Jumat, 12 September 2008

Menunggu Lahirnya Undang-undang Keuangan Mikro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Republika, 15 Januari 2004

Dalam komunitas keuangan mikro internasional, Indonesia dikenal sebagai ‘laboratorium’ keuangan mikro terbesar di dunia. Hal ini dikaitkan dengan jumlah lembaga, variasi, penetrasi, dan juga contoh-contoh keberhasilan. Seperti diungkapkan Shari Berenbach (1997): “In terms of scale, variety, and volume of microfinance financial institutions, market penetration, and profitability, the microfinancial services market in Indonesia is the most developed in the world.

Meskipun sektor keuangan mikro Indonesia sangat berhasil, Indonesia tidak memiliki peraturan khusus mengenai keuangan mikro. Di Indonesia, peraturan yang terkait dengan keuangan mikro adalah Undang-undang Perbankan (UU Perbankan) yang mengakui keberadaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Undang-undang Koperasi (UU Koperasi) yang mengakui Koperasi/Unit Simpan Pinjam (KSP/USP).

Keberhasilan sektor keuangan mikro di Indonesia dalam kevakuman peraturan khusus mengenai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) non-bank dan non-koperasi, mempunyai tiga interpretasi. Pertama, keberhasilan itu dimungkinkan karena minimnya peraturan, sehingga LKM dapat begerak lebih leluasa. Interpretasi kedua sebaliknya, ketiadaan peraturan itu menghambat pertumbuhan LKM karena seringkali LKM diberikan citra negatif sebagai ‘bank gelap’. Jadi, peraturan sektor keuangan mikro, khususnya terkait LKM, potensial meningkatkan sukses LKM di Indonesia. Interpretasi ketiga bersifat netral, yaitu peraturan yang ada, UU Perbankan dan UU Koperasi, sudah cukup mengakomodir keberadaan LKM.

Studi Sumantoro Martowijoyo (2001) menunjukkan bahwa penerapan UU Perbankan dan UU Koperasi cenderung menghasilkan dua ekstrim sektor keuangan mikro yang terdiri dari sektor perbankan (BRI Unit Desa dan BPR) dan koperasi. UU Perbankan sendiri sebenarnya memarjinalisasi LKM seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK), Badan Kredit Desa (BKD), dan Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), karena dianggap belum memenuhi syarat menjadi BPR. Di sisi lain UU Koperasi hanya memberi peluang kepada koperasi dan berbagai program kredit dari pemerintah.

Pemerintah juga selalu memberikan stempel negatif pada LKM. Misalnya publikasi BPS tentang “Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum” (2002), mengklasifikasikan kredit union sekelompok dengan rentenir. Penjelasan klasifikasi kredit union/rentenir adalah: “Seseorang atau kelompok orang yang berusaha di bidang pemberian kredit pinjaman yang tidak berbadan hukum, dengan mengenakan tingkat bunga yang tinggi dibandingkan bank”. Sebaliknya, dalam buku yang sama, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dicitrakan sebagai lembaga ‘resmi’ yang belum terdaftar pada Dinas/Departemen Koperasi.

Konotasi negatif terhadap kredit union (CU) yang disamakan dengan rentenir ini tidak selalu terbukti di lapangan, seperti keberhasilan Koperasi Kredit (= Credit Union) di Kalimantan Barat. Dari 38 CU yang bernaung dalam Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D, yaitu asosiasi independen CU) Kalimantan Barat, tercatat 8 CU yang sudah memiliki aset diatas Rp 3 miliar. Total aset ke delapan CU tersebut sekitar Rp 112 miliar dengan jumlah anggota sekitar 48 ribu orang (Juni 2003).

CU yang terbesar adalah Pancur Kasih, dengan jumlah anggota lebih dari 17 ribu dan aset sekitar Rp 43 miliar. Kinerja CU Pancur Kasih sendiri sudah melebihi koperasi yang biasanya dikonotasikan sebagai lembaga kecil yang tertinggal. Prestasi CU Pancur Kasih bahkan mengalahkan kinerja BPR yang bagus, baik dalam hal aset, keuntungan, maupun tingkat suku bunga.

Pandangan negatif lain terhadap LKM terlihat pada laporan media massa, seperti ‘Koperasi Sering Dijadikan Kedok LKM” (Kompas, 14 Februari 2002). Judul dan isi tulisan tersebut merujuk pada penipuan dan kegagalan “Koperasi Simpan Pinjam” (Kospin) yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 1998 dan 2000.

Timbul pertanyaan, mengapa ketika sebuah lembaga keuangan berbadan hukum koperasi mengalami kegagalan, disebut menjadi LKM atau ‘bank gelap’. Dilain pihak, sebuah LKM seperti CU -- yang tidak berbadan hukum koperasi -- ketika berhasil dinyatakan sebagai ‘koperasi’.

Dari aspek legalitas LKM, dapat diperkirakan bahwa LKM yang baik dan ingin berkembang lebih lanjut dapat terganjal akibat kevakuman peraturan. Tanpa legalitas, LKM juga sulit untuk melakukan kerjasama formal dengan lembaga-lembaga keuangan besar seperti bank, modal ventura, maupun investor swasta lain. Disinilah aspek strategis peraturan operasional LKM. Keberadaan peraturan bagi LKM tentunya bukan sekedar alat kontrol bagi pemerintah, tapi lebih untuk mengakui keberadaannya, serta memfasilitasi dan mendorong LKM agar dapat berkembang.

Sayang, proses pembuatan Rancangan Undang-undang Keuangan Mikro (RUU KM) sendiri mengindikasikan LKM adalah ‘anak haram’ sektor keuangan Indonesia. Tidak ada instansi pemerintah yang sepertinya mau mengakui keberadaan LKM secara formal dengan dibuatkan peraturan dan dilakukan pengawasan. Banyak komponen pemerintah yang belum dapat menerima LKM sebagai bagian masyarakat Indonesia yang telah berperan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Hal ini khususnya terkesan dari persepsi pejabat pemerintah terhadap LKM sebagai ‘bank gelap’.

Tersendat-sendatnya proses pembahasan RUU KM diantara instansi pemerintah terkait juga mencerminkan kurangnya perhatian pada LKM. Setiap upaya mendorong penyelesaian pembuatan RUU KM selalu terhadang berbagai isu yang dianggap lebih penting. Misalnya, dipertanyakan posisi LKM dalam konteks rencana pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga pembuatan RUU KM diharuskan menunggu kejelasan posisi OJK. Namun tak berapa lama muncul klarifikasi bahwa LKM tidak termasuk dalam ruang lingkup OJK (Bisnis Indonesia, 21 Juli 2003).

Sampai sekarang RUU KM sendiri tetap tidak mengalami kemajuan karena berbagai instansi terkait lebih memprioritaskan pada wacana perbaikan UU Perbankan dan UU Koperasi. Padahal, operasional LKM yang menargetkan penduduk paling miskin dan usaha mikro yang tidak mempunyai kolateral, tidak cocok berada di bawah pengaturan UU Perbankan, mengingat sifat UU tersebut yang sangat ketat dan kaku. Sedangkan UU Koperasi lebih memprioritaskan pengaturan keanggotaan koperasi, sehingga dirasa kurang fleksibel bagi konsumen LKM yang biasanya tidak harus menjadi anggota terlebih dahulu ketika meminjam ke LKM.

Draf RUU KM sendiri sepertinya cenderung melihat LKM sebagai lembaga yang harus mikro. Ini tercermin dalam pasal yang membatasi operasional LKM berdasarkan besaran dana simpanan yang dihimpun. Pasal yang dimaksud menyatakan bahwa LKM yang menghimpun dana simpanan lebih dari Rp 1 miliar harus mengubah bentuk usahanya menjadi BPR atau koperasi. Juga ada pembatasan kepemilikan/investor, dimana hanya warga negara Indonesia atau pemerintah yang boleh mendirikan dan memiliki LKM.

Lebih setahun lalu, Presiden Megawati menyatakan bahwa RUU KM memerlukan masukan dari masyarakat sebelum dibahas oleh DPR (Bisnis Indonesia, 22 Agustus 2002). Sayangnya, nasib RUU tersebut sampai sekarang belum jelas. Di lain pihak pemerintah berulangkali menyatakan komitmennya untuk mendorong peningkatan kredit mikro. Seharusnya komitmen tersebut diikuti dengan keseriusan dalam mempersiapkan infrastrukturnya, seperti RUU KM ini.

Pemerintah sepertinya gamang, di satu sisi sering memberikan cap negatif pada LKM dan lamban dalam merespon pentingnya legalitas LKM, namun dilain pihak pemerintah terus-menerus membuat berbagai program kredit mikro dengan menggunakan dana miliaran bahkan triliunan rupiah (Bisnis Indonesia, 15 November 2003). Tidakkah lebih baik dan lebih murah bagi pemerintah cukup dengan mendorong pertumbuhan LKM atas inisiatif swasta dan lembaga swadaya masyarakat?

Tidak ada komentar: