Jumat, 12 September 2008

Bank Indonesia: Independen Tanpa Akuntabilitas

oleh Siswa Rizali*
versi bahasa Inggris tulisan ini dimuat di Indonesian Business Online, 12 Mei 2003.

Proses pemilihan gubernur baru Bank Indonesia (BI) mengingatkan kita akan posisi penting bank sentral yang independen (central bank independence) dalam menyetabilkan kondisi moneter. Sayangnya, pembahasan independensi bank sentral di Indonesia telah menyempit hanya mengenai posisi gubernur dan deputi gubernur bank sentral.

Konsep Independensi

Konsep independensi bank sentral bukan hanya mengenai posisi gubernur atau dewan deputi gubernur bank sentral, yang dikenal sebagai independensi personel (personal independence). Independensi bank sentral juga mencakup aspek operasional, yaitu independensi finansial (financial independence) dan independensi kebijakan (policy independence).

Sebuah bank sentral dikatakan independen secara finansial bila pemerintah tidak punya kemampuan (dilarang) untuk membiayai pengeluarannya (defisit anggaran) dengan menggunakan kredit dari bank sentral. Bank sentral yang independen dalam kebijakan moneter harus terlepas dari pengaruh pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Aspek ini terbagi dua: independensi tujuan (objectives independence) dan independensi instrumen (instruments independence).

Bila bank sentral punya kebebasan menentukan tujuan kebijakan moneter dan menetapkan nilai tergetnya, maka bank sentral tersebut secara total independen dalam aspek tujuan kebijakan moneter. Bank sentral yang independen dalam aspek instrumen mempunyai kebebasan menggunakan instrumen moneter yang ada – seperti operasi pasar terbuka, suku bunga diskonto, dan giro wajib minimum (reserve rquirement) – untuk mencapai tujuan kebijakan moneter seperti stabilitas harga dan nilai tukar.

Yang Esensial

Dari berbagai aspek independensi bank sentral yang ada, independensi finansial dan independensi instrumen merupakan dua aspek yang sangat esensial untuk memperbaiki stabilitas moneter. Independensi finansial sangat penting bagi stabilitas moneter karena di negara berkembang, seperti Indonesia, pemerintahnya cenderung membiayai defisit anggaran dengan mencetak uang.

Selanjutnya, agar bank sentral yang independen secara finansial dapat mencapai target kebijakannnya, maka harus diberi kebebasan kepada bank sentral dalam menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dari aspek tujuan kebijakan, tidak ada alasan yang jelas dan kuat mengapa badan eksekutif dan legislatif harus membiarkan bank sentral dapat menentukan tujuan dan besaran target kebijakannya secara independen. Tujuan kebijakan moneter, seperti inflasi dan nilai tukar, adalah bagian integral dari aspek pembangunan ekonomi. Karena itu, formulasi tujuan dan besaran kebijakan moneter harus mempertimbangkan aspek pembangunan ekonomi lain, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.

Tetapi, sekali target tingkat harga dan nilai tukar sudah ditetapkan oleh pemerintah bersama BI, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada BI untuk mencapai target tersebut menggunakan instrumen yang dimilikinya. Kerangka kebijakan seperti ini mengkombinasikan antara target kebijakan moneter yang jelas dengan independensi instrumen. Konsep ini diterapkan oleh bank sentral yang punya kredibilitas tinggi seperti Reserve Bank di Selandia Baru (lihat: Carl E Walsh, “Accountability in Practice: Recent Monetary Policy in New Zealand”, FRBSF Economic Letter no. 96-25, September 1996). Reformasi bank sentral Selandia Baru sendiri merupakan contoh keberhasilan reformasi bank sentral independen bagi negara-negara lain, bahkan bagi negara maju dengan bank sentral yang kredibel.

Pengalaman Indonesia

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, kegagalan kebijakan moneter Indonesia terutama disebabkan oleh dominasi anggaran pemerintah terhadap kebijakan moneter. Jadi BI tidak independen secara finansial dari operasional anggaran pemerintah.

Di tahun 1950-an dan 1960-an, Soekarno melakukan ekspansi pengeluaran yang jauh melebihi kapasitas penerimaan pemerintah. Kemudian BI dipaksa membiayai defisit anggaran yang terjadi dengan mencetak uang. Ekspansi moneter yang berlebihan menyebabkan inflasi melonjak melebihi 100 persen per tahun selama periode 1962-1967, dengan tingkat inflasi tertinggi sekitar 600 persen terjadi di tahun 1965 - 1966.

Belajar dari kesalahan Seokarno, Soeharto melaksanakan stabilisasi ekonomi dengan menerapkan target anggaran ketat, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “anggaran yang berimbang”. Prinsip “anggaran yang berimbang” tersebut menjadi fondasi bagi proses operasional BI yang relatif independen secara finansial dari pengaruh operasional anggaran pemerintah selama era Soeharto sampai tahun 1997.

Sayangnya, pada tahun 1998 kesalahan yang mirip seperti di masa Soekarno kembali terulang, yaitu ketika Soeharto memerintahkan BI memberikan bantuan likuiditas kepada lembaga keuangan yang tidak solven milik konglomerat yang menjadi kroninya. Hal ini telah melanggar prinsip independensi finansial bank sentral yang bersumber dari prinisip “anggaran yang berimbang”.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa bank sentral yang tidak memiliki otonomi dalam aspek finansial akan menyebabkan bencana ketidakstabilan moneter. Pengalaman diatas juga memperlihatkan bagaimana independensi finansial bank sentral dapat tercipta tanpa ada jaminan eksplisit dari undang-undang (UU) bank sentral.

Dengan adanya UU Nomor 23 tahun 1999 mengenai BI, independensi bank sentral dijamin secara eksplisit dengan hukum positif.

Sayangnya, sejak implementasi UU 23/1999, BI lebih sering gagal mencapai target kebijakan moneter, yaitu: inflasi dan nilai tukar, dan target antara kebijakan moneter, yaitu: pertumbuhan uang beredar. Di tahun 2000 dan 2001, realisasi inflasi, pertumbuhan uang beredar, dan nilai tukar memang jauh diatas target yang ditetapkan.

Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat, meminta pertanggungjawaban gubernur dan deputi gubernur BI atas kegagalan mereka mencapai target kebijakan tersebut. Tapi, seperti yang kita ketahui bersama, DPR tidak pernah dengan serius menyelidiki kegagalan BI tersebut.

Bahkan DPR pada saat itu memihak gubernur BI yang kebetulan sedang bertikai dengan mantan Presiden Wahid. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah DPR dengan sengaja mempertahankan dan melindungi gubernur yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk melemahkan posisi presiden?

Penulis ingin menekankan bahwa bank sentral bukan hanya harus independen dari badan eksekutif, tetapi juga dari semua kepentingan politik. Bank sentral yang independen juga harus dilindungi dari intervensi kekuatan legislatif seperti DPR atau kepentingan politik lainnya. Bank sentral bukan lah alat politik, bank sentral adalah instrumen ekonomi untuk menjamin stabilitas moneter bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Baru ditahun 2002 BI dapat memenuhi target inflasi dan pertumbuhan uang beredar, sedangkan target nilai tukar baru tercapai di tahun 2003.

Akuntabilitas dan Amandemen UU 23/1999 BI

Komponen yang hilang dalam UU 23/1999 tentang BI adalah aspek akuntabilitas (accountability). Bank sentral harus mempertangungjawabkan segala tindakan dan kinerjanya dalam mencapai target moneter yang telah ditetapkan. Prinsip akuntabilitas memungkinkan bank sentral diawasi dan diperiksa segala tindakannya oleh masyarakat.

Dalam masyarakat yang demokratis, masyarakat yang memilih pejabat publik, melalui perwakilannya di parlemen, berhak mengenakan sanksi kepada pembuat kebijakan yang tidak kompeten. Hanya dengan menegaskan dalam undang-undang bahwa pembuat kebijakan akan ‘dihukum’ bila kinerjanya jelek, maka pembuat kebijakan akan berusaha keras untuk membuat kebijakan yang terbaik.

Di US, Dewan Gubernur dari Federal Reserve Board diawasi oleh konggres. Di Selandia Baru, akuntabilitas gubernur bank sentral dibuat dalam hukum tertulis yang menyatakan bahwa gubernur dapat kehilangan independensinya, bahkan dipecat, bila gagal mencapai target kebijakan (Walsh, 1996).

Di Indonesia, akuntabilitas BI hanya sebatas transparansi laporan perkembangan moneter. Sedangkan DPR, yang mewakili rakyat dan seharusnya memeriksa kinerja BI, tidak lebih daripada sekumpulan orang-orang yang berkolusi untuk memaksimumkan keuntungan pribadi dengan mengabaikan kepentingan publik.

Akibatnya BI menjadi lembaga independen yang tidak mempunyai akuntabilitas: seburuk apa pun kinerja BI, para pejabat BI dapat tenang dan terus menerima fasilitas dari publik.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa independensi bank sentral tanpa akuntabilitas tidak akan memperbaiki, bila bukan berbahaya bagi, stabilitas moneter.

Untuk memperbaiki kinerja BI dalam menciptakan stabilitas moneter, bukan saja diperlukan seorang gubernur BI yang bermoral, tapi juga perlu dilakukan amandemen UU 23/1999 tentang BI. Dalam UU mengenai BI yang baru nanti, perlu ditegaskan aspek akuntabilitas dan indikator-indikator moneter untuk mengevaluasi kinerja BI.

Tidak ada komentar: