Minggu, 03 Agustus 2008

Program Talangan Perbankan dan Stabilisasi Ekonomi Makro

oleh Siswa Rizali *
dipublikasikan di Koran Tempo, 20 Agustus 2001

Biaya restrukturisasi sektor perbankan Indonesia diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 600 trilyun. Lebih dari Rp 200 trilyun biaya restrukturisasi tersebut berasal dari pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bunga BLBI, dan dana program penjaminan. Sisanya, sekitar Rp 350 trilyun adalah dana untuk merekapitalisasi perbankan. Besarnya dana restrukturisasi ini mencapai 57% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 1999. Semua biaya restrukturisasi tersebut merupakan talangan (bail-out) oleh pemerintah atas berbagai kewajiban sektor perbankan Indonesia.

Tabel 1 Biaya Talangan Perbankan di Beberapa Negara

Negara Period dalam % PDB
Argentina 1980-82 56
Kuwait 1992 45
Chili 1981-83 42
Israel 1977-83 31
Meksiko 1995 16
Spanyol 1980 15
Mauritinia 1993 15
Tanzania 1992 14
Bulgaria 1995-96 13
Filipina 1981-87 13
Hungaria 1993 12
Firlandia 1991-93 10
Brazil 1994-95 8

Kasus Krisis Asia #
Indonesia 57
Thailand 40
Korea 25
Malaysia 20
Jepang 14

Sumber: Dziobek dan Pazarbasioglu (1998), World Bank (1997), Freris (2000).
Catatan: # Data diambil dari Freris (2000), berdasarkan estimasi biaya sementara dengan data sampai tahun 1999.


Ironi BLBI

Biaya talangan tersebut melebihi nilai total asset perbankan di tahun 1997 yang mencapai Rp 529 trilyun. Biaya talangan perbankan membengkak karena kebijakan penyuntikan likuiditas oleh BI (baca: BLBI) yang telah menyebabkan bertambahnya jumlah aset bermasalah perbankan. Dalam era 1990-an, pertumbuhan asset perbankan tertinggi memang terjadi ditahun 1997 dan 1998, yaitu 37% dan 44% di setiap tahunnya. Dibandingkan pertumbuhan rata-rata asset perbankan pada era boom ekonomi 1990-1996 yang hanya 20%, lonjakan asset yang sangat tinggi tersebut tidak masuk akal sama sekali, mengingat sektor perbankan pada saat itu sedang mengalami krisis. Dapat dipastikan bahwa pertumbuhan asset perbankan pada tahun 1997-1998 semata-mata berasal dari BLBI, dan berupa pertumbuhan asset bermasalah. Penyalahgunaan BLBI juga telah menyebabkan ketidakstabilan moneter. Bukan saja BLBI telah merugikan negara dalam bentuk hilangnya uang milik rakyat, tetapi BLBI juga telah memperparah krisis ekonomi.

Penelitian yang dilakukan oleh Claudia Dziobek dan Ceyla Pazarbasioglu, ekonom dari International Monetary Fund (IMF), menemukan bahwa negara-negara yang perbankannya bermasalah dan mencoba menunda krisis perbankan dengan memberikan bantuan likuiditas hanya akan menyebabkan peningkatan biaya program restrukturisasinya. Sebaliknya, negara yang mempunyai perbankan bermasalah, namun bank sentralnya berhasil membatasi dengan ketat penyaluran bantuan likuiditas, dapat meminimisasi biaya restrukturisasinya. (lihat: IMF Working Paper No 97/161, "Lessons from Systemic Bank Restructuring: A Survey of 24 Countries). Berhubung nilai likuiditas yang dihamburkan BI sangat besar, biaya restrukturisasi perbankan Indonesia menjadi yang tertinggi diantara berbagai kasus yang pernah terjadi (Tabel 1).


Dampak pada Stabilisasi Makro

Besarnya dana talangan perbankan tersebut mempunyai dampak negatif yang besar pada manajemen kebijakan ekonomi makro, baik kebijakan fiskal, berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun moneter. Karena biaya talangan perbankan dibebankan pada APBN, program talangan perbankan tersebut menyebabkan APBN mengalami defisit sejak tahun 1998. Bila pun defisit anggaran tersebut dapat ditutupi dalam waktu lima tahun, biaya talangan perbankan tetap harus ditanggung lebih dari 10 tahun kedepan. Dengan menganggap setiap tahunnya dana sebesar 3% PDB, dalam bentuk penerimaan pemerintah, dialokasikan untuk melunasi hutang program talangan perbankan, maka dampak biayanya baru akan selesai dalam waktu sekitar 18 tahun. Itu pun bila restrukturisasi perbankan berhasil sehingga krisis yang sama tidak terulang lagi, pemulihan ekonomi terakselerasi, dan perekonomian berjalan dengan baik. Bila semua itu terjadi, hutang riil pemerintah dapat dicicil sejalan meningkatnya pendapatan pemerintah ketika ekonomi tumbuh kembali.

Beban talangan perbankan pada APBN membuat kebijakan fiskal pada saat ini dan beberapa tahun ke depan sulit digunakan untuk menstimulus ekonomi bila terjadi ancaman resesi. Hal ini dikarenakan sebagian pengeluaran APBN hanya diperuntukkan membayar hutang. Misalnya, untuk APBN 2001 beban biaya restrukturisasi perbankan mencapai 18% total pengeluaran (atau 25% dari pengeluaran rutin), sehingga sulit diharapkan adanya efek ekpansi dari APBN yang defisit tersebut.

Dari sisi kebijakan moneter, program talangan perbankan menyulitkan pengendalian laju uang beredar. Misalnya, di periode Agustus-November 1998, pertumbuhan uang primer rata-rata tahunan mencapai 115%, yang merupakan pertumbuhan uang tertinggi dalam kurun waktu 30 tahun, atau sejak tahun 1968. Di masa sekarang dan yang akan datang, pengelolaan kebijakan moneter masih terus terancam karena ada dorongan pemerintah untuk menggunakan pendapatan dari produksi uang, atau dalam istilah ekonominya disebut 'pajak inflasi' (seigniorage), guna mengurangi beban riil hutangnya. Kemungkinan penggunaan 'pajak inflasi' untuk mengurangi beban hutang pemerintah sangat besar karena BI menjadi motor utama penyedia dana program talangan perbankan. Hal ini menjelaskan salah satu aspek penyebab kegagalan program stabilisasi moneter di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Meskipun BI mentargetkan hanya menambah jumlah uang primer sekitar 8%-10% per tahun di tahun 1999 dan 2000, dalam prakteknya pertumbuhan uang primer pada masing-masing tahun mencapai 31% dan 23%. Sampai pada saat ini pun pertumbuhan jumlah uang primer tahunan masih diatas 20%. Sumber utama pertumbuhan uang primer tersebut ternyata berasal dari peningkatan klaim bersih BI terhadap sektor pemerintah. Jadi, meskipun BI telah dinyatakan independen bedasarkan UU No. 29 1999, dalam prakteknya BI belum dapat melepaskan dirinya dari berbagai kekuatan politis.

Di lain pihak, dengan besarnya jumlah hutang pemerintah dari penerbitan obligasi untuk program talangan perbankan, penerapan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga SBI sulit dilaksanakan. Kesulitan ini terjadi karena beban hutang pemerintah sangat sensitif terhadap setiap kenaikan suku bunga SBI. Akibatnya pengelolaan moneter jangka pendek dan menengah melalui manipulasi suku bunga instrumen moneter tidak akan efektif, bahkan membahayakan keseimbangan ekonomi makro. Singkatnya, dampak biaya restrukturisasi perbankan terhadap efektifitas kebijakan fiskal dan moneter tidak hanya terjadi secara independen, tapi juga saling terkait.

Penutup

Pelajaran penting yang dapat kita ambil adalah: jangan lagi pemerintah menalangi berbagai kewajiban sektor swasta yang timbul akibat bank bermasalah. Berhubung pada saat ini masih ada beberapa bank yang bermasalah dan mungkin akan meminta dana talangan dari pemerintah, seperti Bank BII, maka masyarakat harus terus mengawasi berbagai lembaga pemerintah terkait, seperti BI dan BPPN, jangan sampai lagi mengulangi kesalahan yang sama. Dan pemerintah harus dengan tegas menindak perusahaan dan pemiliknya yang telah menyalahgunakan dana talangan perbankan melalui jalur hukum. Hal ini akan menjadi sinyal positif bagi masyarakat dan pasar, sehingga memperbaiki kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program pemulihan ekonomi.

Tidak ada komentar: