Selasa, 05 Agustus 2008

Biaya Politis dan Sosial Talangan Sektor Perbankan

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Sinar Harapan, Jum'at, 7 September 2001

JAKARTA – Biaya restrukturisasi sektor perbankan Indonesia diperkirakan menghabiskan dana lebih dari Rp 600 triliun atau sekitar 55 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 1999. Bila dilihat dari kapasitas ekonomi, yang diukur dalam rasio PDB, biaya restrukturisasi perbankan Indonesia merupakan yang terbesar dalam sejarah krisis perbankan, melebihi biaya krisis perbankan yang terjadi di Argentina dan Chili di awal tahun 1980-an.

Biaya restrukturisasi tersebut sebenarnya merupakan talangan (bail-out) oleh pemerintah atas berbagai kewajiban sektor perbankan Indonesia.

Berhubung dana yang dikeluarkan untuk program talangan perbankan tersebut sangat besar, timbul pertanyaan siapa yang akan menanggungnya. Selama ini masyarakat cenderung berpendapat bahwa pemerintah lah yang harus bertanggung jawab atas terjadinya krisis perbankan. Persepsi ini timbul karena masyarakat melihat pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, selama ini mengabaikan aspek pengawasan dan penegakan aturan kehati-hatian perbankan. Jadi, pemerintah yang harus menanggung semua biaya talangan perbankan.

Pada awalnya program talangan perbankan Indonesia berasal dari penyuntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke perbankan yang bermasalah. BLBI merupakan pinjaman yang harus dilunasi oleh bank penerimanya. Setelah program restrukturisasi dijalankan, BLBI tersebut dikonversi menjadi talangan perbankan oleh pemerintah, berupa obligasi.

Pemerintah juga masih mengeluarkan dana untuk penyertaan modal baru dan biaya lain yang timbul dari program restrukturisasi perbankan, seperti biaya bunga obligasi. Sejak saat itu, semua biaya restrukturisasi atau talangan perbankan menjadi tanggungan anggaran pemerintah, yang dikenal sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Besarnya dana talangan perbankan tersebut mempunyai dampak negatif yang sangat besar pada posisi keseimbangan APBN. Sejak dilaksanakan program restrukturisasi perbankan di tahun 1998, APBN mengalami defisit. Bahkan defisit APBN membengkak pada tahun anggaran 2000 dan 2001 yang masing-masing mencapai 4,8 persen dan 3,7 persen PDB. Pembengkakan defisit APBN terjadi karena beban biaya talangan perbankan meningkat, dan dilain pihak hasil penerimaan pemerintah dari restrukturisasi aset perbankan bermasalah sangat minim.

Dampak negatif program talangan perbankan pada APBN mempunyai dimensi yang luas, yaitu berkurangnya kedaulatan ekonomi negara dan penurunan kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah.

Dari sisi pendapatan APBN, besarnya pengeluaran pemerintah untuk program restrukturisasi perbankan harus ditutupi dengan penerimaan pajak, non-pajak, dan pinjaman. Dari sisi pengeluaran APBN, harus dilakukan realokasi pengeluaran dengan penghematan atau mengurangi subsidi dan mengalihkannya untuk pembiayaan restrukturisasi perbankan.

Utang LN

Karena perekonomian masih lesu, prospek kenaikan penerimaan pajak dalam jangka pendek tidak bisa diharapkan dan sumber dana dalam negeri sangat terbatas. Maka pinjaman dari luar negerilah yang diandalkan pemerintah untuk menutupi kebutuhan dana program talangan perbankan. Implikasi dari penambahan pinjaman dari lembaga donor luar negri, seperti IMF, World Bank, dan CGI, adalah berkurangnya kedaulatan ekonomi negara. Urusan pengelolaan ekonomi Indonesia harus selalu dikonsultasikan ke lembaga donor internasional bersangkutan. Bila ada suatu kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan arahan lembaga donor, dapat dipastikan akan terjadi penundaan penyaluran pinjaman yang selanjutnya berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.

Memang sering kita dengar bahwa program talangan perbankan adalah upaya mempertahankan kedaulatan ekonomi nasional. Program talangan sektor perbankan selalu dipropagandakan sebagai upaya penyelamatan aset pengusaha nasional dari pencaplokan oleh pengusaha asing.

Sedangkan pengurangan berbagai subsidi, seperti BBM, pendidikan, dan kesehatan, adalah dampak negatif dari program talangan sektor perbankan yang mempunyai aspek sosial terbesar. Khususnya pengurangan subsidi pendidikan dan kesehatan yang mempunyai aspek pemerataan pembangunan, keadilan sosial, dan pengembangan sumber daya manusia. Pengurangan subsidi kebutuhan dasar masyarakat ini mencerminkan ketidakadilan alokasi pembebanan biaya program talangan sektor perbankan.

Namun pemerintah harus menggantikan subsidi umum BBM dengan pentargetan subsidi pada transportasi publik atau listrik rumah tangga kecil, sehingga aspek efektifitas pemerataan APBN mengalami perbaikan. Pentargetan subsidi juga harus dilakukan pada berbagai sektor publik yang menyangkut masyarakat kelas bawah, seperti pengadaan sarana air bersih dan sanitasi umum.

Kembali harus dipertanyakan, mengapa harus rakyat yang menanggung semua biaya tersebut? Mengapa pemerintah mengenyampingkan aspek pemerataan dan keadilan-sosial dalam pembebanan biaya restrukturisasi perbankan? Dan yang paling tragis: mengapa para pemilik bank yang menerima ‘subsidi terselubung’ berupa program restrukturisasi perbankan, sedangkan kesejahteraan rakyat kecil diabaikan?

Instrumen Pemerataan

Selain sebagai instrumen stabilisasi ekonomi makro, APBN juga berfungsi sebagai instrumen pemerataan hasil pembangunan. Sayangnya, program talangan perbankan menyebabkan aspek pemerataan hasil pembangunan dari APBN tidak berjalan sama sekali.

Sebaliknya, APBN menjadi instrumen yang membuat ketimpangan semakin besar. Karena itu salah satu tugas Presiden Megawati adalah untuk mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pemerataan hasil pembangunan guna menegakkan keadilan sosial.

Masyarakat juga harus menyadari bahwa dana talangan perbankan dari pemerintah untuk para pengusaha tersebut sebenarnya uang rakyat. Berhubung pada saat ini masih ada beberapa bank bermasalah dan mungkin akan meminta dana talangan dari pemerintah, seperti Bank BII, maka masyarakat harus mengawasi berbagai lembaga pemerintah terkait, seperti BI dan BPPN, jangan sampai lagi mengulangi kesalahan yang sama.

Pemerintah sebaiknya dengan tegas menindak perusahaan dan pemiliknya yang telah menyalahgunakan dana talangan perbankan melalui jalur hukum. Hal ini akan menjadi sinyal positif bagi masyarakat dan pasar, sehingga memperbaiki kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program pemulihan ekonomi.

Tidak ada komentar: