Jumat, 12 September 2008

Menelaah Permasalahan Dibalik Tingginya Bunga Kredit BPR

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, 18 & 19 Juli 2003


Baru-baru ini Menko Kesra Jusuf Kalla membatalkan program kerja sama penyaluran dana bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) – dikenal sebagai linkage program – karena bunga kredit yang ditetapkan beberapa BPR sangat tinggi, yaitu 48 persen per tahun (Kompas, Kamis, 26 Juni 2003). Menko Kesra berpendapat bahwa bunga kredit BPR yang “sangat tinggi” tersebut tidak adil dan “memeras” rakyat kecil.

Di lain pihak, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, yang terkenal selalu membela rakyat kecil, menganggap bunga kredit BPR yang sampai 40 persen “sangat wajar”.

Catatan berikut ingin memberikan gambaran mengapa bunga kredit BPR tinggi, namun merupakan hal yang wajar dalam praktek keuangan mikro.

***

Sebagaimana lembaga keuangan lain, sebuah BPR menetapkan bunga kredit untuk dapat bertahan (sustainable) dalam jangka panjang sehingga dapat terus menyediakan jasanya kepada nasabah yang umumnya pengusaha mikro dan kecil (UMK). Dalam menetapkan bunga, BPR juga mempertimbangkan persaingan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) lain, seperti BRI Unit Desa dan koperasi.

Bunga kredit sendiri ditentukan oleh beberapa komponen, yaitu: biaya dana, biaya administrasi kredit, biaya kredit macet, dan penyisihan untuk peningkatan modal usaha.

Agar dapat memberikan kredit, BPR harus melakukan mobilisasi dana dari publik. Untuk itu BPR membayar balas jasa berupa bunga, atau biaya dana. Karena kepercayaan masyarakat kepada BPR masih rendah, maka BPR harus membayar bunga simpanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Komersial Umum (BKU). Sebuah BPR umumnya membayar bunga simpanan sekitar 17–20 persen per tahun, mencapai dua kali lipat bunga deposito di BKU yang sekitar 8–10 persen.

Proporsi biaya administrasi kredit – seperti biaya gaji pegawai, sewa bangunan/peralatan, dan biaya listrik/air – terhadap nilai kredit mikro juga sangat besar. Sebagai gambaran, katakanlah biaya administrasi adalah Rp 50 ribu per kredit. Maka rasio biaya administrasi terhadap nilai kredit sebesar Rp 100 juta hanya sebesar 0,05 persen, namun untuk kredit mikro sebesar Rp 1 juta biaya tersebut menjadi 5 persen.

Studi The MicroBanking Bulletin (November 2001) terhadap 148 LKM dengan kinerja bagus di berbagai negara, memperlihatkan betapa tingginya biaya administrasi kredit mikro. Rata-rata rasio biaya administrasi terhadap portofolio kredit untuk wilayah Asia, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika masing-masingnya adalah 19, 20, 23, dan 38 persen.

Rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BPR sendiri berkisar antara 10–20 persen. Rasio yang sama untuk BRI Unit Desa, sebagai bank yang sangat efisien di sektor keuangan mikro, adalah sebesar 13 persen di tahun 1999.

Bandingkan dengan rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BKU yang hanya sekitar 5 persen.

Biaya operasional LKM sangat tinggi terutama dikarenakan satuan nilai kredit sangat kecil, umumnya dibawah Rp 10 juta, dan sekala usaha juga umumnya masih kecil. Biaya operasional lembaga keuangan memang terkait erat dengan besarnya nilai kredit dan sekala usahanya. Semakin besar nilai kredit dan volume usaha, semakin kecil proporsi biaya operasional terhadap kredit (lihat: “The Microfinance Industry: Does it Measure up?” dalam Microenterprise Development Review, Vol. II (1), Agustus 1999).

Hanya di komponen kredit bermasalah (non performing loan, NPL) BPR mempunyai keunggulan dibandingkan BKU. Pada akhir tahun 2002, NPL seluruh BPR sekitar 6 persen.

Akhirnya, anggap lah pihak BPR mencoba mengakumulasi keuntungan untuk memperbesar modal usaha sekitar 0-5 persen.

Dari keempat komponen bunga kredit tersebut kita dapat memperkirakan besaran bunga kredit BPR. Untuk BPR yang sangat bagus, maka total bunga kreditnya adalah 35 persen (Misalnya: biaya dana 17%, biaya operasional 10%, biaya kredit macet 6%, dan akumulasi modal 2%). Sedangkan untuk BPR yang kinerjanya kurang bagus, bunga kredit bisa mencapai 50 persen (Misalnya: biaya dana 20%, biaya operasional 20%, biaya kredit macet 10%, dan akumulasi modal 0%).

Dari gambaran sederhana diatas, jelaslah bahwa BPR yang menetapkan bunga kredit yang ‘sangat tinggi’ bukan semata-mata karena ingin memperoleh keuntungan besar dengan mengeksploitasi rakyat kecil. Tetapi memang ada masalah struktural dalam penyaluran kredit mikro sehingga bunga yang ditetapkan menjadi tinggi.

Memang ada beberapa BPR yang bermasalah dalam menjalankan operasinya. Disinilah peran lembaga pengawas (Bank Indonesia), pemerintah, dan lembaga donor internasional (World Bank, Asian Development Bank), untuk membuat kebijakan dan memberikan bantuan teknis guna mendorong perbaikan kinerja LKM seperti BPR.

***

Indonesia dengan berbagai LKM seperti BRI Unit Desa dan BPR, terkenal sebagai tempat contoh LKM terbaik di kalangan praktisi dan pengamat keuangan mikro internasional.

LKM yang baik tersebut pernah (dan banyak yang masih) menetapkan bunga kredit yang menurut kriteria Menko Kesra Jusuf Kalla “sangat tinggi”, yaitu sekitar 30–70 persen. BRI Unit Desa pada awal komersialisasinya di pertengahan tahun 1980-an mengenakan bunga kredit (efektif) sekitar 40 persen. Baru di era 1990-an BRI Unit Desa dapat menurunkan bunga kreditnya mendekati 30 persen atau lebih rendah.

Seandainya pemerintah mengikuti saran Menko Kesra untuk menutup LKM yang mengenakan bunga kredit lebih dari 30 persen dan kebijakan itu diterapkan di tahun 1980-an, kita tidak akan memiliki BRI Unit Desa saat ini. Kita tidak akan memiliki sebuah bank yang tahan terhadap krisis moneter, mempunyai NPL yang rendah, dan tetap menghasilkan laba meskipun tanpa bantuan pemerintah.

Bagi UMK, akses kredit alternatif selain BPR adalah kredit program pemerintah dan pelepas uang. Keduanya adalah sumber kredit yang tidak terjamin aliran dananya atau mahal.

Dana kredit program sangat terbatas. Dan bunga rendah yang diumumkan sifatnya semu berhubung biaya pengurusannya sangat tinggi karena penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pelepas uang mengenakan bunga kredit yang jauh lebih tinggi dari BPR, yaitu sekitar 10 persen per bulan.

Jadi membatalkan penyaluran dana dari BKU ke BPR yang menetapkan bunga kredit yang lebih dari 30 persen tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menambah masalah bagi banyak BPR dan juga UMK.

Untuk memperbaiki akses kredit bagi UMK, yang harus dilakukan adalah kerjasama semua pihak terkait dengan LKM, yaitu pemilik dan pengelola LKM, BI, departemen teknis pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga donor, untuk mendorong perbaikan kinerja LKM, seperti BPR.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang meningkatkan persaingan di sektor keuangan mikro sehingga LKM akan menurunkan bunga kredit akibat tekanan persaingan. Pemerintah juga bekerja sama dengan LSM dan lembaga donor untuk memberikan bantuan teknis kepada LKM sehingga biaya operasional dan kredit macet dapat diturunkan.

LKM sendiri harus didorong lebih transparan, sehingga BKU, investor, dan masyarakat semakin percaya pada BPR. Bila publik semakin percaya pada BPR, maka BPR dapat memperoleh dana dengan biaya bunga yang lebih rendah dari 18 persen.

Kebijakan dan program dukungan positif, bukan permusuhan, bagi LKM yang akan memperbaiki kinerja LKM seperti BPR dan meningkatkan akses kredit bagi UMK.

1 komentar:

Amisha mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.