimana perubahan kecil kebijakan moneter dapat menyebabkan perubahan nilai tukar yang jauh lebih besar. Penjelasan overshooting ini sangat sesuai dengan perkembangan nilai tukar negara maju, seperti USA, Jerman, dan Jepang, di era 1970-an yang baru menerapkan rejim nilai tukar mengambang.

Dengan meningkatnya fluktuasi nilai tukar di era 1980-an dan 1990-an, teori overshooting Dornbusch pun akhirnya tidak dapat menjelaskan perkembangan variasi nilai tukar dengan memuaskan.

Flood dan Rose (1999) berpendapat bahwa spekulasi valuta asing juga tergantung pada rejim nilai tukar yang diterapkan. Rejim nilai tukar mengambang, dimana nilai tukar terus berubah, akan mendorong transaksi valuta asing yang lebih banyak. Jadi, struktur dan perkembangan pasar valuta asing bersifat endogenous terhadap rejim nilai tukar yang dipilih.

Bila kesalahan perkiraan nilai tukar yang dilakukan spekulan bersifat random dan tidak berkorelasi satu sama lain, maka kesalahan itu akan saling meniadakan sehingga besaran nilai transaksi valuta asing tidak mempengaruhi variasi nilai tukar. Tapi para spekulan sering melakukan kesalahan perkiraan nilai tukar bersama-sama secara sistematis, khususnya dalam jangka pendek. Kesalahan spekulan itu membuat nilai tukar sangat tidak stabil dan terlepas dari perkembangan faktor fundamental.

Terkait dengan dimensi waktu, variasi nilai tukar jangka pendek tidak dapat dijelaskan oleh variasi faktor fundamental. Satu teori yang menjelaskan besarnya variasi nilai tukar jangka pendek adalah teori gelembung spekulasi rasional (speculative rational bubbles theory, selanjutnya GSR).

Dalam GSR, harga suatu komoditas (= valuta asing) dapat terus naik/turun di setiap periode karena pelaku pasar mempunyai ekspektasi bahwa harga akan terus naik/turun. Setiap pelaku pasar mengetahui bahwa harga telah bergerak jauh dari nilai wajarnya berdasarkan faktor fundamental, namun mereka juga tahu bahwa mereka akan merugi bila mencoba melawan tren harga sendirian. Akibatnya, harga yang terealisasi di pasar bukan berdasarkan faktor fundamental, tetapi merupakan hasil realisasi ekspektasi pelaku pasar (self-confirming market expectation).

Kondisi dalam GRS ini terjadi karena pelaku pasar valuta asing memperkirakan nilai tukar dengan ekstrapolasi tren jangka pendek, misalnya menggunakan analisa teknikal atau grafik (technical analysis atau ‘chartist’), dan mengabaikan faktor fundamental.

Orientasi spekulasi jangka pendek ini sejalan dengan berkembangnya pasar mata uang setelah penerapan rejim nilai tukar bebas oleh negara-negara maju di tahun 1973. Survei majalah Euromoney, Agustus 1990, menemukan pergeseran metode peramalan nilai tukar dari analisa fundamental diganti dengan analisa teknikal. Di tahun 1978, 19 dari 23 perusahaan yang disurvei menyatakan mereka menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, dan hanya 3 perusahaan yang mengandalkan analisa teknikal. Pada tahun 1988, hanya 7 dari 31 perusahaan yang disurvei menggunakan analisa faktor fundamental untuk meramal nilai tukar, sedangkan 18 perusahaan mengandalkan analisa teknikal.

Survei Allen dan Taylor (1990) terhadap lebih 300 pedagang valuta asing London di tahun 1988 menunjukkan betapa dominannya analisa teknikal untuk spekulasi jangka pendek. Untuk transaksi dengan jangka waktu satu hari sampai seminggu, 90 persen responden mengakui menggunakan input analisa teknikal, dan 60 persen responden memandang analisa teknikal paling tidak sama pentingnya dengan analisa faktor fundemental. Ketika rentang waktu peramalan semakin panjang, yaitu antara satu bulan sampai satu tahun, bobot yang diberikan untuk faktor fundamental semakin besar. Untuk jangka waktu peramalan diatas satu tahun, 30 persen responden menyatakan hanya mengandalkan faktor fundemental, sedangkan 85 persen menyatakan bahwa faktor fundemental jauh lebih penting daripada analisa teknikal.

Implikasi Kebijakan

Apa yang seharusnya Bank Indonesia lakukan untuk meredam variasi nilai tukar rupiah? Bila pemerintah mempunyai kredibilitas, maka pemerintah dapat menerapkan rejim nilai tukar tetap. Tapi, rejim nilai tukar tetap yang tidak kredibel hanya melahirkan kejutan besar secara periodik berupa perubahan nilai tukar drastis, atau devaluasi, seperti yang terjadi di tahun 1978, 1983, 1986, dan 1997. Pilihan lain adalah menerapkan kontrol arus modal, khususnya arus modal jangka pendek yang sarat unsur spekulasi. Masalahnya, dengan pemerintahan yang tidak transparan dan penuh korupsi, kontrol arus modal tidak dapat dijalankan dengan efektif.

Lebih baik Bank Indonesia menerima kenyataan bahwa pergerakan nilai tukar dalam rejim nilai tukar bebas lebih banyak ditentukan oleh spekulasi. Intervensi Bank Indonesia di pasar valuta asing sendiri sangat terbatas efektifitasnya. Jadi, Bank Indonesia sebaiknya memilih target kebijakan moneter yang relatif bisa dikendalikan, yaitu inflasi. Upaya Bank Indonesia meminimisasi variasi nilai tukar hanya dapat dilakukan dalam jangka panjang dengan meminimisasi variasi jumlah uang beredar.

Perkembangan Ilmu Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 19 Agustus 2002

Sejarah Singkat Ekonomi Makro

Istilah formal ekonomi makro (macroeconomics) diperkenalkan pada 1945, ada yang menulisnya macro-economic, ada juga yang menulisnya macroeconomics. Subyek utama ilmu ekonomi makro sendiri, yaitu pertumbuhan ekonomi, bahasan klasik sejak jaman Adam Smith (1723-1790), Thomas Malthus (1766-1834), dan David Ricardo (1772-1823).

Pada awalnya, studi ekonomi makro lebih dikenal sebagai studi Teori Moneter (Monetary Theory) dan Teori Siklus Bisnis (Business CycleTheory). Teori Moneter bersumber pada studi "teori kuantitas uang" yang menjelaskan hubungan sebab-akibat antara perubahan uang beredar dan perubahan output serta tingkat harga umum (inflasi). Perdebatannya mempertanyakan: apakah perubahan jumlah uang beredar yang menyebabkan perubahan output dan tingkat harga, atau sebaliknya, perubahan output dan tingkat harga yang menyebabkan perubahan jumlah uang beredar.

Teori Siklus Bisnis mempelajari fluktuasi ekonomi dari hasil interaksi faktor riil (seperti kekayaan alam, cuaca, dan perkembangan teknologi), ekspektasi, dan jumlah uang beredar. Ketika iklim usaha kondunsif, kegiatan ekonomi akan meningkat yang ditandai oleh peningkatan investasi dan output; yang kemudian dapat saja secara tiba-tiba ekspektasi pengusaha berubah sehingga perekonomian menjadi lesu dan mengalami resesi atau krisis.

Kedua teori tersebut saling melengkapi dan melahirkan konsep teori ekonomi makro. Di periode 1920-1940-an, Keynes meletakkan fondasi sistematis analisa ekonomi makro, khususnya dalam buku The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936). Aliran ekonomi yang berkembang berdasarkan pemikiran Keynes dikenal sebagai Keynesian. Sejak itu, terjadi berbagai proses perdebatan yang melahirkan berbagai aliran ekonomi makro seperti: Monetarist (1950-1960), Rational Expectation (1970-an), New Keynesians dan New Classical(1980-an).

Era 1990-an: Menuju Kesatuan Pendapat

Meskipun sejarah ekonomi makro selalu diwarnai perbedaan pendapat, periode 1990-an ditandai oleh beberapa konsensus pemikiran ekonomi makro. Konsensus ini sendiri memiliki manfaat praktis bagi pengelolaan kebijakan stabilisasi ekonomi makro.

Pada 1997, lima tokoh ternama dalam ilmu ekonomi makro merumuskan prinsip-prinsip utama ilmu ekonomi makro yang bisa diterima oleh berbagai aliran utama ekonomi makro (lihat kumpulan makalah dalam seksi Is There A Core of Practical Macroeconomics That We Should All Believe?, American Economic Review, Vol 87 (2), May 1997, hal. 230-246). Berikut rangkuman beberapa konsensus ekonomi makro tersebut.

Pertama, dalam jangka panjang ekonomi akan tumbuh mengikuti pertumbuhan alamiah faktor produksi, seperti: peningkatan akumulasi barang modal per tenaga kerja, perbaikan teknologi produksi, dan perubahan institusi. Pertumbuhan output tersebut merupakan tren jangka panjang yang dikenal juga sebagai output potensial.

Konsensus kedua menyatakan: fluktuasi output di sekitar tren output potensial sebagian besar disebabkan oleh perubahan permintaan agregat (aggregate demand/AD). Perubahan AD ini bersumber dari perubahan pengeluaran konsumsi, investasi, perubahan ekspektasi, dan interaksi diantara semua unsur tersebut. Faktor penentu AD ini dapat dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal, sebagai dua perangkat kebijakan stabilisasi ekonomi makro. Proses fluktuasi output jangka pendek disekitar tren output potensial juga mencerminkan proses penyesuaian akibat sistem ekonomi mengalami "guncangan" (shock) yang berkelanjutan.

Ketiga, kebijakan stabilisasi makro hanya mempengaruhi output dalam jangka pendek, dan dalam jangka panjang kebijakan stabilisasi makro bersifat netral terhadap ekonomi. Pengaruh jangka pendek ini disebabkan oleh adanya kekakuan/ketegaran (stickiness/rigidities) dalam ekonomi, baik yang bersifat nominal, riil, maupun institusional. Konsensus ketiga ini sebenarnya kembali menegaskan konsensus pertama yang menyatakan bahwa output jangka panjang tumbuh mengikuti tren output potensial, namun dilihat dari aspek penerapan kebijakan stabilisasi makro.

Terkait dengan kebijakan stabilisasi makro, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi output dan inflasi, kebijakan moneter mempunyai fleksibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Ini terkait dengan faktor institusional, dimana perubahan kebijakan fiskal memerlukan waktu yang lebih lama dan juga selang waktu penerapan yang lebih panjang dibandingkan dengan perubahan/penerapan kebijakan moneter.

Kedua, dalam perumusan dan penerapan kebijakan stabilisasi ekonomi makro, pembuat kebijakan sebaiknya berpegang pada 'aturan' daripada 'bebas memilih' (rules rather than discretion). Maksudnya, ada kerangka kebijakan stabilisasi makro yang menjadi panduan dasar bagi pembuat kebijakan dalam upaya mencapai target kebijakannya, seperti output dan inflasi. Dua prinsip kebijakan stabilisasi ekonomi makro ini merupakan konsensus yang keempat.

Akhirnya, meskipun diakui bahwa kekakuan/ketegaran sektor riil mempunyai kontribusi pada inflasi dalam periode tertentu, inflasi yang berkelanjutan dalam jangka panjang selalu disebabkan oleh faktor moneter (persistent inflation is always a monetary phenomenon). Sehingga untuk memerangi inflasi diperlukan disiplin fiskal (yaitu dengan tidak membiayai defisit fiskal melalui pencetakan uang) dan disiplin moneter.

Pelajaran Bagi Indonesia

Dalam polemik kebijakan stabilisasi ekonomi makro di Indonesia, masih terdapat kepercayaan bahwa pemerintah, selain mampu menstabilkan harga, juga dapat menaikkan output dan menurunkan pengangguran secara bersamaan. Pemerintah bahkan dianggap dapat menaikkan tingkat output dan menurunkan pengangguran dalam jangka panjang sekalipun.

Namun pengalaman negara maju yang melahirkan konsensus makro di atas menyanggah kepercayaan bahwa kebijakan makro dapat menaikkan ouput dan menurunkan pengangguran dalam jangka panjang.

Pengalaman Indonesia sendiri juga menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dan moneter bersifat netral terhadap output potensial. Misalnya, ekspansi moneter di era pemerintahan Soekarno tidak membawa output yang lebih tinggi, bahkan menyebabkan inflasi yang ratusan persen per tahun. Contoh lain, meskipun di awal 1990-an ekspansi moneter membuat perekonomian Indonesia tumbuh sangat tinggi, segera pemerintah harus meredam ekspansi moneter yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan output nasional. Jadi, secara rata-rata kebijakan moneter dalam jangka panjang tidak dapat mempengaruhi output nasional.

Pengalaman paska krisis 1998 sendiri menunjukkan bahwa fluktuasi sektor moneter ternyata tidak diikuti fluktuasi sektor riil. Setelah output kembali menjadi positif pada 1999, selanjutnya output diperkirakan tumbuh rata-rata 3persen per tahun dan inflasi sekitar 10 persen per tahun.

Dapat diduga bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung membaik sekarang ini bukan dikarenakan kurangnya stimulus fiskal atau moneter, tapi lebih dikarenakan tidak adanya reformasi sektor riil yang berarti.

Indonesia sebaiknya belajar dari pengalaman Jepang di era 1990-an. Tanpa reformasi sektor riil, stimulus fiskal dan talangan sektor keuangan yang bernilai sekitar US$ 1 trilyun tidak membuat ekonomi Jepang tumbuh. Ekspansi fiskal pemerintah Jepang terlihat dari peningkatan rasio pengeluaran pemerintah Jepang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dari 30 persen pada 1990 menjadi 37 persen pada 2001.

Sejalan dengan ekspansi fiskal, utang pemerintah Jepang naik dari 65 persen PDB pada 1990, menjadi 135 persen PDB pada 2001. Celakanya, indikator sektor riil Jepang hanya menunjukkan pertumbuhan rata-rata sekitar 0,4 persen per tahun sepanjang 1990-2001, dengan tren pengangguran meningkat dan mencapai 5 persen di tahun 2001.

Dengan kondisi fiskal Indonesia yang masih terbebani utang pemerintah sekitar Rp 1.300 trilyun (sekitar 90 persen PDB), maka stimulus fiskal tanpa disertai reformasi sektor riil, dapat dipastikan tidak akan berarti banyak bagi pertumbuhan ekonomi.

Pembuat kebijakan ekonomi Indonesia harus belajar dari konsensus ekonomi makro di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam jangka panjang bersumber dari perkembangan alamiah sektor riil seperti inovasi teknologi produksi dan perubahan institusi. Kebijakan makro, fiskal dan moneter, hanya lah penyelesaian jangka pendek yang tidak ada manfaatnya tanpa reformasi sektor riil.

Fungsi APBN: Stabilisasi atau Pemerataan

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 28 Oktober 2001

Dalam buku ekonomi makro, kebijakan fiskal - bersama kebijakan moneter - merupakan instrumen stabilisasi ekonomi. Namun di negara sedang berkembang (NSB), seperti Indonesia, kebijakan fiskal lebih sering menjadi sumber ketidakstabilan ekonomi. Ini terjadi karena pemerintah dibebani tugas untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal yang defisit. Pemerintah di NSB cenderung membiayai defisit fiskal dengan mencetak uang yang mempunyai dampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Dari aspek ekonomi publik, kebijakan fiskal berfungsi sebagai instrumen alokasi sumber daya ekonomi untuk memperbaiki distribusi pendapatan dan kekayaan antar kelompok masyarakat dan antar wilayah.

Sejak krisis terjadi, kedua fungsi kebijakan fiskal tersebut tidak berjalan. Pembebanan biaya talangan perbankan telah mengampuntasi fungsi stabilisasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Pengurangan subsidi untuk berbagai komoditas yang dikonsumsi masyarakat luas dan di lain pihak besarnya subsidi untuk restrukturisasi perbankan, malah menyebabkan redistribusi sumber daya ekonomi dari kelompok masayarakat ke kelompok elit konglomerat.

Stabilisasi vs Pemerataan

Kebijakan fiskal, yaitu APBN, di Indonesia dibuat untuk periode satu tahun. Untuk mengubah APBN dalam periode berjalan, diperlukan persetujuan berbagai pihak, di antaranya Departemen Keuangan dan DPR. Informasi mengenai realisasi APBN sendiri hanya tersedia dalam periode 6 bulanan dan dengan rentang waktu yang cukup lama, minimal 3 bulan. Hambatan institusional tersebut menyebabkan APBN tidak memiliki fleksibilitas untuk digunakan sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro jangka pendek (kurang dari satu tahun).

Ini tidak berarti peran APBN dalam stabilisasi ekonomi makro hilang sama sekali. APBN sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro masih berperan memuluskan (smoothing) siklus ekonomi jangka menengah-panjang, khususnya untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui investasi infrastruktur. APBN yang berimbang, juga meningkatkan fleksibilitas kebijakan moneter sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro utama dalam jangka pendek.

Menurut penulis, pemerintahan Megawati lebih baik menfokuskan kebijakan fiskal untuk pemerataan pembangunan, baik antar daerah maupun antar kelompok masyarakat.

Meningkatkan Efektifitas Pengeluaran APBN

Mengingat keterbatasan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan dalam negeri (apalagi dalam jangka pendek) dan sulitnya pembiayaan defisit anggaran, efektifitas setiap pos pengeluaran harus ditingkatkan. Meskipun secara keseluruhan subsidi berkurang, harus dengan baik dipertimbangkan subsidi sektor apa yang dikurangi dan subsidi sektor mana yang tetap harus ditingkatkan.

Pengurangan subsidi untuk komoditas tertentu, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), mungkin dapat dibenarkan karena sebagian besar konsumen langsung BBM adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Lebih-lebih mengingat rendahnya harga BBM di Indonesia telah mendorong penyeludupan BBM ke luar negri.

Untuk meringankan beban masyarakat berpendapatan rendah, pemerintah mengganti subsidi umum BBM dengan penargetan subsidi pada sektor transportasi publik dan listrik rumah tangga kecil. Penargetan subsidi juga harus dilakukan pada berbagai sektor publik yang menyangkut masyarakat kelas bawah, seperti pengadaan sarana air bersih dan sanitasi umum.

Masalahnya, penargetan subsidi sulit dilaksanakan karena kelompok masyarakat yang menjadi target tidak selalu tersegmentasi dengan jelas serta tingginya potensi penyelewengan dana subsidi. Penyelewengan dana subsidi yang ditargetkan kepada rakyat berpendapatan rendah terjadi, misalnya, dalam kasus pendistribusian beras OPK dari program Jaring Pengaman Sosial. Namun, penargetan subsidi tetap menjadi pilihan yang lebih baik bila total biayanya memang lebih rendah daripada total biaya subsidi secara umum.

Pengeluaran untuk investasi publik (public capital spending) dan pengeluaran sosial (social spending) tidak boleh dikurangi. Bila pengeluaran investasi menurun, tidak hanya bersifat kontraktif di masa sekarang, juga dapat menurunkan pertumbuhan potensi ekonomi di masa mendatang. Bahkan penurunan investasi publik dapat mengurangi tabungan nasional di masa depan, bila penurunan pengeluaran untuk investasi infrastruktur - seperti jalan, jembatan, dan listrik - menimbulkan hambatan investasi dari sektor swasta.

Perhatikan bahwa pengeluaran sosial seperti pendidikan dan kesehatan, meskipun secara konvensional dicatat sebagai pengeluaran konsumsi pemerintah, sebenarnya merupakan investasi jangka panjang di bidang sumber daya manusia (SDM). Karena itu keputusan pemerintahan Megawati untuk meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial menunjukkan reorientasi pengeluaran yang sangat positif.

Aspek pemerataan dan keadilan sosial pengeluaran kedua sektor tersebut bisa ditingkatkan bila dana yang tersedia diarahkan untuk pengadaan jenis pendidikan dan kesehatan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah. Di sektor pendidikan, upaya pemerataan dilakukan dengan memprioritaskan pelaksanaan program Wajib Belajar 9 tahun. Berbagai studi dari World Bank (misalnya The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy , 1993) menunjukkan bahwa nilai pengembalian sosial investasi ( social return of investment ) pendidikan dasar/menengah lebih tinggi daripada investasi pendidikan tinggi. Studi yang sama juga menemukan bahwa negara yang memprioritaskan pendidikan dasar/menengah sebagai strategi utama pengembangan SDM-nya mengalami perbaikan distribusi pendapatan. Kedua penemuan ini sesuai fakta bahwa pendidikan dasar dan menengah dinikmati oleh semua kelompok masyarakat, bukan seperti pendidikan tinggi yang relatif hanya dinikmati oleh kelompok kelas menengah keatas. Sedangkan di sektor kesehatan, subsidi sebaiknya difokuskan untuk pengadaan sarana kesehatan untuk rakyat kecil seperti Puskesmas dan pengadaan obat generik.

Hapuskan 'Subsidi' Untuk Konglomerat

Pengurangan subsidi - yang kembali akan meningkatkan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) di tahun 2002 - memang berlawanan dengan prinsip keadilan sosial, bila mengingat pengurangan subsidi terjadi karena pengeluaran pemerintah 'tersedot' untuk membiayai program talangan sektor perbankan. Dan penerima dana talangan perbankan adalah konglomerat yang kaya raya. Para konglomerat tersebut menerima 'subsidi terselubung' seperti: potongan hutang dan bunganya, subsidi kurs murah untuk melunasi hutang dalam mata uang asing, dan penyuntikan dana segar murah berupa rekapitalisasi bank.

Contohnya, empat bank peserta rekapitalisasi, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia Tbk., PT Bank Central Asia Tbk., dan PT Bank Danamon Tbk., merupakan kelompok bank peraih laba tertinggi pada semester I/2001. Namun sebagian besar laba tersebut bersumber dari pendapatan bunga obligasi rekapitalisasi. Biaya bunga obligasi rekapitalisasi ini berasal dari APBN, yang berarti seluruh rakyatlah yang menanggung biaya bunga tersebut. Jadi kebijakan tersebut merupakan transfer sumber daya ekonomi dari seluruh rakyat kepada kelompok kepentingan tertentu, yaitu konglomerat, yang dekat dengan kekuasaan.

Inilah tantangan terberat bagi pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan kabinet Gotong Royong-nya. Pemerintah harus bisa mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pemerataan hasil pembangunan, bukan sebagai alat transfer sumber daya ekonomi dari masyarakat ke konglomerat. Pemerintahan Megawati harus memprioritaskan kepentingan rakyat, dan mengurangi "subsidi terselubung" buat para parasit yang bersembunyi di balik bank peserta program rekapitalisasi.

Sistem Nilai Tukar dan Stabilisasi Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 9 Oktober 2001

Rupiah tidak kunjung stabil dan kembali menembus Rp 10.000 per US$. Menneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie sempat menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan sistem nilai tukar tetap (Bisnis Indonesia, 27/09/2001). Meskipun sempat muncul suara pro dan kontra, perdebatan yang terjadi tidak sehebat ketika usulan penerapan Dewan Mata Uang (currency board system) muncul di awal 1998.

Perdebatan Panjang

Polemik mengenai sistem nilai tukar sudah berlangsung lama. Milton Friedman dalam “The Case for Flexible Exchange Rates” (1953) menganjurkan agar setiap negara menganut sistem nilai tukar bebas dan meningkatkan disiplin kebijakan makro (fiskal dan moneter) guna mencapai stabilitas ekonomi domestik, yaitu stabilitas harga dan pertumbuhan output. Stabilitas ekonomi domestik diharapkan akan menghasilkan stabilitas ekonomi eksternal, yaitu nilai tukar dan keseimbangan neraca pembayaran.

Di era 1960-an, Robert Mundell (peraih Nobel Ekonomi 1999) menganalisa kompleksitas kebijakan stabilisasi makro di perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Kesimpulan analisa Mundell ini dikenal dengan diktum “Impossible Trinity” yang menyatakan bahwa sebuah negara tidak dapat memiliki tiga kondisi berikut secara bersamaan: (1) nilai tukar tetap, atau stabilitas kurs; (2) keterbukaan arus modal, atau sistem devisa bebas; dan (3) independensi kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas ekonomi domestik. Salah satu kondisi tersebut harus rela dilepas dari kontrol pemerintah sebagai pembuat kebijakan makro.

Contoh konkrit masa sekarang misalnya: Cina dan India menerapkan kontrol devisa yang sangat ketat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan memiliki independensi kebijakan moneter. Dilain pihak, Argentina mengadopsi rejim dewan mata uang yang menjamin sistem devisa bebas dan nilai tukar tetap, namun harus dibayar dengan hilangnya kebijakan moneter. Sedangkan negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang, menganut sistem devisa bebas dan independensi moneter dengan melepas kontrol atas nilai tukarnya.

Menariknya, kontroversi sistem nilai tukar dan stabilisasi ekonomi makro itu terjadi dimasa berlakunya sistem nilai tukar tetap Bretton Woods dengan IMF sebagai pengawasnya.

Di akhir 1960-an, terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran antar negara yang sangat besar, sehingga US tidak mampu lagi menanggung beban stabilisasi ekonomi internasional. Pada tahun 1973 secara resmi nilai tukar tetap di tinggalkan dan negara maju umumnya mengadopsi nilai tukar mengambang.

Setelah sistem nilai tukar mengambang diterapkan sekitar 15 tahun, Arthur J. Rolnick dan Warren E. Weber memperlihatkan bahwa: variasi ekonomi domestik – yaitu inflasi dan output – tetap tinggi, ketidakseimbangan perdagangan internasional meningkat, sedangkan nilai tukar semakin berfluktuasi. Maka Rolnick dan Weber mengusulkan agar setiap negara melakukan koordinasi kebijakan makro untuk memungkinkan penerapan kembali sistem nilai tukar tetap (“A Case for Fixing Exchange Rate”, dalam Federal Reserve Bank of Minneapolis 1989 Annual Report).

Setelah 25 tahun, bukti empiris dalam kumpulan makalah konferensi nilai tukar di jurnal ternama ‘The Economic Journal’, vol. 109 (November 1999), menguatkan penemuan dari studi Rolnick dan Weber. Penelitian tersebut menemukan bahwa faktor spekulasi lebih dominan dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Namun, di negara yang sedang krisis atau tidak memiliki disiplin kebijakan makro, faktor kebijakan makro tetap mempunyai peran yang besar dalam menentukan pergerakan nilai tukar.

Sistem Nilai Tukar dan Program Stabilisasi

Ketika sebuah negara mengalami krisis, baik karena kesalahan kebijakan makro atau serangan spekulasi, ada dua metode stabilisasi yang bisa dilaksanakan; yaitu stabilisasi berdasarkan nilai tukar tetap (exchange-rate based stabilization, EBS) atau stabilisasi berdasarkan kontrol penawaran uang (money-based stabilization, MBS).

Pada EBS, setelah nilai tukar terdepresiasi, ditetapkan nilai tukar baru yang dianggap wajar. Pemerintah selanjutnya harus melaksanakan kebijakan makro yang menjamin stabilitas harga domestik sejalan dengan perkembangan harga di negara yang menjadi patokan nilai tukar, misalnya Amerika. Bila pemerintah tidak memiliki disiplin kebijakan makro, akan terjadi ketidakseimbangan ekonomi makro baru yang terlihat pada kenaikan inflasi, defisit neraca pembayaran berkelanjutan, dan kehilangan cadangan devisa. Akhirnya patokan nilai tukar harus dirubah dengan devaluasi dan biasanya disertai/disusul dengan serangan spekulasi yang hebat. Krisis baru pun terjadi.

EBS memang tidak menjamin bahwa suatu negara terhindar dari krisis. Misalnya di tahun 1994-95, Argentina terimbas oleh serangan spekulasi di Meksiko sehingga terjadi pelarian arus modal dan krisis perbankan. Meskipun nilai tukar Argentina bisa dipertahankan, krisis likuiditas telah menyebabkan kontraksi output sebesar 4,4 persen dan pengangguran naik menjadi 18,5 persen.
Dalam metode MBS, program stabilisasi menekankan disiplin pengendalian jumlah uang beredar. Defisit fiskal harus dikurangi untuk mencegah pembiayaan defisit anggaran dengan mencetak uang atau ekspansi moneter. Nilai tukar dibiarkan mengambang dan diharapkan mencapai ‘nilai wajar’ yang sesuai dengan keseimbangan perdagangan internasional. Dengan tercapainya stabilitas internal, diharapkan nilai tukar secara otomatis akan stabil.

Ekonom ternama yang berpengalaman dalam berbagai program stabilisasi IMF di Amerika Latin atau ekonomi transisi – seperti Rudiger Dornbusch, Guillermo Calvo, Arnold Harberger, dan Jeffrey Sach – mengakui bahwa EBS menghasilkan stabilitas ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan MBS. Biaya metode stabilisasi EBS, berupa kontraksi output dan pengangguran, juga lebih kecil daripada biaya stabilisasi metode MBS. (Lihat: Rudiger Dornbusch, 1993, “Stabilization, Debt, and Reform”)

Meskipun terdapat perbedaan nyata antara kedua metode program stabilisasi diatas, kedua-duanya menuntut perbaikan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Bila pemerintah tidak disiplin dalam melaksanakan kebijakan makro, dapat dipastikan program stabilisasi akan gagal. Kedua program stabilisasi juga harus disertai program restrukturisasi sektor riil untuk menjamin peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dalam metode MBS, kegagalan program stabilisasi ditandai oleh ketidakstabilan nilai tukar. Setiap kelebihan likuiditas dalam perekonomian akibat ekspansi moneter, segera akan ditandai oleh serangan spekulasi pada nilai tukar. Semakin tidak menentu perkembangan nilai tukar, maka program retrukturisasi tidak dapat dijalankan. Karena perekonomian tidak kunjung stabil dan restrukturisasi tidak berjalan, output tidak tumbuh sesuai potensi ekonomi yang ada.

Berbeda dengan MBS, dalam EBS tidak terdapat indikator yang dengan segera dapat dipantau oleh pelaku pasar bila komitmen pemerintah menjalankan program stabilisasi berkurang. Akibatnya langkah koreksi yang diperlukan tidak diambil. Selain itu, keberhasilan jangka pendek metode EBS sering menyebabkan pemerintah tidak bersedia melanjutkan program restrukturisasi jangka panjang sektor riil guna menjamin stabilitas ekonomi jangka panjang.

Disiplin Kebijakan Makro dan Restrukturisasi Sektor Riil

Dari ulasan mengenai sistem nilai tukar dan metode stabilisasi diatas ada pesan yang sangat relevan dengan perkembangan ekonomi Indonesia pada saat ini. Pilihan sistem nilai tukar ternyata tidak akan membawa stabilitas ekonomi bila tidak didukung aspek institusi ekonomi lain yang diperlukan, seperti sistem finansial yang kuat. Demikianlah pengelaman krisis di Argentina di tahun 1995. Dilain pihak, penerapan sistem nilai tukar bebas akan menimbulkan biaya yang sangat besar bila para pelaku ekonomi belum siap dengan sistem mekanisme pasar dan masih tergantung pada bantuan/perlindungan pemerintah dalam menjalankan usahanya.

Yang pasti, kedua sistem nilai tukar dan program stabilisasi mensyaratkan hal yang yang sama agar bisa bertahan, yaitu disiplin kebijakan makro dan restrukturisasi sektor riil. Ini lah yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah Indonesia. Apakah pemerintah dapat memenuhi berbagai target fiskal yang telah ditetapkan, seperti besaran defisit, penerimaan pajak, dan alokasi pengeluaran yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Apakah otoritas moneter telah menjalankan kebijakan moneter sesuai yang ditetapkan untuk memenuhi target inflasi satu digit? Sejauh mana pula komitmen pemerintah menjalankan program restrukturisasi sektor riil, termasuk restrukturisasi sektor finansial dan hutang ?

Perdebatan mengenai sistem nilai tukar dapat terus dilanjutkan. Sementara itu yang terpenting pemerintah tetap menjalankan program stabilisasi makro dan restrukturisasi sektor riil. Barulah kita bisa berharap bahwa rupiah bisa menguat; bukan sekedar mendekati Rp 8000 per US$, mungkin bisa lebih kuat dari nilai tukar di masa pemerintahan BJ Habibie yang sempat mencapai Rp 6700 per US$.