Senin, 28 Juli 2008

Prospek Nilai Tukar Rupiah

Prospek Nilai Tukar Rupiah
Oleh Siswa Rizali*
(publikasi di KORAN TEMPO, 6 Agustus 2001)

Kenaikan Megawati sebagai Presiden Indonesia ternyata membawa sinyal positif pada pasar uang sehingga Rupiah menguat menembus Rp 9.600, paling tidak untuk sementara waktu. Pergantian Presiden memang menandai menyejuknya suhu politik, sehingga menurunkan pengaruh resiko politis (political risk) dalam perekonomian Indonesia.

Syahril Sabirin, gubernur BI, akhir minggu lalu menyatakan bahwa nilai tukar riil efektif rupiah seharusnya bisa di bawah Rp 8.000. Padahal pada saat itu rupiah diperdagangkan sekitar Rp 10.000 per US dollar.

Timbullah pertanyaan: berapakah nilai rupiah yang seharusnya pada saat ini? Akan kah Rupiah terus menguat? Atau Rupiah hanya menguat sementara untuk kemudian kembali 'terjun bebas', seperti disaat terpilihnya mantan Presiden Wahid.


Penentuan Nilai Tukar: Pendekatan Moneteris

Salah satu model penentuan nilai tukar yang sering digunakan oleh akademisi untuk mempelajari pergerakan nilai tukar adalah model penentuan nilai tukar pendekatan moneteris (Monetarist Approach To Exchange Rate Determination). Model dasar penentuan nilai tukar ala moneteris menekankan interaksi permintaan uang relatif antara dua negara. Permintaan uang itu sendiri ditentukan oleh beberapa variablel seperti tingkat pendapatan, suku bunga, harga, dan ekspektasi.

Berdasarkan pendekatan moneteris, maka perubahan nilai tukar antara dua negara dapat diperkirakan dari selisih perubahan variabel jumlah uang beredar, suku bunga, pendapatan, inflasi, dan interaksi kesemua variabel penentu tersebut yang terjadi di kedua negara bersangkutan. Terkait dengan proses pembuatan kebijakan, variabel yang langsung berada dibawah kendali pemerintah adalah jumlah uang beredar. Karena itu variabel jumlah uang beredar mendapat perhatian khusus dalam analisa perkembangan nilai tukar.

Tabel 1. memperlihatkan perbandingan perkembangan variabel moneter Idonesia dan US. Terlihat bahwa perubahan jumlah uang primer (biasanya disimbolkan dengan M0) di Indonesia jauh lebih besar daripada US. Perubahan jumlah uang primer Indonesia yang sangat besar ini akan menyebabkan rupiah terdepresiasi. Dengan menghitung selisih jumlah uang primer di Indonesia dan US sepanjang tahun 1997-2000, dan mengasumsikan adanya hubungan linier antara kelebihan jumlah uang beredar dengan depresiasi nilai tukar, maka nilai tukar ideal Rupiah pada akhir 2000 adalah sekitar Rp 6.500 – 7.000 per US dollar.

Dampak negatif kelebihan jumlah uang beredar sendiri tidak hanya mempengaruhi Rupiah secara langsung, tapi juga melalui proses interaksi variabel lain seperti: inflasi, suku bunga, dan ekspektasi. Berbagai aliran ekonomi sudah menerima bahwa kelebihan jumlah uang beredar akan menyebabkan ketidakstabilitan ekonomi dan menurunkan kredibilitas kebijakan pemerintah. Mengingat sejak pertengahan 1997 nilai tukar Rupiah selalu menjadi sasaran serangan spekulasi, penambahan jumlah uang beredar yang berlebihan hanya menambah likuiditas bagi spekulan untuk menyerang rupiah, sehingga memperparah krisis yang sedang terjadi. Penambahan jumlah uang beredar yang sangat berlebihan pada saat perekonomian sedang dilanda serangan spekulasi juga tidak mempunyai dasar logika yang jelas, bahkan bertentangan dengan upaya meredam spekulasi. Ketidakstabilan moneter yang terjadi akhirnya menghancurkan produktivitas ekonomi Indonesia sehingga kembali berdampak negatif terhadap rupiah. Jadi pengaruh jumlah uang beredar terhadap nilai tukar tidak lagi bersifat linier, tapi dapat lebih besar.


Tabel 1 Indikator Moneter Indonsia dan US
=================================================
Indikator\Tahun 1997 1998 1999 2000 2001

Data Indonesia
Inflasi (dalam %) 11,60 77,6 2,01 9,35 4-6

Nilai Tukar Rupiah/US$
Aktual 8.000 7.850 9.900
Target 7.500 7.000 7.750-8.250

Bunga SBI (akhir periode, %) 22,00 38,4 11,9 14,5

Pertumbuhan Uang Primer (M0, %)
Aktual 34,0 60,9 30,8 23,0 >20,0
Target 8,0 10,0 8,3 11,0
-------------------------------------------------------------------
Data US
Inflasi (%) 2,34 1,55 2,19 3,38
Pertumbuhan M0 (%) 8,01 5,95 19,97 -6,08
Bunga T-Bill (%) 5,07 4,82 4,66 5,84
===============================================
Catatan Tabel 1:
Target Rupiah 1997-1998 terus berubah sejalan memburuknya krisis, yaitu: Rp 3.275 pada Oktober 1997, Rp 5.000 pada Januari 1998, Rp 6.000 pada April 1998, Rp 10.000 pada Juni 1998, dan Rp 10.600 pada akhir 1998. Target inflasi, pertumbuhan uang primer, dan nilai tukar tahun 2001 berdasarkan laporan BI pada awal tahun 2001.


Dengan mempertimbangkan dampak negatif variabel lain terhadap rupiah, seperti inflasi dan menurunnya produktivitas ekonomi selama krisis, diperkirakan nilai tukar rupiah pada saat ini seharusnya berkisar pada Rp 7.000 - 8.000. Celakanya, sampai bulan Juni 2001, pertumbuhan jumlah uang primer tahunan masih berada diatas 20%, atau dua kali lipat target BI yang hanya 11%. Karena itu dapat dimengerti bila nilai tukar rupiah sulit untuk terus menguat, meskipun kondisi politik sudah membaik.

Nilai Tukar dan Daya Saing Ekspor

Salah satu tujuan kebijakan nilai tukar adalah untuk menjaga daya saing produk ekspor suatu negara di pasar internasional. Nilai tukar yang terlalu kuat (overvalued) dikhawatirkan akan menurunkan daya saing produk ekspor suatu negara dan menghambat pengembangan sektor industri berorientasi ekspor. Namun nilai tukar yang sangat rendah (undervalued) dan tidak stabil (volatile) juga sangat merugikan kegiatan produksi.

Untuk membandingkan daya saing produk ekspor antar negara digunakan indeks Nilai Tukar Riil Efektif (Real Effective Exchange Rate, REER). REER dihitung berdasarkan komposisi perubahan harga relatif dan perubahan nilai tukar nominal dari beberapa negara yang menjadi kelompok tujuan dagang dan pesaingnya. Pengaruh perubahan harga relatif, misalnya diukur menggunakan inflasi sebagai proksi, masing-masing negara dimasukkan dalam hitungan indeks REER sesuai proporsi ekspor negara bersangkutan dalam nilai total perdagangan keseluruhan negara yang akan diteliti. Indeks REER ini dibuat dengan patokan nilai 100 pada tahun dasar (base year) tertentu. Pada tahun dasar semua negara dianggap mempunyai daya saing yang sama. Maka perbandingan daya saing produk eskpor menggunakan indeks REER bersifat relatif dari suatu tahun dasar tertentu.

Indeks REER keluaran JP Morgan (lihat www.jpmorgan.com) merupakan indeks REER yang dipakai luas oleh kalangan pengusaha, pengamat, dan pembuat kebijakan ekonomi. Indeks REER JP Morgan menggunakan tahun 1990 sebagai tahun dasar. Bila indeks REER naik diatas 100, berarti nilai tukar suatu negara mengalami overvalued, dan produk ekspor negara tersebut menurun daya saingnya. Di bulan Juni 2001, indeks REER JP Morgan untuk Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura, Thailand masing-masing adalah 61, 94, 81, 110, dan 84. Dari data ini jelas bahwa nilai tukar Rupiah sangat undervalued dan masih sangat kompetitif dalam perdagangan internasional. Hal ini dikarenakan Rupiah secara riil sudah terdepresiasi jauh lebih besar dibandingkan dengan mata uang negara ASEAN lain. Melihat rendahnya nilai rupiah tersebut, maka rupiah seharusnya dapat menguat sebesar 25%, atau menjadi sekitar Rp 8.000 per US dollar, tanpa menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia.


Kebijakan Untuk Menguatkan Nilai Rupiah

Dalam jangka pendek, prioritas pertama untuk memperkuat rupiah adalah dengan memperbaiki manajemen penawaran uang. Kita ingat saat Habibie menjabat posisi Presiden, terjadi penguatan rupiah yang sangat drastis. Selain karena membaiknya situasi politik setelah Soeharto turun, penguatan rupiah tersebut juga bersamaan dengan keberhasilan BI menurunkan pertumbuhan jumlah uang beredar (dalam tahunan) yang mencapai 120% pada November 1998 menjadi, rata-rata, 4% dalam periode Mei – November 1999. Namun penguatan rupiah di era Habibie ini tidak berlanjut di era mantan Presiden Wahid berkuasa. Lagi-lagi pelemahan rupiah pada saat itu sejalan dengan ekspansi jumlah uang beredar, sebagaimana dijelaskan diatas.

Dalam jangka menengah, penguatan rupiah hanya akan terjadi bila Pemerintahan Megawati dapat memperbaiki posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), atau kebijakan fiskal. Perlu diketahui, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia hanya sekitar 11%, jauh dibawah rasio yang sama dari negara ASEAN yang berkisar 15%-20%. Ini berarti banyak potensi pajak Indonesia yang dapat digali untuk menutupi defisit APBN yang terjadi.

Dalam jangka panjang, hanya perbaikan sektor riil yang memungkinkan penguatan dan menjamin stabilitas rupiah. Untuk itu program reformasi sektor riil dan institusi ekonomi Indonesia harus terus dilaksanakan, baik dengan bantuan IMF dan World Bank maupun tanpa bantuan mereka. Reformasi sektor riil dan institusi ekonomi ini diperlukan untuk menarik investasi ke Indonesia. Ketika pemasukan modal terjadi, maka permintaan rupiah meningkat dan nilai tukarnya akan menguat.

Bila ketiga aspek tersebut dijalankan, penulis yakin rupiah dapat menguat disekitar Rp 7.000-8.000 rupiah. Apalagi penguatan rupiah tersebut juga akan berdampak positif pada penyelesaian hutang luar negri Indonesia.

Minggu, 27 Juli 2008

Link Tulisan

Belum sempat nulis...so berikut beberapa link tulisan lama:

Lonjakan Harga Minyak, Fundamental atau Spekulasi? (Bisnis Indonesia, Senin, 7 Juli 2008)

Menunggang 'Amukan Banteng' di BEJ (Bisnis Indonesia, Senin, 5 November 2007)

Konsolidasi dalam Tren Bullish (Bisnis Indonesia, Kamis, 2 Agustus 2007)

Perkembangan Ilmu Ekonomi Makro (Koran Tempo, Senin, 19 Agustus 2002 )

Fungsi APBN: Stabilisasi atau Pemerataan (Koran Tempo, 21 Oktober 2001)

Biaya Politis dan Sosial Talangan Sektor Perbankan (Sinar Harapan, Jum'at, 7 September 2001).

masih ada beberapa lagi...nanti aja...mau kerja dulu :-p