Selasa, 12 Agustus 2008

Utang Indonesia: Sebuah Analisa Perbandingan

oleh Siswa Rizali
versi singkat tulisan ini dipublikasikan di Koran Tempo, Senin, 3 Maret 2003

Baru-baru ini Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono menyatakan bahwa pemerintah dalam tempo satu setengah tahun telah berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio, selanjutnya DGR) dari mendekati 100 persen pada pertengahan dan akhir tahun 2001 menjadi 71,79 persen menjelang akhir tahun 2002. Menkeu juga menyatakan “....Indonesia memang bukan negara yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi” dan “Jepang, Jordania, Israel, Singapura, bahkan Malaysia, memiliki debt to GDP ratio yang lebih tinggi.” (Kompas, 17 Desember 2002)

Sejauh mana informasi ini akurat? Apakah kondisi utang Indonesia secara riil membaik ? Bagaimana Singapura (yang anggaran pemerintahnya selalu surplus dan pendapatan per kapitanya sangat tinggi) bisa memiliki DGR yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia?

Klasifikasi Negara Pengutang

Tabel 1 memperlihatkan klasifikasi beberapa negara di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur berdasarkan tingkat pendapatannya dan beban total utang luar negeri (baik utang pemerintah maupun utang swasta).

Klasifikasi tingkat pendapatan berdasarkan pendapatan per kapita dalam US dolar per tahun. Klasifikasi utang luar negeri berdasarkan dua indikator, yaitu: (1) rasio nilai masa sekarang (present value) total beban utang luar negeri terhadap pendapatan nasional bruto (PNB) (selanjutnya disingkat DPNB), dan (2) rasio dari nilai masa sekarang total beban utang luar negeri terhadap ekspor (selanjutnya disingkat DEX). Pemilihan kedua rasio ini untuk mengukur pemenuhan kewajiban utang jangka panjang terkait dengan prospek perkembangan perekonomian.

Tabel 1. Klasifikasi Negara Berdasarkan Pendapatan
dan Utang Luar Negeri, 2002
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002.

Negara berpendapatan tinggi, seperti Brunei, Hong Kong, Jepang, dan Singapura, ternyata diklasifikasikan sebagai negara yang tidak mempunyai masalah utang, meskipun negara tersebut mungkin saja memiliki utang yang sangat besar (akan dijelaskan lebih lanjut dibawah).

Sedangkan Indonesia berada pada posisi yang sangat kritis dimana utangnya tinggi sedangkan pendapatannya rendah, sama seperti Laos dan Myanmar. Memang Indonesia pernah lebih baik daripada Laos dan Myanmar, yaitu sebelum krisis 1998. Pada saat itu Indonesia berada pada posisi yang sama seperti Filipina dan Thailand. Namun sekarang posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Filipina dan Thailand.

Pada masa puncak krisis 1998-1999, Filipina, Thailand, dan Korea Selatan termasuk negara yang mempunyai masalah berat dengan utangnya, sama seperti Indonesia. Sejalan dengan membaiknya perekonomian mereka dan upaya restrukturisasi utang, kondisi utang ketiganya mengalami perbaikan. Sementara Indonesia, kondisi utangnya tidak mengalami perubahan yang berarti, sehingga masih diklasifikasikan sebagai negara yang mempunyai masalah berat dengan utang.

Untuk lebih jelasnya, indikator utang Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur yang mengalami krisis pada tahun 1997-1998, yaitu Filipina, Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan (Tabel 2). Perbandingan ini tidak hanya berdasarkan dua rasio diatas, tapi juga digunakan rasio total pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri terhadap total ekspor barang dan jasa (debt service ratio, DSR) dan rasio utang pemerintah (dalam dan luar negeri) terhadap PDB (DGR).

Tabel 2 Indikator Tingkat Kondisi Utang, 1998 – 2000 (dalam persen)
(menyusul, lagi diformat ulang)
Sumber: World Bank, Global Development Finance, 2002. Diolah dari berbagai sumber: www. Apec.org, Jepang, Singtat, Korea, ARIC.
Catatan: # Data DGR adalah perkiraan untuk tahun 2002. Beberapa data dari tahun 2001. @ Data PNB Singapura diganti dengan PDB.

Kecuali indikator DPNB Singapura dan indikator DGR Jepang, indikator utang Indonesia jauh diatas negara-negara lain. Meskipun menguatnya nilai tukar Rupiah belakangan ini menyebabkan indikator DPNB dan DGR Indonesia jauh membaik, tetapi nilainya tetap tinggi dibandingkan dengan konsensus batas aman dari World Bank, yaitu sekitar 50%.

Indikator DEX dan DSR negara-negara lain lebih rendah dari Indonesia. Rendahnya indikator DEX dan DSR negara lain mencerminkan tingginya ekspor dan keberhasilan melakukan restrukturisasi utang paska krisis 1998. Sebaliknya Indonesia tidak begitu berhasil melakukan restrukturisasi utang dan pertumbuhan ekspor, meskipun sempat naik, belakangan mengalami perlambatan.

Perbaikan indikator DPNB dan DGR Indonesia ternyata tidak diikuti perbaikan indikator DEX dan DSR. Indikator DEX dan DSR diperkirakan akan naik sejalan dengan menurunnya ekspor di tahun 2001 yang mencapai 9%. Karena penurunan ekspor mungkin terus berlanjut di tahun 2002, diperkirakan DSR Indonesia bisa mencapai 50%, bila tidak dilakukan restrukturisasi utang besar-besaran.

Tidak seperti DPNB dan DGR, indikator DEX dan DSR tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar karena kedua besaran dalam indikator, utang luar negeri dan ekspor, diukur dalam US dolar. Meningkatnya nilai kedua indikator ini mengindikasikan bahwa kondisi utang Indonesia tidak seoptimis yang Menkeu gambarkan.

Dalam analisa dinamis, pertumbuhan ekonomi penting untuk meningkatkan kapasitas pembayaran utang, baik dalam dan luar negeri. Setelah tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri didominasi oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat dan pengeluaran pemerintah. Pertumbuhan ini tidak akan bertahan dalam jangka panjang karena pertumbuhan yang berasal dari pertumbuhan konsumsi tidak disertai peningkatan kapasitas produksi riil ekonomi seperti pertumbuhan dari investasi.

Ada juga yang berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak perlu tergantung pada ekspor, karena pasar domestik Indonesia sangat besar. Harus diingat bahwa utang banyak dalam US dolar, disinilah pentingnya pertumbuhan ekspor. Lebih-lebih sebagian investasi penghasil ekspor berasal dari utang luar negeri.

Karena itu, perlambatan (apalagi penurunan) pertumbuhan ekonomi, investasi, dan ekspor akan berdampak negatif bagi proses pembayaran utang, baik utang pemerintah dan swasta, utang luar maupun dalam negeri.

Dengan membaiknya nilai tukar rupiah, pendapatan per kapita di tahun 2002 diperkirakan menjadi lebih dari US$ 800. Tapi indikator DPNB, DEX, dan DSR tetap relatif tinggi, sehingga Indonesia di tahun 2002 ini masih merupakan negara berpendapatan menengah (bawah) yang mempunyai masalah berat dengan utang (severely indebted middle (lower) income country).

Singapura dan Jepang; Perbadingan yang Salah Kaprah

Membandingkan utang Indonesia dengan utang negara berpendapatan tinggi, seperti Jepang dan Singapura, harus hati-hati. Pertama, pemerintah Singapura dan Jepang, tidak mempunyai utang luar negeri, sedangkan utang pemerintah Indonesia sebagiannya adalah utang luar negeri.
Kedua, pemerintah Singapura dan Jepang, selain berutang, juga memberikan pinjaman atau mempunyai investasi kepada/di negara lain. Karena pinjaman dan investasi pemerintah Singapura dan Jepang ke negara lain jauh lebih besar dari utangnya, maka secara total pemerintah Singapura dan Jepang adalah pemberi pinjaman bersih (net creditor) kepada luar negeri. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya punya utang kepada luar negeri, tapi tidak memberikan pinjaman atau pengutang bersih (net debtor).

DGR pemerintah Singapura (dan Malaysia) ternyata jauh dibawah DGR Indonesia. Apakah Menkeu memperoleh data yang salah dari stafnya?

Ketiga, pemerintah Jepang memang mempunyai utang yang besar kepada rakyatnya, tapi sektor swasta Jepang mempunyai investasi dan pinjaman yang sangat besar kepada pihak non-Jepang. Bahkan investasi Jepang sangat penting bagi negara maju seperti Eropa dan Amerika.

Di Indonesia, selain pemerintahnya berutang, swastanya juga mempunyai utang ke luar negeri sebesar milyar US$ 70 milyar. Pihak swasta Indonesia, meskipun banyak yang mempunyai deposito haram dari hasil menjarah BLBI di luar negeri, tetap saja mereka pengutang.

Pemerintah Jepang dalam kondisi berutang masih dapat menyediakan berbagai sarana publik, subsidi, dan jaminan kesejahteraan untuk rakyatnya. Pemerintah Indonesia, sejalan dengan meningkatnya beban utang, berbagai subsidi untuk rakyat dan investasi infrastruktur dikurangi. Rakyat kemudian dibebani dengan berbagai pajak.

Keempat, utang swasta Singapura, yang sejak pertengahan 1990-an mencapai lebih 250% PDB, mencerminkan tingginya aktivitas transaksi utang di Singapura. Memang Singapura menjadi pusat intermediasi bagi pemberi utang dari Eropa dan Amerika dan penerima utang utama dari Asia Tenggara (seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia). Utang Singapura termasuk deposito pelarian modal (capital flight) dari negara-negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, yang nantinya akan dipinjamkan ke negara di sekitar Asia Tenggara juga. Dengan banyaknya investasi asing di Singapura, utang yang terjadi merupakan utang anak perusahaan asing bersangkutan ke negara asalnya. Sebagai pusat perdagangan internasional, Singapura mempunyai utang kredit perdagangan (trade credit) yang besar. (lihat: Singapore Department of Statistics, “Singapore’s External Debt: Definition and 1998 Assessment”, 2000).

Tingkat transaksi utang yang besar tersebut menunjukkan bahwa pasar finansial di Singapura sehat dan efisiensi. Dari transaksi utang-utang tersebut, Singapura memperoleh biaya jasa (service fee) yang sangat besar. Semakin tinggi transaksi utang, semakin besar nilai jasa yang diperoleh Singapura, dan semakin makmur negaranya. Kondisi yang sama juga terdapat di pusat finansial internasional Asia lain: Hong Kong. Sebaliknya, Indonesia berutang karena terpaksa dan harus membayar berbagai cicilan pokok dan bunga utang, bukan menerima pemasukan dari biaya jasa transaksi utang.

Dengan berbagai perbedaan karakter utang Singapura dan Jepang diatas, bagaimana Menkeu bisa membandingkan baik buruknya indikator utang Indonesia dengan kedua negara tersebut? Sebagai seorang doktor di bidang ekonomi, tentunya Menkeu faham betul tentang perbedaan tersebut. Tapi mengapa Menkeu memberikan contoh perbandingan yang tidak masuk akal dan salah kaprah?

Kebohongan Publik

Dari uraian di atas, sepertinya kondisi utang Indonesia tidak membaik secara luar biasa seperti yang digambarkan Menkeu. Memang ada indikator utang membaik, tapi indikator utang yang lain memburuk. Perkembangan komponen sumber pertumbuhan ekonomi, seperti konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, juga menunjukkan arah yang negatif meskipun terjadi perbaikan di indikator nilai tukar dan suku bunga.

Jadi perbaikan rasio utang pemerintah terhadap PDB bisa saja merupakan suatu faktor keberuntungan, yaitu melemahnya nilai tukar US $ terhadap mata uang dunia, bukan perbaikan riil posisi utang Indonesia.

Bagi penulis, pernyataan optimisme dari Menkeu tidak berdasarkan fakta dan merupakan suatu kebohongan kepada publik. Tindakan memanipulasi informasi ini tentunya tidak akan membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan utang negara Indonesia. Kebohongan itu juga tidak akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah Indonesia belum juga belajar dari pengalaman buruk krisis selama ini. Pemerintah Indonesia juga tidak belajar dari keberhasilan Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan dalam upaya mereka mempercepat proses pemulihan ekonominya. Satu-satunya yang berhasil pemerintah pelajari selama krisis ekonomi adalah bagaimana menjadikan IMF sebagai kambing hitam atas kegagalan program pemulihan ekonomi.

Tidak ada komentar: