Rabu, 06 Agustus 2008

Sistem Nilai Tukar dan Stabilisasi Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, Selasa, 9 Oktober 2001

Rupiah tidak kunjung stabil dan kembali menembus Rp 10.000 per US$. Menneg Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie sempat menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan sistem nilai tukar tetap (Bisnis Indonesia, 27/09/2001). Meskipun sempat muncul suara pro dan kontra, perdebatan yang terjadi tidak sehebat ketika usulan penerapan Dewan Mata Uang (currency board system) muncul di awal 1998.

Perdebatan Panjang

Polemik mengenai sistem nilai tukar sudah berlangsung lama. Milton Friedman dalam “The Case for Flexible Exchange Rates” (1953) menganjurkan agar setiap negara menganut sistem nilai tukar bebas dan meningkatkan disiplin kebijakan makro (fiskal dan moneter) guna mencapai stabilitas ekonomi domestik, yaitu stabilitas harga dan pertumbuhan output. Stabilitas ekonomi domestik diharapkan akan menghasilkan stabilitas ekonomi eksternal, yaitu nilai tukar dan keseimbangan neraca pembayaran.

Di era 1960-an, Robert Mundell (peraih Nobel Ekonomi 1999) menganalisa kompleksitas kebijakan stabilisasi makro di perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar tetap dan mengambang. Kesimpulan analisa Mundell ini dikenal dengan diktum “Impossible Trinity” yang menyatakan bahwa sebuah negara tidak dapat memiliki tiga kondisi berikut secara bersamaan: (1) nilai tukar tetap, atau stabilitas kurs; (2) keterbukaan arus modal, atau sistem devisa bebas; dan (3) independensi kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas ekonomi domestik. Salah satu kondisi tersebut harus rela dilepas dari kontrol pemerintah sebagai pembuat kebijakan makro.

Contoh konkrit masa sekarang misalnya: Cina dan India menerapkan kontrol devisa yang sangat ketat untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan memiliki independensi kebijakan moneter. Dilain pihak, Argentina mengadopsi rejim dewan mata uang yang menjamin sistem devisa bebas dan nilai tukar tetap, namun harus dibayar dengan hilangnya kebijakan moneter. Sedangkan negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Jepang, menganut sistem devisa bebas dan independensi moneter dengan melepas kontrol atas nilai tukarnya.

Menariknya, kontroversi sistem nilai tukar dan stabilisasi ekonomi makro itu terjadi dimasa berlakunya sistem nilai tukar tetap Bretton Woods dengan IMF sebagai pengawasnya.

Di akhir 1960-an, terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran antar negara yang sangat besar, sehingga US tidak mampu lagi menanggung beban stabilisasi ekonomi internasional. Pada tahun 1973 secara resmi nilai tukar tetap di tinggalkan dan negara maju umumnya mengadopsi nilai tukar mengambang.

Setelah sistem nilai tukar mengambang diterapkan sekitar 15 tahun, Arthur J. Rolnick dan Warren E. Weber memperlihatkan bahwa: variasi ekonomi domestik – yaitu inflasi dan output – tetap tinggi, ketidakseimbangan perdagangan internasional meningkat, sedangkan nilai tukar semakin berfluktuasi. Maka Rolnick dan Weber mengusulkan agar setiap negara melakukan koordinasi kebijakan makro untuk memungkinkan penerapan kembali sistem nilai tukar tetap (“A Case for Fixing Exchange Rate”, dalam Federal Reserve Bank of Minneapolis 1989 Annual Report).

Setelah 25 tahun, bukti empiris dalam kumpulan makalah konferensi nilai tukar di jurnal ternama ‘The Economic Journal’, vol. 109 (November 1999), menguatkan penemuan dari studi Rolnick dan Weber. Penelitian tersebut menemukan bahwa faktor spekulasi lebih dominan dalam menentukan pergerakan nilai tukar. Namun, di negara yang sedang krisis atau tidak memiliki disiplin kebijakan makro, faktor kebijakan makro tetap mempunyai peran yang besar dalam menentukan pergerakan nilai tukar.

Sistem Nilai Tukar dan Program Stabilisasi

Ketika sebuah negara mengalami krisis, baik karena kesalahan kebijakan makro atau serangan spekulasi, ada dua metode stabilisasi yang bisa dilaksanakan; yaitu stabilisasi berdasarkan nilai tukar tetap (exchange-rate based stabilization, EBS) atau stabilisasi berdasarkan kontrol penawaran uang (money-based stabilization, MBS).

Pada EBS, setelah nilai tukar terdepresiasi, ditetapkan nilai tukar baru yang dianggap wajar. Pemerintah selanjutnya harus melaksanakan kebijakan makro yang menjamin stabilitas harga domestik sejalan dengan perkembangan harga di negara yang menjadi patokan nilai tukar, misalnya Amerika. Bila pemerintah tidak memiliki disiplin kebijakan makro, akan terjadi ketidakseimbangan ekonomi makro baru yang terlihat pada kenaikan inflasi, defisit neraca pembayaran berkelanjutan, dan kehilangan cadangan devisa. Akhirnya patokan nilai tukar harus dirubah dengan devaluasi dan biasanya disertai/disusul dengan serangan spekulasi yang hebat. Krisis baru pun terjadi.

EBS memang tidak menjamin bahwa suatu negara terhindar dari krisis. Misalnya di tahun 1994-95, Argentina terimbas oleh serangan spekulasi di Meksiko sehingga terjadi pelarian arus modal dan krisis perbankan. Meskipun nilai tukar Argentina bisa dipertahankan, krisis likuiditas telah menyebabkan kontraksi output sebesar 4,4 persen dan pengangguran naik menjadi 18,5 persen.
Dalam metode MBS, program stabilisasi menekankan disiplin pengendalian jumlah uang beredar. Defisit fiskal harus dikurangi untuk mencegah pembiayaan defisit anggaran dengan mencetak uang atau ekspansi moneter. Nilai tukar dibiarkan mengambang dan diharapkan mencapai ‘nilai wajar’ yang sesuai dengan keseimbangan perdagangan internasional. Dengan tercapainya stabilitas internal, diharapkan nilai tukar secara otomatis akan stabil.

Ekonom ternama yang berpengalaman dalam berbagai program stabilisasi IMF di Amerika Latin atau ekonomi transisi – seperti Rudiger Dornbusch, Guillermo Calvo, Arnold Harberger, dan Jeffrey Sach – mengakui bahwa EBS menghasilkan stabilitas ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan MBS. Biaya metode stabilisasi EBS, berupa kontraksi output dan pengangguran, juga lebih kecil daripada biaya stabilisasi metode MBS. (Lihat: Rudiger Dornbusch, 1993, “Stabilization, Debt, and Reform”)

Meskipun terdapat perbedaan nyata antara kedua metode program stabilisasi diatas, kedua-duanya menuntut perbaikan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro. Bila pemerintah tidak disiplin dalam melaksanakan kebijakan makro, dapat dipastikan program stabilisasi akan gagal. Kedua program stabilisasi juga harus disertai program restrukturisasi sektor riil untuk menjamin peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Dalam metode MBS, kegagalan program stabilisasi ditandai oleh ketidakstabilan nilai tukar. Setiap kelebihan likuiditas dalam perekonomian akibat ekspansi moneter, segera akan ditandai oleh serangan spekulasi pada nilai tukar. Semakin tidak menentu perkembangan nilai tukar, maka program retrukturisasi tidak dapat dijalankan. Karena perekonomian tidak kunjung stabil dan restrukturisasi tidak berjalan, output tidak tumbuh sesuai potensi ekonomi yang ada.

Berbeda dengan MBS, dalam EBS tidak terdapat indikator yang dengan segera dapat dipantau oleh pelaku pasar bila komitmen pemerintah menjalankan program stabilisasi berkurang. Akibatnya langkah koreksi yang diperlukan tidak diambil. Selain itu, keberhasilan jangka pendek metode EBS sering menyebabkan pemerintah tidak bersedia melanjutkan program restrukturisasi jangka panjang sektor riil guna menjamin stabilitas ekonomi jangka panjang.

Disiplin Kebijakan Makro dan Restrukturisasi Sektor Riil

Dari ulasan mengenai sistem nilai tukar dan metode stabilisasi diatas ada pesan yang sangat relevan dengan perkembangan ekonomi Indonesia pada saat ini. Pilihan sistem nilai tukar ternyata tidak akan membawa stabilitas ekonomi bila tidak didukung aspek institusi ekonomi lain yang diperlukan, seperti sistem finansial yang kuat. Demikianlah pengelaman krisis di Argentina di tahun 1995. Dilain pihak, penerapan sistem nilai tukar bebas akan menimbulkan biaya yang sangat besar bila para pelaku ekonomi belum siap dengan sistem mekanisme pasar dan masih tergantung pada bantuan/perlindungan pemerintah dalam menjalankan usahanya.

Yang pasti, kedua sistem nilai tukar dan program stabilisasi mensyaratkan hal yang yang sama agar bisa bertahan, yaitu disiplin kebijakan makro dan restrukturisasi sektor riil. Ini lah yang menjadi tantangan utama bagi pemerintah Indonesia. Apakah pemerintah dapat memenuhi berbagai target fiskal yang telah ditetapkan, seperti besaran defisit, penerimaan pajak, dan alokasi pengeluaran yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Apakah otoritas moneter telah menjalankan kebijakan moneter sesuai yang ditetapkan untuk memenuhi target inflasi satu digit? Sejauh mana pula komitmen pemerintah menjalankan program restrukturisasi sektor riil, termasuk restrukturisasi sektor finansial dan hutang ?

Perdebatan mengenai sistem nilai tukar dapat terus dilanjutkan. Sementara itu yang terpenting pemerintah tetap menjalankan program stabilisasi makro dan restrukturisasi sektor riil. Barulah kita bisa berharap bahwa rupiah bisa menguat; bukan sekedar mendekati Rp 8000 per US$, mungkin bisa lebih kuat dari nilai tukar di masa pemerintahan BJ Habibie yang sempat mencapai Rp 6700 per US$.

Tidak ada komentar: