Minggu, 03 Agustus 2008

Kebijakan Moneter; Suku Bunga dan Uang

oleh Siswa Rizali
dipublikasi di Koran Tempo, 3 September 2001

Pembahasan mengenai kebijakan moneter di Indonesia selalu terfokus pada pergerakan suku bunga SBI. Bila suku bunga SBI naik, maka dipersepsikan sebagai indikasi penerapan kebijakan uang ketat (tight monetary policy); sebaliknya bila suku bunga SBI turun dianggap sebagai tanda kebijakan moneter yang ekspansif (loose monetary policy). Akhir-akhir ini, disamping suku bunga SBI, pembahasan mengenai target jumlah uang beredar, berupa uang primer (disimbolkan dengan M0), menjadi salah satu berita utama sektor moneter. Jumlah uang primer ini memang menjadi salah satu unsur utama target indikatif dalam penandatanganan Kesepakatan IMF dan Pemerintah yang baru saja dilakukan.
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia.

Klasifikasi Uang

Dalam pembahasan kebijakan moneter, terdapat berbagai jenis uang. Besaran uang diklasifikasikan berdasarkan fungsi uang sebagai alat pembayaran (medium of exchange) dan penyimpan nilai (store of value). Uang primer (M0) adalah kewajiban otoritas moneter yang terdiri atas uang kartal di masyarakat (yaitu uang kertas dan uang logam yang berlaku), cadangan bank komersial umum (BKU) di Bank Indonesia (BI) (terdiri atas kas dan giro BKU), serta giro swasta bukan bank (penduduk) pada BI. M0 juga dikenal sebagai monetary base atau high powered money, karena M0 adalah ‘bahan dasar’ untuk ‘penciptaan’ uang dalam arti yang lebih luas dan M0 sangat likuid. Dilihat dari sisi aktiva otoritas moneter, uang primer ini terdiri dari dua komponen yaitu Cadangan Devisa Bersih (Net Foreign Assets, NFA) dan Aktiva Domestik Bersih (Net Domestik Assets, NDA); M0 = NDA + NFA. Atau dalam bentuk pertumbuhan DM0 = DNDA + DNFA. Artinya, jumlah M0 dapat berubah bila aset BI berubah jumlahnya, baik karena pemberian kredit kepada publik (seperti kredit program pembangunan yang dikenal sebagai ‘Kredit Likuiditas Bank Indonesia’, KLBI), pemberian kredit kepada pemerintah, dan transaksi valuta asing. NDA adalah komponen M0 yang jumlahnya secara eksogenus dapat ditentukan oleh BI. Sebaliknya, komponen NFA jumlahnya ditentukan oleh berbagai faktor internal dan eksternal, seperti stabilitas ekonomi dan politik domestik serta perkembagan ekonomi global, yang sebagian besar di luar kontrol BI.

Menggunakan M0 yang ada, BKU ‘menciptakan’ berbagai jenis uang melalui proses penerimaan simpanan (tabungan dan deposito berjangka) dan pemberian pinjaman (atau kredit). Muncul lah jenis uang lain yang mencakup berbagai instrumen finansial dalam sistem BKU. Seperti: narrow money (disimbolkan M1) yaitu M0 ditambah rekening giro; broad money (M2) yaitu M1 ditambah tabungan rupiah, tabungan dalam valuta asing, dan deposito berjangka (Untuk penyederhanaan, difinisi tersebut hanya mencakup instrument finansial yang utama. Negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Jerman, juga mempunyai klasifikasi uang lain seperti M3 dan M4).

Kebijakan deregulasi finansial 1983 dan 1988 telah menyebabkan perubahan ciri-ciri instrumen finansial BKU dan pada saat bersamaan berbagai produk finansial baru diperkenalkan, sehingga klasifikasi uang diatas tidak dapat diterapkan secara kaku. Misalnya, tabungan pada awal 1980-an lebih merupakan alat penyimpan kekayaan dan likuiditasnya terbatas. Sedangkan ditahun 1990-an, dengan berkembangnya ATM dan Kartu Debit, tabungan bisa menjadi sarana pembayaran, dan bukan lagi sekedar alat penyimpan kekayaan.

Dalam proses pembuatan kebijakan moneter, hanya M0 yang secara langsung dapat dikontrol oleh BI. Karena itu BI menjadikan M0 sebagai target antara (intermediate target) utama kebijakan moneter. Sedangkan M1 dan M2 perkembangannya lebih ditentukan oleh permintaan masyarakat yang tidak bisa dikontrol oleh BI, sehingga kurang cocok untuk dijadikan target antara kebijakan moneter. Apalagi, seperti telah dijelaskan, perkembangan M1 dan M2 sangat dipengaruhi oleh inovasi sektor finansial yang juga diluar kontrol BI.


Interaksi Suku Bunga dan Uang Beredar

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, BI tidak bisa secara bersamaan mengendalikan suku bunga dan jumlah uang beredar. Bila BI ingin menjaga stabilits suku bunga, maka BI harus melepas kendalinya atas jumlah uang beredar. Sebaliknya, bila BI berkonsentrasi untuk mengendalikan jumlah uang beredar, maka BI harus melepas kontrolnya atas suku bunga. (Catatan: kompleksitas kebijakan moneter tentunya juga terkait dengan rejim nilai tukar dan keterbukaan perkiraan modal neraca pembayaran (capital account convertibility). Di kesempatan ini pembahasan difokuskan pada interaksi suku bunga dan jumlah uang beredar).

Grafik terlampir memperlihatkan perkembangan suku bunga SBI, diproksi dengan bunga SBI 28 hari, dan pertumbuhan M0 tahunan (rata-rata bergerak – moving average – 3 bulan) sejak tahun 1990.

Penerapan kebijakan uang ketat pada tahun 1990-1991, dilakukan dengan berbagai cara seperti pengurangan KLBI, percepatan transfer dana setoran pajak dari BKU ke BI, dan menaikkan suku bunga SBI. Pada saat itu bunga SBI naik secara agresif dari awal tahun 1990 sampai kuartal pertama 1991. Setelah terjadi kenaikan bunga SBI, pertumbuhan uang beredar mengalami perlambatan yang sangat drastis, dari sekitar 25% di akhir tahun 1990 menjadi sekitar 6% pada periode akhir 1991 – awal 1992. Yang harus ditekankan disini, pelaksanaan kebijakan uang ketat pada awalnya ditandai oleh kenaikan suku bunga SBI yang kemudian diikuti oleh penurunan jumlah uang beredar.

Pada masa itu pertumbuhan M0 terutama berasal dari peningkatan NFA, sejalan dengan meningkatnya arus modal masuk (capital inflows). Sedangkan NDA berkurang. Kontraksi komponen NDA dari M0 menunjukkan upaya BI yang serius dalam menerapkan kebijakan uang ketat guna menghindari ‘pemanasan’ ekonomi akibat banyaknya arus modal asing yang masuk ke Indonesia.

Berbeda dengan kenaikan suku bunga SBI pada awal tahun 1990-an, kenaikan suku bunga SBI di tahun 1998 terjadi menyusul pertumbuhan uang yang sangat tinggi pada bulan-bulan sebelumnya. Berhubung pada saat itu juga terjadi arus modal keluar (capital outflows), atau penurunan NFA, maka sumber pertumbuhan uang berasal dari peningkatan NDA. Peningkatan NDA tersebut sebagian besar berasal dari injeksi likuiditas BI untuk sektor BKU, atau BLBI, dan pembiayaan defisit anggaran pemerintah.

Jadi sepanjang tahun 1998, kenaikan suku bunga SBI lebih merupakan respon endogenus BI untuk mengantisipasi kenaikan inflasi akibat ekspansi M0. Dalam kondisi seperti ini, suku bunga SBI tidak bisa menjadi indikator kebijakan uang ketat, meskipun suku bunga SBI pada saat itu sempat hampir 3 kali lipat suku bunga SBI pada awal 1991. Sebaliknya, mengingat kenaikan NDA yang sangat pesat telah menyebabkan pertumbuhan M0 jauh lebih tinggi dan lebih cepat daripada kenaikan suku bunga SBI, kebijakan moneter pada saat itu malahan sangat ekspansif.

Baru setelah BI berhasil mengerem pertumbuhan BLBI sejak pertengahan 1999, dan mengendalikan NDA, pertumbuhan uang melambat. Keberhasilan pengendalian NDA membuka peluang untuk penurunan suku bunga SBI tanpa diikuti ekspansi M0.

Perbedaan interaksi suku bunga SBI dan pertumbuhan M0 pada tahun 1990-1991 dengan 1998 menunjukkan bahwa di negara yang bank sentralnya tidak memiliki disiplin dalam mengontrol komponen NDA dari M0-nya, suku bunga instrumen moneter (seperti SBI) merupakan indikator yang tidak akurat dari proses ekspansi atau kontraksi kebijakan moneter. Karena itu dapat dimaklumi bila IMF sangat kritis dalam menentukan pemenuhan target M0. Perkembangan terbaru di Indonesia kembali mengindikasikan bahwa BI terpaksa menaikkan suku bunga SBI karena meningkatnya ekpektasi inflasi akibat pertumbuhan uang yang melebihi target program stabilisasi moneter.

Tidak ada komentar: