Jumat, 12 September 2008

Menunggu Lahirnya Undang-undang Keuangan Mikro

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Republika, 15 Januari 2004

Dalam komunitas keuangan mikro internasional, Indonesia dikenal sebagai ‘laboratorium’ keuangan mikro terbesar di dunia. Hal ini dikaitkan dengan jumlah lembaga, variasi, penetrasi, dan juga contoh-contoh keberhasilan. Seperti diungkapkan Shari Berenbach (1997): “In terms of scale, variety, and volume of microfinance financial institutions, market penetration, and profitability, the microfinancial services market in Indonesia is the most developed in the world.

Meskipun sektor keuangan mikro Indonesia sangat berhasil, Indonesia tidak memiliki peraturan khusus mengenai keuangan mikro. Di Indonesia, peraturan yang terkait dengan keuangan mikro adalah Undang-undang Perbankan (UU Perbankan) yang mengakui keberadaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Undang-undang Koperasi (UU Koperasi) yang mengakui Koperasi/Unit Simpan Pinjam (KSP/USP).

Keberhasilan sektor keuangan mikro di Indonesia dalam kevakuman peraturan khusus mengenai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) non-bank dan non-koperasi, mempunyai tiga interpretasi. Pertama, keberhasilan itu dimungkinkan karena minimnya peraturan, sehingga LKM dapat begerak lebih leluasa. Interpretasi kedua sebaliknya, ketiadaan peraturan itu menghambat pertumbuhan LKM karena seringkali LKM diberikan citra negatif sebagai ‘bank gelap’. Jadi, peraturan sektor keuangan mikro, khususnya terkait LKM, potensial meningkatkan sukses LKM di Indonesia. Interpretasi ketiga bersifat netral, yaitu peraturan yang ada, UU Perbankan dan UU Koperasi, sudah cukup mengakomodir keberadaan LKM.

Studi Sumantoro Martowijoyo (2001) menunjukkan bahwa penerapan UU Perbankan dan UU Koperasi cenderung menghasilkan dua ekstrim sektor keuangan mikro yang terdiri dari sektor perbankan (BRI Unit Desa dan BPR) dan koperasi. UU Perbankan sendiri sebenarnya memarjinalisasi LKM seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK), Badan Kredit Desa (BKD), dan Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), karena dianggap belum memenuhi syarat menjadi BPR. Di sisi lain UU Koperasi hanya memberi peluang kepada koperasi dan berbagai program kredit dari pemerintah.

Pemerintah juga selalu memberikan stempel negatif pada LKM. Misalnya publikasi BPS tentang “Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum” (2002), mengklasifikasikan kredit union sekelompok dengan rentenir. Penjelasan klasifikasi kredit union/rentenir adalah: “Seseorang atau kelompok orang yang berusaha di bidang pemberian kredit pinjaman yang tidak berbadan hukum, dengan mengenakan tingkat bunga yang tinggi dibandingkan bank”. Sebaliknya, dalam buku yang sama, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dicitrakan sebagai lembaga ‘resmi’ yang belum terdaftar pada Dinas/Departemen Koperasi.

Konotasi negatif terhadap kredit union (CU) yang disamakan dengan rentenir ini tidak selalu terbukti di lapangan, seperti keberhasilan Koperasi Kredit (= Credit Union) di Kalimantan Barat. Dari 38 CU yang bernaung dalam Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D, yaitu asosiasi independen CU) Kalimantan Barat, tercatat 8 CU yang sudah memiliki aset diatas Rp 3 miliar. Total aset ke delapan CU tersebut sekitar Rp 112 miliar dengan jumlah anggota sekitar 48 ribu orang (Juni 2003).

CU yang terbesar adalah Pancur Kasih, dengan jumlah anggota lebih dari 17 ribu dan aset sekitar Rp 43 miliar. Kinerja CU Pancur Kasih sendiri sudah melebihi koperasi yang biasanya dikonotasikan sebagai lembaga kecil yang tertinggal. Prestasi CU Pancur Kasih bahkan mengalahkan kinerja BPR yang bagus, baik dalam hal aset, keuntungan, maupun tingkat suku bunga.

Pandangan negatif lain terhadap LKM terlihat pada laporan media massa, seperti ‘Koperasi Sering Dijadikan Kedok LKM” (Kompas, 14 Februari 2002). Judul dan isi tulisan tersebut merujuk pada penipuan dan kegagalan “Koperasi Simpan Pinjam” (Kospin) yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 1998 dan 2000.

Timbul pertanyaan, mengapa ketika sebuah lembaga keuangan berbadan hukum koperasi mengalami kegagalan, disebut menjadi LKM atau ‘bank gelap’. Dilain pihak, sebuah LKM seperti CU -- yang tidak berbadan hukum koperasi -- ketika berhasil dinyatakan sebagai ‘koperasi’.

Dari aspek legalitas LKM, dapat diperkirakan bahwa LKM yang baik dan ingin berkembang lebih lanjut dapat terganjal akibat kevakuman peraturan. Tanpa legalitas, LKM juga sulit untuk melakukan kerjasama formal dengan lembaga-lembaga keuangan besar seperti bank, modal ventura, maupun investor swasta lain. Disinilah aspek strategis peraturan operasional LKM. Keberadaan peraturan bagi LKM tentunya bukan sekedar alat kontrol bagi pemerintah, tapi lebih untuk mengakui keberadaannya, serta memfasilitasi dan mendorong LKM agar dapat berkembang.

Sayang, proses pembuatan Rancangan Undang-undang Keuangan Mikro (RUU KM) sendiri mengindikasikan LKM adalah ‘anak haram’ sektor keuangan Indonesia. Tidak ada instansi pemerintah yang sepertinya mau mengakui keberadaan LKM secara formal dengan dibuatkan peraturan dan dilakukan pengawasan. Banyak komponen pemerintah yang belum dapat menerima LKM sebagai bagian masyarakat Indonesia yang telah berperan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Hal ini khususnya terkesan dari persepsi pejabat pemerintah terhadap LKM sebagai ‘bank gelap’.

Tersendat-sendatnya proses pembahasan RUU KM diantara instansi pemerintah terkait juga mencerminkan kurangnya perhatian pada LKM. Setiap upaya mendorong penyelesaian pembuatan RUU KM selalu terhadang berbagai isu yang dianggap lebih penting. Misalnya, dipertanyakan posisi LKM dalam konteks rencana pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga pembuatan RUU KM diharuskan menunggu kejelasan posisi OJK. Namun tak berapa lama muncul klarifikasi bahwa LKM tidak termasuk dalam ruang lingkup OJK (Bisnis Indonesia, 21 Juli 2003).

Sampai sekarang RUU KM sendiri tetap tidak mengalami kemajuan karena berbagai instansi terkait lebih memprioritaskan pada wacana perbaikan UU Perbankan dan UU Koperasi. Padahal, operasional LKM yang menargetkan penduduk paling miskin dan usaha mikro yang tidak mempunyai kolateral, tidak cocok berada di bawah pengaturan UU Perbankan, mengingat sifat UU tersebut yang sangat ketat dan kaku. Sedangkan UU Koperasi lebih memprioritaskan pengaturan keanggotaan koperasi, sehingga dirasa kurang fleksibel bagi konsumen LKM yang biasanya tidak harus menjadi anggota terlebih dahulu ketika meminjam ke LKM.

Draf RUU KM sendiri sepertinya cenderung melihat LKM sebagai lembaga yang harus mikro. Ini tercermin dalam pasal yang membatasi operasional LKM berdasarkan besaran dana simpanan yang dihimpun. Pasal yang dimaksud menyatakan bahwa LKM yang menghimpun dana simpanan lebih dari Rp 1 miliar harus mengubah bentuk usahanya menjadi BPR atau koperasi. Juga ada pembatasan kepemilikan/investor, dimana hanya warga negara Indonesia atau pemerintah yang boleh mendirikan dan memiliki LKM.

Lebih setahun lalu, Presiden Megawati menyatakan bahwa RUU KM memerlukan masukan dari masyarakat sebelum dibahas oleh DPR (Bisnis Indonesia, 22 Agustus 2002). Sayangnya, nasib RUU tersebut sampai sekarang belum jelas. Di lain pihak pemerintah berulangkali menyatakan komitmennya untuk mendorong peningkatan kredit mikro. Seharusnya komitmen tersebut diikuti dengan keseriusan dalam mempersiapkan infrastrukturnya, seperti RUU KM ini.

Pemerintah sepertinya gamang, di satu sisi sering memberikan cap negatif pada LKM dan lamban dalam merespon pentingnya legalitas LKM, namun dilain pihak pemerintah terus-menerus membuat berbagai program kredit mikro dengan menggunakan dana miliaran bahkan triliunan rupiah (Bisnis Indonesia, 15 November 2003). Tidakkah lebih baik dan lebih murah bagi pemerintah cukup dengan mendorong pertumbuhan LKM atas inisiatif swasta dan lembaga swadaya masyarakat?

Menelaah Permasalahan Dibalik Tingginya Bunga Kredit BPR

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, 18 & 19 Juli 2003


Baru-baru ini Menko Kesra Jusuf Kalla membatalkan program kerja sama penyaluran dana bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) – dikenal sebagai linkage program – karena bunga kredit yang ditetapkan beberapa BPR sangat tinggi, yaitu 48 persen per tahun (Kompas, Kamis, 26 Juni 2003). Menko Kesra berpendapat bahwa bunga kredit BPR yang “sangat tinggi” tersebut tidak adil dan “memeras” rakyat kecil.

Di lain pihak, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, yang terkenal selalu membela rakyat kecil, menganggap bunga kredit BPR yang sampai 40 persen “sangat wajar”.

Catatan berikut ingin memberikan gambaran mengapa bunga kredit BPR tinggi, namun merupakan hal yang wajar dalam praktek keuangan mikro.

***

Sebagaimana lembaga keuangan lain, sebuah BPR menetapkan bunga kredit untuk dapat bertahan (sustainable) dalam jangka panjang sehingga dapat terus menyediakan jasanya kepada nasabah yang umumnya pengusaha mikro dan kecil (UMK). Dalam menetapkan bunga, BPR juga mempertimbangkan persaingan dengan lembaga keuangan mikro (LKM) lain, seperti BRI Unit Desa dan koperasi.

Bunga kredit sendiri ditentukan oleh beberapa komponen, yaitu: biaya dana, biaya administrasi kredit, biaya kredit macet, dan penyisihan untuk peningkatan modal usaha.

Agar dapat memberikan kredit, BPR harus melakukan mobilisasi dana dari publik. Untuk itu BPR membayar balas jasa berupa bunga, atau biaya dana. Karena kepercayaan masyarakat kepada BPR masih rendah, maka BPR harus membayar bunga simpanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Komersial Umum (BKU). Sebuah BPR umumnya membayar bunga simpanan sekitar 17–20 persen per tahun, mencapai dua kali lipat bunga deposito di BKU yang sekitar 8–10 persen.

Proporsi biaya administrasi kredit – seperti biaya gaji pegawai, sewa bangunan/peralatan, dan biaya listrik/air – terhadap nilai kredit mikro juga sangat besar. Sebagai gambaran, katakanlah biaya administrasi adalah Rp 50 ribu per kredit. Maka rasio biaya administrasi terhadap nilai kredit sebesar Rp 100 juta hanya sebesar 0,05 persen, namun untuk kredit mikro sebesar Rp 1 juta biaya tersebut menjadi 5 persen.

Studi The MicroBanking Bulletin (November 2001) terhadap 148 LKM dengan kinerja bagus di berbagai negara, memperlihatkan betapa tingginya biaya administrasi kredit mikro. Rata-rata rasio biaya administrasi terhadap portofolio kredit untuk wilayah Asia, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika masing-masingnya adalah 19, 20, 23, dan 38 persen.

Rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BPR sendiri berkisar antara 10–20 persen. Rasio yang sama untuk BRI Unit Desa, sebagai bank yang sangat efisien di sektor keuangan mikro, adalah sebesar 13 persen di tahun 1999.

Bandingkan dengan rasio biaya operasional terhadap total portofolio kredit di BKU yang hanya sekitar 5 persen.

Biaya operasional LKM sangat tinggi terutama dikarenakan satuan nilai kredit sangat kecil, umumnya dibawah Rp 10 juta, dan sekala usaha juga umumnya masih kecil. Biaya operasional lembaga keuangan memang terkait erat dengan besarnya nilai kredit dan sekala usahanya. Semakin besar nilai kredit dan volume usaha, semakin kecil proporsi biaya operasional terhadap kredit (lihat: “The Microfinance Industry: Does it Measure up?” dalam Microenterprise Development Review, Vol. II (1), Agustus 1999).

Hanya di komponen kredit bermasalah (non performing loan, NPL) BPR mempunyai keunggulan dibandingkan BKU. Pada akhir tahun 2002, NPL seluruh BPR sekitar 6 persen.

Akhirnya, anggap lah pihak BPR mencoba mengakumulasi keuntungan untuk memperbesar modal usaha sekitar 0-5 persen.

Dari keempat komponen bunga kredit tersebut kita dapat memperkirakan besaran bunga kredit BPR. Untuk BPR yang sangat bagus, maka total bunga kreditnya adalah 35 persen (Misalnya: biaya dana 17%, biaya operasional 10%, biaya kredit macet 6%, dan akumulasi modal 2%). Sedangkan untuk BPR yang kinerjanya kurang bagus, bunga kredit bisa mencapai 50 persen (Misalnya: biaya dana 20%, biaya operasional 20%, biaya kredit macet 10%, dan akumulasi modal 0%).

Dari gambaran sederhana diatas, jelaslah bahwa BPR yang menetapkan bunga kredit yang ‘sangat tinggi’ bukan semata-mata karena ingin memperoleh keuntungan besar dengan mengeksploitasi rakyat kecil. Tetapi memang ada masalah struktural dalam penyaluran kredit mikro sehingga bunga yang ditetapkan menjadi tinggi.

Memang ada beberapa BPR yang bermasalah dalam menjalankan operasinya. Disinilah peran lembaga pengawas (Bank Indonesia), pemerintah, dan lembaga donor internasional (World Bank, Asian Development Bank), untuk membuat kebijakan dan memberikan bantuan teknis guna mendorong perbaikan kinerja LKM seperti BPR.

***

Indonesia dengan berbagai LKM seperti BRI Unit Desa dan BPR, terkenal sebagai tempat contoh LKM terbaik di kalangan praktisi dan pengamat keuangan mikro internasional.

LKM yang baik tersebut pernah (dan banyak yang masih) menetapkan bunga kredit yang menurut kriteria Menko Kesra Jusuf Kalla “sangat tinggi”, yaitu sekitar 30–70 persen. BRI Unit Desa pada awal komersialisasinya di pertengahan tahun 1980-an mengenakan bunga kredit (efektif) sekitar 40 persen. Baru di era 1990-an BRI Unit Desa dapat menurunkan bunga kreditnya mendekati 30 persen atau lebih rendah.

Seandainya pemerintah mengikuti saran Menko Kesra untuk menutup LKM yang mengenakan bunga kredit lebih dari 30 persen dan kebijakan itu diterapkan di tahun 1980-an, kita tidak akan memiliki BRI Unit Desa saat ini. Kita tidak akan memiliki sebuah bank yang tahan terhadap krisis moneter, mempunyai NPL yang rendah, dan tetap menghasilkan laba meskipun tanpa bantuan pemerintah.

Bagi UMK, akses kredit alternatif selain BPR adalah kredit program pemerintah dan pelepas uang. Keduanya adalah sumber kredit yang tidak terjamin aliran dananya atau mahal.

Dana kredit program sangat terbatas. Dan bunga rendah yang diumumkan sifatnya semu berhubung biaya pengurusannya sangat tinggi karena penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pelepas uang mengenakan bunga kredit yang jauh lebih tinggi dari BPR, yaitu sekitar 10 persen per bulan.

Jadi membatalkan penyaluran dana dari BKU ke BPR yang menetapkan bunga kredit yang lebih dari 30 persen tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menambah masalah bagi banyak BPR dan juga UMK.

Untuk memperbaiki akses kredit bagi UMK, yang harus dilakukan adalah kerjasama semua pihak terkait dengan LKM, yaitu pemilik dan pengelola LKM, BI, departemen teknis pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga donor, untuk mendorong perbaikan kinerja LKM, seperti BPR.

Pemerintah harus membuat kebijakan yang meningkatkan persaingan di sektor keuangan mikro sehingga LKM akan menurunkan bunga kredit akibat tekanan persaingan. Pemerintah juga bekerja sama dengan LSM dan lembaga donor untuk memberikan bantuan teknis kepada LKM sehingga biaya operasional dan kredit macet dapat diturunkan.

LKM sendiri harus didorong lebih transparan, sehingga BKU, investor, dan masyarakat semakin percaya pada BPR. Bila publik semakin percaya pada BPR, maka BPR dapat memperoleh dana dengan biaya bunga yang lebih rendah dari 18 persen.

Kebijakan dan program dukungan positif, bukan permusuhan, bagi LKM yang akan memperbaiki kinerja LKM seperti BPR dan meningkatkan akses kredit bagi UMK.

Pemeringkatan BPR dan Linkage Program

oleh Siswa Rizali
dipublikasikan di Bisnis Indonesia, 19 Juni 2003

Sektor keuangan mikro mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi masyarakat berpendapatan rendah. Dengan adanya lembaga keuangan mikro (LKM), masyarakat berpendapatan rendah dapat menikmati layanan keuangan seperti simpanan dan pinjaman.

Potensi keuangan mikro sendiri di Indonesia sangat besar. Pada tahun 2002, nilai simpanan dan kredit di sektor keuangan mikro masing-masingnya mencapai Rp 26,6 trilyun dan Rp 20 trilyun. Pemain utama di sektor keuangan mikro adalah BRI Unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Posisi Strategis BPR

Belakangan ini, sering diberitakan program kerjasama antara bank komersial umum (BKU) dan BPR (linkage program) dalam menyalurkan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). BCA, Bank Mandiri, Bank Danamon, dan Bank NISP adalah beberapa bank komersial besar yang mempunyai program kerjasama dengan BPR.

Misalnya, Bank Mandiri dengan “Program 1000 BPR” telah berhasil menyalurkan Rp 1 triliun (Bisnis Indonesia, 31 Maret 2003). Bank Danamon bersama Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) menyalurkan sekitar Rp 200 milyar dalam kurun waktu lima tahun (24 Juni 2002). Sedangkan BCA menyediakan Rp 30,5 milyar untuk beberapa BPR di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan.

Kerjasama antara BKU dan BPR ini mempunyai beberapa landasan strategis. Pertama, jaringan BPR yang luas, mencapai sekitar 2100 unit usaha. Di tahun 2002, jaringan BPR tersebut berhasil mengumpulkan simpanan dari 4,7 juta nasabah senilai Rp 5 trilyun dan menyalurkan pinjaman ke sekitar 1,7 nasabah senilai Rp 5,6 trilyun, atau hampir 30 persen dari total kredit sektor keuangan mikro.

Kedua, BPR adalah lembaga keuangan formal yang dapat diakses masyarakat berpendapatan rendah. Posisi formal BPR sendiri memudahkan program kerjasama antara BKU dan BPR.

Ketiga, adanya masalah struktural keuangan mikro, dimana nilai simpanan jauh lebih besar daripada nilai kredit yang disalurkan. Ini terjadi karena masyarakat menganggap simpanan di BKU lebih aman daripada di LKM. Di lain pihak, prosedur pinjaman di LKM lebih mudah dibandingkan dengan di BKU, sehingga rakyat berpendapatan rendah lebih suka meminjam di LKM. Karena faktor efisiensi usaha, kemampuan BKU menyampaikan kredit mikro juga sangat terbatas.

Keempat, pengalaman BPR melayani nasabah kecil membuat BPR mempunyai keunggulan spesialisasi dibandingkan BKU dalam menggarap sektor keuangan mikro.

Jadi aliansi strategis antara BKU dan BPR sangat potensial menumbuhkan sektor keuangan mikro dalam rangka meningkatkan pendapatan rakyat kecil.

Linkage Program dan Hambatannya

Keinginan BKU bekerjasama dengan BPR dalam menyalurkan kredit mikro sebenarnya berlandaskan aspek komersial, bukan sekedar aspek belas kasihan dan program pemerintah. Pengalaman BRI Unit Desa menunjukkan bahwa keuangan mikro dapat menjadi sumber keuntungan bagi sektor perbankan, bahkan di saat krisis (lihat Richard Patten dkk, “Microfinance Success Amidst Macroeconomic Failure; The Experience of BRI During East Asian Crisis,” World Development, vol. 29, 2001).

Meskipun beberapa BKU melihat suatu keuntungan melalui kerjasama dengan BPR, ternyata salah satu hambatan utama pelaksanaan program kerjasama tersebut adalah sulitnya mencari informasi mengenai kondisi kesehatan BPR.

Bank Indonesia (BI), sebagai pengawas perbankan, memang memiliki informasi kondisi kesehatan suatu bank. Namun laporan itu menjadi rahasia bagi pihak BI dan bank bersangkutan. Bila BKU ingin bekerjasama dengan suatu BPR, BKU harus menghubungi satu per satu BPR bersangkutan. Selanjutnya BKU menunggu kesediaan BPR untuk bersikap terbuka.

Masalah lain, informasi laporan kesehatan perbankan BI terfokus pada kinerja keuangan perbankan. Padahal untuk melaksanakan kerjasama dengan BPR, BKU perlu informasi yang lebih dalam mengenai BPR calon mitranya, seperti aspek: kesiapan sumber daya manusia dan manajemen, sistem informasi dan teknologi, serta potensi pasar.

Untuk itu perlu dilakukan penilaian secara independen yang memperhatikan keseluruhan aspek usaha BPR. Dalam hal ini, jasa lembaga ‘penilai’ independen dapat digunakan.

Peran Pemeringkatan BPR

Salah satu wacana yang baru-baru ini dibahas dalam seminar kecil BI dan The Asia Foundation (Senin, 14 April 2003) adalah memanfaatkan sistem pemeringkatan lembaga keuangan mikro (microfinance institution rating) sebagai fasilitator kerjasama BKU dengan BPR. Acara ini dihadiri juga oleh: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BII, Bank NISP, Bank Danamon, beberapa BPR, Perbarindo, PT PNM, dan juga Pefindo.

Meskipun pihak BI, lembaga donor, BPR, dan bank komersial mempunyai pandangan masing-masing mengenai tujuan pemeringkatan BPR, namun satu hal ditekankan bahwa: pemeringkatan LKM harus dapat meningkatkan penyaluran dana melalui LKM dengan biaya yang lebih murah.

Dibanyak negara sedang berkembang, pemeringkatan LKM sudah merupakan hal yang umum dan sangat bermanfaat. Beberapa peranan pemeringkatan dalam industri keuangan mikro adalah sebagai berikut.

Pertama, pengukuran kinerja LKM akan mendorong peningkatan kualitas dan efisiensi lembaga sehingga meningkatkan kepercayaan dan rasa aman dari investor.

Kedua, bagi pembuat kebijakan (Bank Indonesia, Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, dan Menegkop & UKM), pemeringkatan dapat digunakan sebagai alat monitor dan untuk memilah antara LKM yang bagus dengan yang kurang bagus. Bagi manajemen LKM, pemeringkatan digunakan sebagai umpan balik dalam upaya memperbaiki kinerja LKM.

Ketiga, bagi pihak investor, pemeringkatan dapat digunakan sebagai tolok ukur dan panduan untuk menentukan program kerjasama yang tepat dengan BPR, khususnya dalam penyaluran kredit bagi UMKM.

Akhirnya, BPR yang memperoleh nilai pemeringkatan yang baik dapat menggunakannya untuk alat promosi lebih luas, khususnya untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.

ACCION, MicroRate, M-CRIL, dan CGAP adalah beberapa lembaga internasional yang bergerak di bidang LKM yang mengembangkan dan menyediakan jasa pemeringkatan. Negara tetangga kita, Filipina, juga telah mendirikan “The Philippine Coalition Microfinance Standard” yang bertujuan mengembangkan standar penilaian bagi kegiatan usaha LKM di negri tersebut. Di Indonesia sendiri, PT PNM telah melakukan program pemeringkatan LKM untuk program kerjasamanya dengan LKM.

Namun pemeringkatan LKM bukan tanpa kendala. Seringsekali biaya evaluasi LKM cukup besar dibandingkan dengan omset dan laba perusahaan. Di Indonesia, banyak LKM yang belum mampu menyediakan dana bagi hal-hal mendasar operasional usaha, seperti: penyisihan dana untuk kredit macet, pelatihan, dan pengadaan sistem informasi. Jadi untuk apa menggunakan dana yang ada untuk pemeringkatan?

Skeptisme tersebut wajar. Namun perlu diingat, banyak juga LKM yang sudah sangat besar dan dapat menjadi lebih baik bila bekerjasama dengan BKU atau donor internasional.

Bila pemeringkatan LKM dapat meningkatkan kepercayaan investor sehingga bersedia menyediakan dana yang lebih besar dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah kepada LKM yang baik, tentu biaya tersebut dapat ditutupi dari aspek komersial. Katakanlah investor bersedia meminjamkan dana sebesar Rp 500 juta dengan biaya bunga lebih rendah 2% per tahunnya bagi LKM yang mendapat peringkat sehat, maka dalam setahun terjadi penghematan biaya sebesar Rp 10 juta bagi LKM.

Dari sisi investor, pemeringkatan mengurangi resiko dananya macet karena investor benar-benar menyalurkan dana pada LKM yang sehat. Bila pun lembaga mempunyai kekurangan, investor bersama LKM bersangkutan dapat mengambil strategi perbaikan yang tepat.

Tetap timbul pertanyaan siapa yang bisa menanggung biaya awal pendirian lembaga pemeringkat LKM? Disinilah peran pembuat kebijakan dan lembaga donor internasional yang bergerak dibidang LKM. Kedua pihak ini dapat menjadi inisiator pendirian lembaga pemeringkatan independen di Indonesia.

Perlu ditekankan disini, pemeringkatan LKM yang baik akan menurunkan biaya transaksi antara investor dan LKM. Dalam jangka panjang, idealnya biaya pemeringkatan akan ditutupi oleh keuntungan komersial sebagai efek positif dari hasil pemeringkatan.

Pemeringkatan LKM sendiri bukanlah sebuah birokrasi baru, melainkan instrumen yang dibutuhkan pasar. Sehingga pemeringkatan LKM harus berkembang berdasarkan mekanisme pasar.

Dimata internasional, Indonesia adalah ‘laboratorium LKM’ terbesar dan paling lengkap, baik dalam ukuran maupun variasi lembaga. BPR sendiri merupakan contoh LKM yang baik karena dijalankan secara komersial yang akan dapat bertahan dalam jangka panjang (sustainable).

Lembaga investor internasional seperti Blue Orchad Finance punya keinginan yang sangat besar untuk investasi di sektor keuangan mikro di Indonesia, seperti di BPR. Sayangnya, tidak ada instrumen evaluasi dan penilaian standar LKM dari pihak independen yang punya kredibilitas. Akibatnya, sulit bagi mereka melakukan investasi ke Indonesia. LSM seperti Save The Children dan CARE juga mengalami kesulitan yang sama.

Bank Indonesia: Independen Tanpa Akuntabilitas

oleh Siswa Rizali*
versi bahasa Inggris tulisan ini dimuat di Indonesian Business Online, 12 Mei 2003.

Proses pemilihan gubernur baru Bank Indonesia (BI) mengingatkan kita akan posisi penting bank sentral yang independen (central bank independence) dalam menyetabilkan kondisi moneter. Sayangnya, pembahasan independensi bank sentral di Indonesia telah menyempit hanya mengenai posisi gubernur dan deputi gubernur bank sentral.

Konsep Independensi

Konsep independensi bank sentral bukan hanya mengenai posisi gubernur atau dewan deputi gubernur bank sentral, yang dikenal sebagai independensi personel (personal independence). Independensi bank sentral juga mencakup aspek operasional, yaitu independensi finansial (financial independence) dan independensi kebijakan (policy independence).

Sebuah bank sentral dikatakan independen secara finansial bila pemerintah tidak punya kemampuan (dilarang) untuk membiayai pengeluarannya (defisit anggaran) dengan menggunakan kredit dari bank sentral. Bank sentral yang independen dalam kebijakan moneter harus terlepas dari pengaruh pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter. Aspek ini terbagi dua: independensi tujuan (objectives independence) dan independensi instrumen (instruments independence).

Bila bank sentral punya kebebasan menentukan tujuan kebijakan moneter dan menetapkan nilai tergetnya, maka bank sentral tersebut secara total independen dalam aspek tujuan kebijakan moneter. Bank sentral yang independen dalam aspek instrumen mempunyai kebebasan menggunakan instrumen moneter yang ada – seperti operasi pasar terbuka, suku bunga diskonto, dan giro wajib minimum (reserve rquirement) – untuk mencapai tujuan kebijakan moneter seperti stabilitas harga dan nilai tukar.

Yang Esensial

Dari berbagai aspek independensi bank sentral yang ada, independensi finansial dan independensi instrumen merupakan dua aspek yang sangat esensial untuk memperbaiki stabilitas moneter. Independensi finansial sangat penting bagi stabilitas moneter karena di negara berkembang, seperti Indonesia, pemerintahnya cenderung membiayai defisit anggaran dengan mencetak uang.

Selanjutnya, agar bank sentral yang independen secara finansial dapat mencapai target kebijakannnya, maka harus diberi kebebasan kepada bank sentral dalam menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya, misalnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Dari aspek tujuan kebijakan, tidak ada alasan yang jelas dan kuat mengapa badan eksekutif dan legislatif harus membiarkan bank sentral dapat menentukan tujuan dan besaran target kebijakannya secara independen. Tujuan kebijakan moneter, seperti inflasi dan nilai tukar, adalah bagian integral dari aspek pembangunan ekonomi. Karena itu, formulasi tujuan dan besaran kebijakan moneter harus mempertimbangkan aspek pembangunan ekonomi lain, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.

Tetapi, sekali target tingkat harga dan nilai tukar sudah ditetapkan oleh pemerintah bersama BI, pemerintah harus memberikan kebebasan kepada BI untuk mencapai target tersebut menggunakan instrumen yang dimilikinya. Kerangka kebijakan seperti ini mengkombinasikan antara target kebijakan moneter yang jelas dengan independensi instrumen. Konsep ini diterapkan oleh bank sentral yang punya kredibilitas tinggi seperti Reserve Bank di Selandia Baru (lihat: Carl E Walsh, “Accountability in Practice: Recent Monetary Policy in New Zealand”, FRBSF Economic Letter no. 96-25, September 1996). Reformasi bank sentral Selandia Baru sendiri merupakan contoh keberhasilan reformasi bank sentral independen bagi negara-negara lain, bahkan bagi negara maju dengan bank sentral yang kredibel.

Pengalaman Indonesia

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, kegagalan kebijakan moneter Indonesia terutama disebabkan oleh dominasi anggaran pemerintah terhadap kebijakan moneter. Jadi BI tidak independen secara finansial dari operasional anggaran pemerintah.

Di tahun 1950-an dan 1960-an, Soekarno melakukan ekspansi pengeluaran yang jauh melebihi kapasitas penerimaan pemerintah. Kemudian BI dipaksa membiayai defisit anggaran yang terjadi dengan mencetak uang. Ekspansi moneter yang berlebihan menyebabkan inflasi melonjak melebihi 100 persen per tahun selama periode 1962-1967, dengan tingkat inflasi tertinggi sekitar 600 persen terjadi di tahun 1965 - 1966.

Belajar dari kesalahan Seokarno, Soeharto melaksanakan stabilisasi ekonomi dengan menerapkan target anggaran ketat, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “anggaran yang berimbang”. Prinsip “anggaran yang berimbang” tersebut menjadi fondasi bagi proses operasional BI yang relatif independen secara finansial dari pengaruh operasional anggaran pemerintah selama era Soeharto sampai tahun 1997.

Sayangnya, pada tahun 1998 kesalahan yang mirip seperti di masa Soekarno kembali terulang, yaitu ketika Soeharto memerintahkan BI memberikan bantuan likuiditas kepada lembaga keuangan yang tidak solven milik konglomerat yang menjadi kroninya. Hal ini telah melanggar prinsip independensi finansial bank sentral yang bersumber dari prinisip “anggaran yang berimbang”.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa bank sentral yang tidak memiliki otonomi dalam aspek finansial akan menyebabkan bencana ketidakstabilan moneter. Pengalaman diatas juga memperlihatkan bagaimana independensi finansial bank sentral dapat tercipta tanpa ada jaminan eksplisit dari undang-undang (UU) bank sentral.

Dengan adanya UU Nomor 23 tahun 1999 mengenai BI, independensi bank sentral dijamin secara eksplisit dengan hukum positif.

Sayangnya, sejak implementasi UU 23/1999, BI lebih sering gagal mencapai target kebijakan moneter, yaitu: inflasi dan nilai tukar, dan target antara kebijakan moneter, yaitu: pertumbuhan uang beredar. Di tahun 2000 dan 2001, realisasi inflasi, pertumbuhan uang beredar, dan nilai tukar memang jauh diatas target yang ditetapkan.

Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat, meminta pertanggungjawaban gubernur dan deputi gubernur BI atas kegagalan mereka mencapai target kebijakan tersebut. Tapi, seperti yang kita ketahui bersama, DPR tidak pernah dengan serius menyelidiki kegagalan BI tersebut.

Bahkan DPR pada saat itu memihak gubernur BI yang kebetulan sedang bertikai dengan mantan Presiden Wahid. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah DPR dengan sengaja mempertahankan dan melindungi gubernur yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk melemahkan posisi presiden?

Penulis ingin menekankan bahwa bank sentral bukan hanya harus independen dari badan eksekutif, tetapi juga dari semua kepentingan politik. Bank sentral yang independen juga harus dilindungi dari intervensi kekuatan legislatif seperti DPR atau kepentingan politik lainnya. Bank sentral bukan lah alat politik, bank sentral adalah instrumen ekonomi untuk menjamin stabilitas moneter bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Baru ditahun 2002 BI dapat memenuhi target inflasi dan pertumbuhan uang beredar, sedangkan target nilai tukar baru tercapai di tahun 2003.

Akuntabilitas dan Amandemen UU 23/1999 BI

Komponen yang hilang dalam UU 23/1999 tentang BI adalah aspek akuntabilitas (accountability). Bank sentral harus mempertangungjawabkan segala tindakan dan kinerjanya dalam mencapai target moneter yang telah ditetapkan. Prinsip akuntabilitas memungkinkan bank sentral diawasi dan diperiksa segala tindakannya oleh masyarakat.

Dalam masyarakat yang demokratis, masyarakat yang memilih pejabat publik, melalui perwakilannya di parlemen, berhak mengenakan sanksi kepada pembuat kebijakan yang tidak kompeten. Hanya dengan menegaskan dalam undang-undang bahwa pembuat kebijakan akan ‘dihukum’ bila kinerjanya jelek, maka pembuat kebijakan akan berusaha keras untuk membuat kebijakan yang terbaik.

Di US, Dewan Gubernur dari Federal Reserve Board diawasi oleh konggres. Di Selandia Baru, akuntabilitas gubernur bank sentral dibuat dalam hukum tertulis yang menyatakan bahwa gubernur dapat kehilangan independensinya, bahkan dipecat, bila gagal mencapai target kebijakan (Walsh, 1996).

Di Indonesia, akuntabilitas BI hanya sebatas transparansi laporan perkembangan moneter. Sedangkan DPR, yang mewakili rakyat dan seharusnya memeriksa kinerja BI, tidak lebih daripada sekumpulan orang-orang yang berkolusi untuk memaksimumkan keuntungan pribadi dengan mengabaikan kepentingan publik.

Akibatnya BI menjadi lembaga independen yang tidak mempunyai akuntabilitas: seburuk apa pun kinerja BI, para pejabat BI dapat tenang dan terus menerima fasilitas dari publik.

Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa independensi bank sentral tanpa akuntabilitas tidak akan memperbaiki, bila bukan berbahaya bagi, stabilitas moneter.

Untuk memperbaiki kinerja BI dalam menciptakan stabilitas moneter, bukan saja diperlukan seorang gubernur BI yang bermoral, tapi juga perlu dilakukan amandemen UU 23/1999 tentang BI. Dalam UU mengenai BI yang baru nanti, perlu ditegaskan aspek akuntabilitas dan indikator-indikator moneter untuk mengevaluasi kinerja BI.